Altar utama kelenteng yang digunakan untuk bersembahyang bagi Kongco Tjo Soe Kong, seorang tabib dari jaman Dinasti Song yang sering menolong orang sakit tanpa meminta imbalan. Ia digambarkan dalam posisi duduk di atas singgasana, mengenakan jubah berwarna merah dengan sulaman benang emas.
Salah satu tempat pemujaan utama di dalam Kelenteng Tjo Soe Kong adalah altar Hok Tek Ceng Sin, Dewa Bumi, yang dipuja orang untuk mempermudah dan memperlancar mengalirnya rezeki bagi para pedagang dan petani.
Hal yang unik di Kelenteng Tjo Soe Kong adalah adanya altar Embah Rahman dan Empe Dato yang terletak di kiri kanan altar Hok Tek Ceng Sin, serta altar bagi Dewi Neng. Dahulu kala Embah Rahman adalah seorang jawara terkenal di wilayah Tanjung Kait, mungkin karena itu altarnya sering didatangi oleh orang yang tengah mencari pesugihan. Dewi Neng adalah orang pribumi di Tanjung Kait yang konon merupakan anak Kongco Tjo Soe Kong.
Salah satu dari sepasang patung Ciok-Say (singa) terbuat dari batu andesit di halaman Kelenteng Tjo Soe Kong Tanjung Kait. Singa yang jantan menimang bola itu diletakkan di atas batu dengan relief kuda dan singa serta ornamen lengkung, sedangkan Ciok-Say betina seperti biasa sedang bermain dengan anaknya. Di belakang patung singa ada batu berbentuk bulat dengan ukiran daun dan bebungaan indah, serta rilief binatang. Mungkin ini batu nisan pemberian seorang tuan tanah terkaya di Batavia bernama Andries Teisseire (1746 - 1800), yang dibawanya langsung dari Tiongkok saat kelenteng mulai dibangun. Andries mencatat keberadaan Kelenteng Tjo Soe Kong pada 1792, sedangkan kapan didirikannya tidak diketahui pasti.
Jika dari jauh tampak seperti batu, maka pandangan lebih dekat pada bentuk bulat dengan ukiran daun dan bebungaan indah serta relief binatang itu seperti terbuat dari logam. Mungkin benar bahwa inilah batu nisan pemberian seorang tuan tanah terkaya di Batavia bernama Andries Teisseire (1746 - 1800), yang dibawanya langsung dari Tiongkok saat kelenteng mulai dibangun.
Meskipun berada di dekat laut, Kelenteng Tjo Soe Kong tidak didirikan oleh para pelaut, namun oleh para petani tebu keturunan Tionghoa yang tinggal di daerah Mauk, Tangerang.
Di bagian depan altar Tjo Soe Kong terdapat patung sepasang penjaga yang disebut Pek How Pek Cuah atau Pek Houw (harimau putih) Pek Coa (ular putih).
Di bagian depan ini ada pula sebuah tengara yang mewartakan pembangunan kembali kelenteng yang dimulai pada 21 Maret 1959, lengkap dengan nama-nama panitia serta inspekturnya.
Di bagian lain Kelenteng Tjo Soe Kong terdapat altar bertuliskan Kongco Obat. Sakit memang tidak menyenangkan, dan sakit bisa membawa maut pada anggota keluarga, sehingga bisa dimengerti jika ada penghormatan dan pemujaan terhadap tabib yang bisa menyembuhkan penyakit.
Hiolo Thian yang digunakan untuk menancapkan hio yang telah dibakar bagi Dewa Langit ini berada di halaman dalam Kelenteng Tjo Soe Kong, dengan ukiran kepala raksasa di kiri kanannya. Hiolo itu berangka tahun 1971, disumbang oleh Li Hui Chun, Chen Chun Zhang, Li Chen Hwa, Li Xing Ye, Li Bao Ye, dan Li Zhan Ye. Di kanan belakang adalah altar Thian Thi Kong.
Altar Empe Dato yang berada di sebelah kanan altar Dewa Bumi. Nama asli Empe Dato adalah Empe Sui Hong. Ia adalah biokong atau orang yang bertugas membersihkan, mengurus, dan memberi teh kepada Kongco Tjo Soe Kong, Hok Tek Tjeng Sin, dan Embah Rahman.
Sebuah prasasti berukuran 1,6x1 meter pada dinding timur ruang suci, terbuat dari batu hitam dengan nama-nama penyumbang saat pendirian kelenteng yang ditulis dengan warna keemasan.
Bangunan ini ada di belakang bangunan utama, dengan Tathagata Buddha, relief Matrya Buddha, dan pada dinding kiri dan kanannya terdapat relief Guan Di (Koan Te), Zhong Tan Yuan Shuai, Si Da Tian Wang (Empat Raja Langit), Er Lang Shen (Malaikat Pelindung Kota Sungai), Wei Tuo Pu Sa, Qi Tian Da Shen (Ce Thian Tay Seng), Xuan Tan Yuan Shuai (Dewa Kekayaan), Tri Ratna Buddha, Lao-Tzu, serta relief Kong Hu Cu.
Ruang tengah (Jin Ji Le Thie Sin) berbentuk segi panjang dengan relief huruf Tionghoa pada dindingnya. Ada pula tulisan dalam huruf Latin yang berbunyi "Apa yang sendiri tidak ingin lain orang berbuat janganlah berbuat pada lain orang", serta daftar kelenteng di Banten berikut foto-fotonya.
Tampak muka Kelenteng Tjo Soe Kong dengan sepasang pagoda tempat pembakaran kertas di halaman depan yang menjadi ciri kelenteng ini. Kedua pagoda ini kabarnya masih aseli, yang dibuat bersamaan dengan berdirinya kelenteng, yaitu sebelum tahun 1792.
Diubah: Juni 28, 2020.
Label:
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.
© 2004 -
Ikuti