Tak perlu ada setetes pun keringat untuk mengkritik hal-hal yang mengganggu kita atau yang berlawanan dengan nilai pandang kita, sementara itu di pihak lain bisa menjadi pekerjaan yang rumit untuk mengerjakan dan memperbaikinya bagi mereka yang berada di dalam lingkaran, di dalam kotak, terutama bila terkait paradigma, sikap, kebiasaan, politik, uang, kekuasaan, seks.
Kita tak bisa baik dalam segala hal, juga tak mungkin buruk dalam semua bidang. Beberapa orang sangat hebat dalam memberi kritik, dan di sisi lain ada yang punya kemampuan luar biasa dalam menyelesaikan masalah. Sangat jarang orang bisa memiliki keduanya dengan kekuatan sama, dan karenanya mereka saling membutuhkan. Perlu ada komunikasi yang sehat diantara keduanya.
Melontar kritik terhadap seseorang atau institusi sama pentingnya dengan memberi pujian, penghargaan atau dorongan semangat. Ini soal selera, apakah pahit atau manis, dan keduanya sehat untuk pikir, hati, dan jiwa (pihaji). Tapi hati-hati dengan dosis yang diberikan; terlalu sedikit tak akan bekerja dan terlalu banyak akan jadi racun yang mematikan.
Pengalaman dalam kehidupan profesional maupun pribadi, kritik berlebihan yang bisa merupakan petunjuk bahwa ada sesuatu yang terjadi dengan pikir, hati dan jiwa seseorang. Jika pihaji adalah sumur khayal, air jernihnya melimpah saat kita terus menyetor simpanan ke dalamnya dengan membaca buku atau melihat film bermutu, mempelajari hal baru, bertemu orang baru, melakukan hal kreatif, beribadah dengan berbuat kebaikan, mendengarkan / melihat / bermain musik-konser-teater, melakukan kegiatan sosial, dll.
Bila pikir mengering, kita hanya memiliki sedikit informasi dan pendapat untuk dibagi ke orang lain. Komentar atau artikel yang kita tulis mungkin tak lagi begitu cerdas atau tak cukup dalam untuk menginspirasi orang. Sebuah petunjuk bahwa sudah saatnya luangkan waktu untuk membaca buku yang telah dibeli tapi belum juga dibuka, makan siang atau minum kopi bersama teman, menghadiri seminar atau pertemuan profesional, atau merenung untuk mengasah pikir.
Ketika sumur hati mengering maka orang mulai bosan dengan apa yang sedang ia lakukan, dengan apa dan siapa dirinya hari ini. Hidup jadi pucat, suram, tidak cukup warna untuk menyenangkan hari. Itu adalah panggilan peringatan untuk berhenti melakukan hal tak berguna, dan untuk pergi melihat konser musik, drama, teater, pembacaan puisi, galeri, atau mengunjungi museum dan tempat bersejarah. Mungkin juga saatnya memainkan alat musik yang sudah jarang dipegang dan mempelajari komposisi baru.
Indikasi bahwa sumur jiwa mengering adalah ketika kehilangan arah dalam hidup, kata bijak jadi langka, lebih banyak melontarkan kritik daripada berkontribusi positif, pelit pada orang namun royal pada diri, melihat kehidupan sebagai transaksi untung rugi. Maka inilah saatnya untuk berhenti memanjakan perut dengan berpuasa dua kali seminggu, berdoa seperti yang kita inginkan dan tahu apa yang kita panjatkan, mempelajari kitab suci dan buku-buku bijak, temui Khidir - orang bijak dan bergaul dengan mereka tanpa harus menjadi kerbau yang dicocok hidung.
Sebagai orang normal, pikir, hati, dan jiwa juga mengikuti "cokro manggilingan", roda kehidupan. Ada pasang surut. Kita hanya perlu waspada terhadap sinyal, dan melakukan penyesuaian yang diperlukan, sebelum sumur benar-benar kering dan membutuhkan perawatan besar untuk memperbaikinya. (Terbit 29 Desember 2007)Diubah: Oktober 30, 2017.
Label:
Blog,
Percikan
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.