The Hills, yang menjadi hotel tempat kami menginap saat itu, lumayan dekat jaraknya dengan Jam Gadang Bukittinggi, sehingga kami cukup pergi dengan berjalan kaki dari hotel untuk menuju ke kawasan di sekitar taman dimana tugu berada. Di seputar area jam besar ini terdapat mal, ruko, tempat makan, pasar, dan gedung Istana Bung Hatta.
Mungkin saya lupa, namun ketika datang pertama kali ke tempat ini pada awal 90-an, sependek ingatan saya, bentuk Jam Gadang Bukittinggi tidaklah sama dengan yang saya lihat saat ini. Mungkin hanya ornamen tambahannya saja yang berbeda. Sayang tidak ada dokumentasi fotonya waktu itu. Seingat saya pula, tidak ada taman di sekelilingnya.
Jam Gadang Bukittinggi yang kami lihat saat itu. Kesan saya, penampakan jam besar ini pada awal 90-an terlihat lebih sederhana dan sangat lekat dengan nuansa bangunan tradisional Sumatera Barat. sedangkan bentuk yang sekarang lebih menonjol nuansa Eropa-nya, meskipun ada miniatur rumah adat Minangkabau di bagian punca tugu.
Rumah Adat Minangkabau di puncak Jam Gadang Bukittinggi baru dipasang setelah kemerdekaan. Ketika Jepang berkuasa, puncak jam berbentuk kelenteng. Jam besar ini bergerak teratur secara mekanik dan ada satu jam di setiap sisi dengan diameter masing-masing 80 cm. Keunikan yang ada pada jam ini ada angka Rumawi IV pada jam ditulis sebagai IIII.
Delman-delman yang berhias rapi dan bersih, dengan kuda-kuda besar sehat yang terawat baik, terlihat tengah menunggu penumpang di tepi jalan aspal di samping Jam Gadang Bukittinggi. Sayang waktu itu tidak terpikir untuk mencoba berkeliling kota dengan menumpang delman, yang tentu akan merupakan sebuah pengalaman menyenangkan.
Bangunan dasar Jam Gadang Bukittinggi yang berukuran 13 x 4 meter. Tinggi jamnya sendiri mencapai 26 meter, yang pertama kali dibangun pada tahun 1926 dengan rancangan dibuat oleh Yazid Sutan Gigi Ameh. Jam besar ini merupakan hadiah dari Ratu Kerajaan Belanda kepada Rook Maker, Controleur (Sekretaris Kota) Bukittinggi pada waktu itu.
Dari puncak Jam Gadang Bukittinggi, pengunjung bisa melihat pemandangan ke arah tiga gunung, yaitu Gunung Merapi, Gunung Singgalang dan Gunung Sago. Ketika mengambil foto jam besar ini dari rumah makan Padang di seberang jalan, di latar belakang di kejauhan terlihat pemandangan salah satu gunung itu yang berwarna kebiruan.
Ketika kami berada di sana, pekerjaan renovasi baru saja selesai dilakukan oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia, dengan dukungan PemKot Bukittinggi dan KeduBes Kerajaan Belanda. Peresmiannya dilakukan pada ulang tahun Kota Bukittinggi ke 262, yaitu 22 Desember 2010.
Terlihat di sebelah kiri ada sebuah prasasti yang ditulis pada permukaan keramik, menceritakan riwayat singkat Jam Gadang Bukittinggi. Seharusnya setiap tempat wisata, khususnya yang mengandung unsur sejarah, dibuat prasasti semacam ini agar para pengunjung bisa lebih mengenal tempat-tempat yang sedang dikunjunginya, dan kemudian bisa menyebarkan cerita.
Kami masih di Jam Gadang Bukittinggi ketika senja jatuh dan lampu taman menyala, saat pedagang mulai menggelar dagangannya di taman Jam Gadang Bukittinggi. Bermacam barang ditawarkan, dari makanan minuman, kerajinan tangan, mainan anak, dan pakaian. Dari sebuah lubang pada dinding menara, saya bisa melihat tangga yang digunakan untuk naik ke puncak menara, hanya saja aksesnya belum dibuka saat itu.
Peletakan batu pertama Jam Gadang Bukittinggi dilakukan oleh putera Rook Maker yang ketika itu masih berusia 6 tahun. Dibutuhkan biaya sebesar 3000 Gulden untuk menyelesaikan pembangunannya. Ketika dibuat, sampai Jepang masuk, puncak jam bukanlah rumah adat Minangkabau, namun sebuah patung ayam jantan dengan ujung berbentuk bulat.
Mungkin karena mempertimbangkan posisinya yang berada di tengah kota serta riwayat keberadaannya yang cukup panjang, maka Jam Gadang Bukittinggi telah ditetapkan oleh pemerintan daerah setempat sebagai titik nol Kota Bukittinggi.
Jam Gadang Bukittinggi
Alamat : Titik Nol Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Lokasi GPS : -0.305175, 100.369409, Waze. Peta Wisata Buittinggi, Tempat Wisata di Bukittinggi, Hotel di Bukittinggi.Jam Gadang Bukittinggi dengan latar belakang pusat perbelanjaan modern cukup besar yang mulai menancapkan kukunya di Bukitttinggi, bersaing dengan pasar tradisional. Warna jam gadang yang putih anggun menjadi rusak dengan warna pusat perbelanjaan di latar belakang yang tak berselera.
Pedagang kaki lima tampak menggelar dagangan secara sembarangan di taman Jam Gadang Bukittinggi. Sebuah persoalan klasik perkotaan, yang jika tidak mampu mendisiplinkan warga pedagangnya, maka kota akan segera berubah menjadi kumuh dan liar.
Sepasang lubang lengkung di dasar menara untuk masuk ke dalam ruangan dimana terdapat tempat duduk, dan juga tangga ke dek pandang di atasnya, serta tangga menuju ke puncak menara jam gadang.
Menara Jam Gadang Bukittinggi yang keempat sisinya berbentuk persis sama, kecuali hanya pada dasar menara yang ada perbedaan. Peletakan batu pertama pembangunan Jam Gadang Bukittinggi dilakukan oleh putera Rook Maker yang ketika itu masih berusia 6 tahun. Dibutuhkan biaya sebesar 3000 Gulden untuk menyelesaikan pembangunannya saat itu.
Bentuk dasar menara Jam Gadang Bukittinggi di sisi ini berbeda dengan sisi kiri kanannya. Pada sisi ini lubang masuk ke ruangan bawah menara diapit oleh undakan yang menuju ke dek pandang. Sayangnya pagar besinya waktu itu terkunci, sehingga kami tak bisa naik ke atas.
Jam besar ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur (Sekretaris Kota) Rook Maker. Jam itu bergerak secara mekanik dengan diameter masing-masing 80 cm. Keunikan Jam Gadang Bukittinggi ini ada angka Rumawi IV pada jam ditulis IIII.
Ketika senja jatuh dan lampu taman menyala, pedagang mulai menggelar dagangannya di taman Jam Gadang Bukittinggi. Bermacam barang ditawarkan, dari makanan minuman, kerajinan tangan, mainan anak, dan pakaian.
Dari sebuah lubang menara di salah satu sisi dek pandang bawah, terlihat bagian tangga yang digunakan sebagai jalan untuk naik menuju ke puncak Jam Gadang Bukittinggi.
Menata para pedagang kaki lima ini membutuhkan kesabaran agar taman Jam Gadang Bukittinggi bisa tetap menjadi taman asri yang bersih, rapi, dan berselera bagus. Diperlukan zoning pedagang, dan mereka perlu dibantu dengan desain lapak bernafas tradisional namun berkelas.
Di seberang salah satu sisi taman Jam Gadang Bukittinggi itu adalah lokasi dimana bangunan Istana Bung Hatta berada, dengan patung dada Bung Hatta terlihat di belakang pohon cemara berlatar gunung kebiruan di belakang sana. Sayang saya tidak diperbolehkan masuk ke dalam istana itu.
Jam Gadang Bukittinggi terlihat menjadi berkurang keanggunannya dengan adanya pedagang kaki lima yang secara sembarangan menggelar dagangannya. Jam ini telah ditetapkan sebagai titik nol Kota Bukittinggi. Ketika kami berada di sana, pekerjaan renovasi baru saja selesai dilakukan oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), dengan dukungan PemKot Bukittinggi dan KeduBes Kerajaan Belanda di Jakarta.
Delman-delman yang berhias rapi dan bersih, dengan kuda-kuda besar sehat yang terawat baik, terlihat tengah menunggu penumpang di tepi jalan aspal di samping Jam Gadang Bukittinggi. Sayang waktu itu saya tidak terpikir untuk mencoba berkeliling kota dengan menumpang delman, yang tentu akan merupakan sebuah pengalaman yang menyenangkan.
Jam Gadang Bukittinggi yang terlihat cantik, juga sekelilingnya, ketika pedagang kaki lima belum menyerbu taman dan membuat area ini menjadi kacau dan kehilangan kelasnya. Hanya perlu pengaturan tempat dan desain lapak anggun buat pedagang kaki lima, agar keberadaan mereka tidak merusak suasana taman.
Kereta kuda sebagai angkutan wisata layak dipertahankan dan ditingkatkan kelasnya, meskipun kondisinya saat itu sudah baik. Hanya saja mumpung belum dengan angkot dan kendaraan pribadi, pemkot perlu segera memikirkan pengadaan angkutan massal berbasis rel.
Kuda yang sehat, bersih dan terawat, kereta yang dicat rapi dan berhias motif setempat akan menjadi pengalaman yang mengasyikkan bagi pejalan ketika menaikinya berkeliling kota. Apalagi jika ada tarif wisata standar yang harganya cukup pantas.
Lita Jonathans, pemilik La Lita Arts & Crafts dan Villa La Lita, tersenyum cerah di samping sebuah delman yang mangkal di sekitar Jam Gadang Bukittinggi, sementara sang sais duduk agak tersembunyi di atas delmannya yang bersih meski tak banyak hiasannya.
Suasana keseharian di seputar Jam Gadang Bukittinggi, dengan kendaraan berlalu lalang dan ada pula yang parkir di sekitarnya. Mungkin ada baiknya diberlakukan jam bebas kendaraan di waktu-waktu tertentu agar pengunjung bisa sedikit terbebaskan dari polusi gas dan polusi kebisingan saat berada di sana.
Andong saat itu masih berjaya sebagai angkutan wisata dan angkutan belanja. Ketika pakan kuda semakin sulit dicari oleh karena menyempitnya lahan terbuka, maka lambat laun akan semakin mahal pula biaya perawatan dan pemeliharaan, dan boleh jadi akan surut masanya untuk digantikan angkutan modern.
Andong atau bendi-bendi itu terlihat cukup rapi, bersih, dan layak untuk digunakan sebagai angkutan wisata. Kuda-kudanya pun masih terlihat sehat dan perkasa, ciri fisik yang dibutuhkan di daerah Bukittinggi yang kontur jalannya tak rata.
Dua anak muda tengah berjalan sambil berbincang, melintas tidak jauh dari tempat saya berdiri saat menikmati pemandangan keseharian di sekitar Jam Gadang Bukittinggi.
Deretan andong yang masih setia menunggu penumpang yang tertarik untuk menyewanya. Di hari libur ketika rombongan turis datang dengan bus, kuda-kuda itu akan punya waktu sangat sedikit untuk bisa beristirahat.
Sebuah andong melintas pelan untuk mencoba peruntungan ketimbang berhenti bersama sais lainnya dan harus berebut calon penumpang. Dalam hidup, sering rejeki memang harus dijemput dan bukan hanya pasrah menunggu apa dan berapa pun yang akan datang menyapa.
Tinggal sedikit bagian pagar bawah Jam Gadang yang waktu itu masih belum dibongkar, mungkin menunggu agar adukan beton benar-benar telah kering dan keras. Garis geometris abu-abu terlihat cukup memadai untuk dipadukan dengan warna putih pada dinding, sehingga secara umum masih terlihat elok.
Diubah: Desember 16, 2024.
Label: Bukittinggi, Sumatera Barat
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.