Beberapa kali mengunjungi Makassar, Ibu Kota Sulawesi Selatan, biasanya karena urusan pekerjaan, tetapi akhir Juli 2017 adalah perjalanan liburan sambil mengunjungi kerabat yang mengadakan pernikahan anaknya, sehingga bisa leluasa tanpa beban.
Makassar dikenal dengan Pantai Losari yang menurut saya mulai kotor banyak sampah plastik mengapung dipermainkan riak ombak. Berjalan di kawasan Losari lebih kepada wisata kuliner karena di sepanjang jalan Pantai Losari banyak sekali penjual makanan khas Makassar, ketimbang menikmati garis pantainya. Karena anak saya ingin menikmati pantai kami putuskan untuk ke Pulau Samalona, sudah lama saya mendengar nama Pulau Samalona yang berada di sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pulau kecil ini berada di Selat Makassar dengan waktu tempuh sekitar 30 menit dari dermaga di dekat Pantai Losari. Di dermaga kecil itu terdapat beberapa perahu yang merapat untuk disewakan letaknya tidak jauh dari jalan raya.
Pulau Samalona yang tenang nyaris tanpa ombak airnya jernih dan bening membentang biru senada dengan langit yang hari itu sangat cerah, beberapa pohon tumbuh dengan hijau dedaunan di sisi pantai menambah molek suasana. Kami menyewa perahu nelayan dengan mesin tempelan, perahu sederhana yang laik pakai.
Perahu kayu dengan kapasitas 10 orang seharga 400 ribu rupiah sebenarnya harga umum adalah 500 ribu hingga 600 ribu rupiah tetapi karena ada kerabat yang mengenal baik pemilik perahu hargapun mendapat diskon. Terhitung sangat murah jika kita pergi beramai-ramai, tetapi jika pergi dengan jumlah orang sedikit agak mahal.
Perahu melaju cukup cepat di tengah lautan yang sedang ramah sekitar pukul 10 pagi, sebagian perahu ditutup atap terbuat dari kayu membuat kami bisa bersembunyi dari sinar matahari yang mulai nakal. Air laut menebarkan aroma dan langit cerah biru membentang hanya sedikit gurat awan putih.
Perahupun menepi dan kami turun di bibir Pantai Samalona. Anak-anak terkagum-kagum, katanya seperti berada di surga, dan seketika mereka berpose di depan perahu yang membawa kami ke Pulau Samalona. Saya mengenakan celana di atas betis sehingga tidak basah begitu kaki masuk ke dalam air laut yang agak hangat dan jernih.
Beberapa saat saya tertegun dan menyadari berada di pulau kecil yang natural tanpa rekayasa seperti mimpi, tersadar ketika anak perempuan saya berteriak kegirangan sambil melepas bajunya yang sudah dilapisi pakaian renang. Ia memang sangat menyukai laut, ketimbang gunung dan anak lelaki saya yang lebih menyukai gunung daripada laut seperti Ibunya.
Ternyata Pulau Samalona pantainya jauh lebih indah dari pada Pantai Losari yang lebih terkenal. Tiba di pantainya disuguhi hamparan pasir putih bersih, dan dari atas perahu sebelum menepi kami sempat melihat terumbu karang saking jernihnya air.
Pulau Samalona merupakan kekayaan alam nusantara yang harus dijaga dan dilestarikan. Wisata bahari yang menakjubkan karena masih alami dan bersahaja, dan hal inilah yang sering dicari oleh wisatawan mancanegara. Namun saya agak khawatir, dengan promosi wisata yang sedang digencarkan justru merubah wajah Pulau Samalona, misalnya didirikan penginapan yang mewah sehingga nuansa naturalnya menjadi pudar.
Duduk di pasir putih tanpa alas sambil melihat anak-anak bercengkrama dengan sepupunya, dan lucunya seorang keponakan dari Prancis yaitu Frederic tidak sabar langsung berenang berteriak kegirangan seperti anak kecil. Sedari awal ia memang ingin mudik dan berenang di laut, sedangkan perahu yang kami naiki ditambatkan lebih dekat.
Masih di atas pasir yang mulai hangat saya berbincang dengan salah seorang penghuni pulau dengan logat daerahnya yang kental. Katanya Pulau Samalona semakin menyusut dari luas pulau ini yang sekitar 2 hektar. Mengerikan ya jika lambat laun Pulau Samalona menghilang karena setiap tahunnya menyusut. Satu hal yang membuat saya senang adalah pulau ini tidak ramai, ketika saya datang hanya ada dua grup kecil turis asing di tempat yang berjauhan.
Mereka berjemur dengan pakaian yang minim dan anak-anak mereka bermain pasir. Kesan alami lebih kental ketika menikmati hamparan pasir, bau air laut dan desir ombak sambil berbaring di pasir putih serasa di pulau milik sendiri. Masuk ke Pulau Samalona tidak dikenakan harga tiket masuk (HTM), pemerintah daerah belum menggarapnya. Tetapi jika boleh memilih saya lebih suka seperti ini, biarkanlah apa adanya.
Jangan khawatir dengan fasilitas pulau biarpun sangat sederhana, terutama yang berhubungan dengan urusan "buang air". Ada beberapa toilet tersedia dengan tarip 10 ribu rupiah untuk mandi, 5 ribu rupiah untuk buang air besar dan 2 ribu rupiah untuk buang air kecil.
Selain itu mereka menyewakan rumah tinggal sederhana yang kebanyakan berbentuk rumah panggung cukup luas seharga 400 ribu hingga 700 ribu rupiah per malam, hanya saja kebersihannya kurang terjaga. Penduduk Pulau Samalona hanya beberapa kepala keluarga saja, selain itu ada rumah permanen yang di terasnya dipasang meja dan kursi tempat pelancong duduk menikmati makanan dan minuman yang mereka jual.
Tersedia pula bale-bale terbuat dari bambu cukup lebar yang dipasang menghadap laut di bawah pohon rindang disewakan oleh penduduk setempat seharga 50 ribu rupiah tanpa batas waktu. Sangat tepat bagi yang tidak mau basah-basahan, cukup menikmati pantai atau sambil makan di atas bale-bale dengan santai.
Jelang siang perut mulai keroncongan, sengaja kami membawa makanan juga memesan ikan bakar dan sea food hasil tangkapan nelayan setempat di warung makanan yang terletak agak menjorok ke dalam pulau. Seorang ibu berkulit tembaga dengan kalung emas yang menyolok memasak ikan dengan bumbu sederhana lalu seorang bapak membakar ikan di atas tempurung kelapa dengan ditutupi daun, entah daun apa saya lupa bertanya yang jelas daun dari tanaman yang tumbuh di sekitar pulau.
Perut semakin berbunyi mencium aroma ikan bakar, kamipun menghentikan kegiatan dengan semangat makan bersama di atas bale-bale bambu yang kami sewa, ditambah dengan semilir angin laut sungguh nikmatnya.
Saya disuguhi cerita bahwa Pulau Samalona menyimpan misteri karamnya sejumlah kapal peninggalan Perang Dunia Ke-II milik Jepang, yang kini sudah puluhan tahun dan menjadi rumah tinggal ribuan biota laut.
Hal lain yang seru di Pulau Samalona adalah melakukan aktifitas diving dan snorkeling, pemandangan indah bawah laut, terumbu karang dan ikan berwarna-warni yang banyak diperbincangkan orang hanya saja saya tidak mempunyai keberanian untuk melihat dari dalam air cukup dari atas perahu lewat air yang jernih bening itupun sudah senang. Alat diving seharga 150 - 200 ribu rupiah dan alat snorkeling seharga 50 ribu rupiah di Pulau Samalona tersedia lengkap disewakan dengan pemandunya.
Anak-anak tidak bosan-bosannya berpose di birunya pantai, bergantian mengambil gambar sesekali merekapun selfi. Aku tersenyum melihat tingkah mereka, Pulau Samalona nan molek dan bersahaja membuat kami bahagia.
Airpun mulai pasang sehingga perahu yang ditambatkan tidak lagi di atas pasir, desir angin lebih kencang menerbangkan rambut rasanya enggan meninggalkannya dan ingin lebih lama di Pulau Samalona. Sebenarnya saya pribadi, wisata pantai yang paling saya sukai adalah menyaksikan pergantian warna langit, yaitu terbenamnya matahari ( sunset).
Di Pulau Samalona ternyata dapat juga menyaksikan matahari terbit (sunrise), sayangnya karena keterbatasan waktu kami tidak bisa menyaksikan keduanya. Lain waktu jika kembali, saya tergoda untuk bermalam di dalam tenda yang dipasang di atas pasir putih dari pada menginap di rumah penduduk yang disewakan, selain lebih irit ada sensasi lain.
Jika ingin berkencan dengan matahari terbenam di Pulau Samalona, sebaiknya berangkat siang hari dan kembali ke kota Makassar pada keesokan harinya. Jangan datang pada saat musim penghujan, karena langit terhalang awan sehingga kesempatan untuk menikmati sunset dan sunrise akan hilang, begitu saran dari "supir" perahu yang sabar menunggu kami selesai menikmati Pulau Samalona.
Ada yang menarik perhatian saya ketika siang mulai menjelang, sekumpulan Ibu-ibu menepi ke pulau. Dari cara bicaranya mereka adalah orang Makassar yang sengaja menyebrang untuk piknik sekedar makan siang bersama dengan membawa makanan yang dikemas dalam kotak plastik.
Setelah makan mereka berfoto dan mengobrol lalu beres-beres kembali meninggalkan Pulau Samalona dengan perahu yang serupa dengan kami. Begitulah cara sebagian orang menikmati pulau, meski saya geleng kepala saat melihat sampah plastik yang mereka tinggalkan di bawah bale-bale bambu yang tidak lama kemudian langsung dibersihkan oleh si empunya bale-bale.
Senangnya bisa berkunjung ke Pulau Samalona! Ayo kenali tanah negrimu! Salah satunya Pulau Samalona di Makassar Sulawesi Selatan yang molek dan bersahaja bagai anak perawan berkain dengan rambut panjang terurai...
Pulau Samalona
Jalan Lae Lae Kecamatan Wajo, sekitar 2 km ke arah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan, 90172. Lokasi GPS : -5.1249584, 119.343946, Waze.Tersedia pula bale-bale terbuat dari bambu cukup lebar yang dipasang menghadap laut di bawah pohon rindang disewakan oleh penduduk setempat seharga 50 ribu rupiah tanpa batas waktu. Sangat tepat bagi yang tidak mau basah-basahan, cukup menikmati pantai atau sambil makan di atas bale-bale dengan santai.
Anak-anak tidak bosan-bosannya berpose di birunya pantai, bergantian mengambil gambar sesekali merekapun selfi. Aku tersenyum melihat tingkah mereka, Pulau Samalona nan molek dan bersahaja membuat kami bahagia.
Diubah: Desember 13, 2024.
Label: Makassar, Pantai, Sulawesi Selatan, Vinny Soemantri
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.