Beberapa tahun lalu, setelah lebih dari 40 tahun, saya memiliki kesempatan untuk berkunjung lagi ke Rawa Pening. Meski sudah sangat lama tak datang ke tempat ini, namun keindahannya masih terpatri kuat di kerak ingatan. Apa yang pernah tersimpan tak pernah hilang atau terhapus dari isi kepala, hanya saja semakin tua seseorang semakin dalam kenangan terpendam di dasar ingatan, dan semakin tak mudah mengambilnya.
Pada awal tahun 60-an, satu-satunya alat transportasi di Rawa Pening yang tersedia bagi pengunjung yang ingin menjelajahi rawa yang luas ini adalah getek atau rakit, disusun dari gelondongan bambu yang diikat berjajar dengan sangat kuat. Walau rakit telah lenyap ditelan jaman digantikan perahu motor, namun kenangan naik getek di atas Rawa Pening tetap tersimpan rapi di ingatan.
Tak ingat benar dari arah mana dahulu kami masuk ke area Rawa Pening, namun apa yang saya lihat pada kunjungan ini sudah terasa asing. Sangat mungkin bahwa pada waktu itu kami berkunjung pada sisi rawa yang berlawanan. Di sana ada Patung Naga raksasa di kaki bukit yang kepala serta ekornya mengapit jalan masuk ke area wisata.
Bukit elok di ujung sana itu kabarnya bernama Bukit Cinta, nama yang juga sepertinya tidak pernah masuk ke dalam ingatan yang memang sudah sangat memendek ini. Mulut naga itu menjadi jalan masuk ke dalam sebuah ruangan memanjang dimana di sana terdapat deretan akuarium dengan koleksi ikan air tawar yang cukup banyak.
Salah satu koleksi yang saya lihat adalah sidat atau uling, yang mengingatkan saya pada tokoh golongan hitam berjuluk Sepasang Uling Rawa Pening, yaitu Uling Putih dan Uling Kuning, dalam cerita Nagasasra Sabuk Inten karangan SH Mintardja. Sepasang Uling yang bersenjatakan cemeti besar itu adalah murid Sura Sarunggi yang memiliki aji Uler Kilan, ajian dahsyat yang baru takluk saat melawan ilmu pamungkas Naga Angkasa yang dilepaskan oleh Anggara, salah satu murid Pasingsingan Sepuh.
Seorang pria baru saja memanen Eceng gondok (Eichhornia crassipes) yang tumbuh dalam wilayah yang sangat luas di atas Rawa Pening Banyubiru. Tanaman mengambang yang tumbuh menyebar sangat cepat dan sebelumnya sempat dianggap sebagai gangguan yang membahayakan lingkungan itu kini menjadi sumber pendapatan yang baik bagi penduduk setempat yang mengolahnya menjadi bahan baku berbagai benda kerajinan tangan.
Sayangnya Rawa Pening tidak lagi menyediakan getek, dan saya menyewa sebuah perahu motor dengan ongkos Rp.60.000 untuk berkeliling rawa yang sangat luas ini. Pemandangan diseputar Rawa Pening sungguh membawa kedamaian pikir. Sesekali pengemudi perahu mematikan mesin motor dan membiarkan perahu mengambang dalam kesunyian, dan tidak ada bebunyian terdengar kecuali desau angin. Keheningan rawa yang menghanyutkan memang sangat terganggu oleh suara motor perahu.
Kami sempat lewat di dekat seorang wanita dengan senyum mengembang yang tengah memanen batang Eceng gondok yang tumbuh lebat di tengah Rawa Pening Semarang. Di sejumlah titik saya bisa melihat bunga ungu Eceng gondok yang cukup elok dipandang diantaranya hijaunya batang eceng yang padat.
Jauh di belakang sana adalah perbukitan terkenal bernama Telomoyo, yang konon diselimuti oleh awan hampir di sepanjang waktu. Lokasi Rawa Pening bisa dibilang sangat strategis, karena berada di kaki Gunung Merbabu, Pegunungan Telomoyo, dan Pegunungan Ungaran. Sesekali kami bertemu perahu penduduk yang penuh berisi hasil panen eceng gondok melintas di depan kami.
Di Rawa Pening ada dermaga yang menjadi tempat turun naiknya pelancong yang akan dan telah menikmati panorama rawa dengan naik perahu sewa. Rawa Pening adalah bagian dari Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Dengan luas wilayah 2.670 hektar, Rawa Pening secara bersama dimiliki oleh kota-kota Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan juga Banyubiru.
Bagi anda penggemar cerita Nagasasra dan Sabuk Inten, nama Banyubiru pasti membawa kenangan manis pada beberapa nama, seperi Arya Salaka yang kemudian menjadi Ki Gede Banyubiru, dan ayahnya Ki Ageng Gajah Sora. Sungguh sangat menyenangkan bisa berkunjung kembali ke tempat yang telah memberi berbagai warna dalam kehidupan ketika kita masih kecil.
Di beberapa titik di Rawa Pening Banyubiru ada tonggak-tonggak bambu ditancapkan dalam formasi tertentu, digunakan sebagai semacam pangkalan bagi penduduk yang menggunakan cara unik dan sederhana untuk menangkap ikan rawa dengan menggunakan jala. Rawa Pening tampaknya terus menjadi sumber penghidupan bagi rakyat sekitar dengan cara yang berbeda-beda. Alam sangat pemurah, bergantung bagaimana cara manusia memanfaatkan dan melestarikannya.
Rawa Pening Banyubiru Semarang
Alamat : Bukit Cinta Desa Kebondowo, Kecamatan Banyubiru, Semarang. Lokasi GPS : -7.3066014, 110.4229751, Waze. Hotel di Semarang, Tempat Wisata di Semarang, Peta Wisata Semarang.Diubah: Januari 02, 2020.Label: Jawa Tengah, Rawa, Semarang, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.