Museum Monumen Pers Nasional Solo ada di tepi bundaran Jl. Gajah Mada dan Jl. Yosodipuro. Gedungnya cukup besar, dengan stupa di atapnya. Di depan gedung terdapat papan baca surat kabar Solopos, Suara Merdeka, dan Republika yang bisa dibaca gratis para pejalan kaki. Salah satu yang menarik di Museum Monumen Pers Nasional Solo adalah peralatan pemancar yang dipakai pada siaran langsung terjauh pada 1936, yaitu dari Solo ke Den Haag. Pemancar ini disebut Radio Kambing karena pernah disembunyikan pejuang RRI dan TNI di kandang kambing Desa Balong, lereng Lawu pada aksi militer Belanda II 1948-1949.
Saat itu Gusti Nurul, Putri Sri Mangkunegoro VII, menari Tari Srimpi dalam resepsi pernikahan Ratu Yuliana dan Pangeran Benhard di Istana Noordine, Den Hag, pada 1936. Tarian itu dilakukan dengan iringan gending yang disiarkan secara langsung oleh SRV dari Kota Solo dan dipancarkan ke negeri Belanda. Siaran itu dapat diterima di Istana Noordine melalui pesawat radio yang kemudian digunakan untuk mengiringi Gusti Nurul menari. Foto ketika Gusti Nurul menari digantung di bagian tengah atas peralatan ini.
Pada teras Museum Monumen Pers Nasional Solo terdapat empat arca naga berukuran besar, namun saya masuk melalui pintu samping. Gratis. Di beranda depan museum terdapat Kentongan Kyai Swara Gugah sebagai lambang alat komunikasi utama pada masa lalu. Begitu masuk ke dalam ruangan, terlihat beberapa buah patung dada para Perintis Pers Indonesia di sisi kanan lorong.
Penerbitan pers di Indonesia berawal dari Bataviasche Novelles en Politique Raisonemnetan, surat kabar pertama yang terbit 7 Agustus 1774. Hampir seabad kemudian terbit koran bahasa Melayu seperti Slompet Melajoe dan Bintang Soerabaja (1861). Lalu ada Li Po (1901), Medan Prijaji (1907), Sin Po (1910), dan majalah pertama Panji Islam (1912).
Koran Kedaulatan Rakyat terbit pertama kali pada tanggal 27 September 1945 di Yogyakarta, atau sekitar satu bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI. Koran ini didirikan oleh H Samawi dan H Sumadi Wonohito, yang namanya diambil dari UUD 1945 alinea 4 Suara Hati Nurani Rakyat.
Edisi perdana Koran Kedaulatan Rakyat memuat wawancara dengan Presiden Soekarno yang menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia itu bukan hadiah dari Jepang melainkan merupakan kemauan bangsa Indonesia sendiri. Selain itu berita adanya Maklumat Tentang Kekuasaan Pemerintah Daerah Yogyakarta di tangan bangsa Indonesia serta Maklumat Tentang Jaminan Keselamatan Orang Asing di Yogyakarta. Plat percetakan perdana Koran Kedaulatan Rakyat saat ini disimpan di Museum Monumen Pers Nasional Solo.
Patung dada lima tokoh pers nasional, yaitu Soetopo Wonobojo, R. Bakrie Soeraatmadja, Dr. Abdul Rivai, Dr. Danudirdja Setiabudhi, dan R.M. Bintarti. Soetopo memimpin harian Boedi Oetomo edisi Bahasa Belanda di Yogya, kemudian memimpin Harian Koemandang Rakjat di Solo, dan menjadi ketua PB PERDI pertama pada Kongres di Solo tahun 1933.
Bakrie Soeraatmadja adalah pemimpin redaksi Sipatahoenan, surat kabar berbahasa Sunda. Ia dijebloskan ke penjara Belanda selama 3 bulan karena menulis tentang penangkapan Soekarno. Sedangkan Dr. Abdul Rivai rajin mengirim tulisan ke suratkabar tanah air saat berkelana ke Eropa dan Amerika, yang memberi pembelajaran politik kepada bangsanya.
Dr. Danudirdja Setiabudhi (Douwes Deker) bersama Dr. Cipto Mangunkusumo dan R Soewardi Soerjaningrat mendirikan Indische Partij pada 1912. Di Solo ia menerbitkan De Beweging dan dipenjara 2 tahun karena terlibat pemogokan buruh pabrik gula. Pindah ke Semarang ia menerbitkan Niewe Express, dan pindah ke Bandung ia menerbitkan Ksatrian Insituut.
Sedangkan RM Bintarti bersama dengan R Panji Soeroso menerbitkan Kemadjoean Hindia yang sayangnya tak bertahan lama. Ia sempat pindah ke Sin Po, Soeara Publiek, dan Pewarta Surabaja sampai 1942. Pada 1945 bersama Bung Tomo ia mendirikan Kantor Berita Indonesia yang kemudian digabungkan dengan Kantor Berita Antara Pusat Jakarta.
Ada ribuan koran, majalah serta berbagai benda bersejarah terkait pers Indonesia yang disimpan di Museum Monumen Pers Nasional ini, baik di ruang pamer, ruang Media Center, dan di perpustakaan lantai atas. Salah satu yang menarik adalah Koran Asia Raya yang mengangkat head-line Pengangkatan Kepala Negara Indonesia Merdeka Ir . Soekarno dan Drs. Moh. Hatta, dengan sub-judul Undang-undang dasar Negara disahkan. Koran ini masih menggunakan tahun berdasar kalender Jepang. Adalah koran Soeara Asia yang memuat pertama kali teks Proklamasi Kemerdekaan pada edisi 18 Agustus 1945, kemudian diikuti oleh koran Tjahaja (Bandung), Asia Raja (Jakarta), dan Asia Baroe (Semarang).
Koleksi benda pers bersejarah lainnya adalah rekaman gerhana Matahari total, mesin ketik Bakrie Soeriatmadja, Diorama Perkembangan Pers Indonesia, portable mixer, microfilm, baju wartawan Hendro Subroto, Kenthongan Kyai Swara Gugah, koleksi Bali Post, telepon antar stasiun, mesin ketik kuno, dan kamera wartawan Udin.
Udin adalah nama panggilan bagi Fuad Muhammad Syafruddin, wartawan Harian Bernas Yogyakarta sejak 1986, yang dianiaya oleh orang tak dikenal yang membuatnya meninggal dunia dalam usia 32 tahun pada 16 Agustus 1996 (lahir di Bantul, Yogyakarta, 18 Februari 1964). Sebelum dibunuh, Udin kerap menulis artikel kritis tentang kebijakan Orde Baru dan militer.
Selasa malam pukul 23.30 WIB tanggal 13 Agustus 1996, Udin dianiaya pria tidak dikenal di depan rumah kontrakannya di Dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis Km 13 Yogyakarta, yang menyebabkannya terus dalam keadaan koma dan dirawat di RS Bethesda. Esoknya Udin menjalani operasi otak, namun karena luka parahnya akibat pukulan batang besi di kepalanya, Udin meninggal pada hari Jumat tanggal 16 Agustus 1996 pukul 16.50 WIB.
Menurut penuturan Marsiyem, isteri Udin, kamera dan tasnya biasa menemani Udin kemana-mana untuk mengambil foto lepas dan meliput berita. Marsiyem menyerahkan kamera dan tas Udin ke Monumen Pers Nasional, dengan disaksikan puteranya yang bernama Zulkarnaen Wikanjaya, di kediaman mereka di Jl Ir Juanda Gedongan RT02 Trirenggo Bantul pada tanggal 15 Januari 2013.
Mesin ketik Bakrie Soeriatmadja, salah seorang Perintis Pers Indonesia, berupa mesin tik kuno merk Underwood buatan sekitar tahun 1920 - 1927 yang menjadi koleksi Museum Monumen Pers Nasional. Mesin tik ini selalu dipakainya sebagai alat perjuangan membuat berbagai tulisan yang dimuat di surat kabar. Bakrie adalah wartawan dan Pemimpin Redaksi Koran Sipatahoenan, koran berbahasa Sunda yang terbit di Bandung, serta aktif menulis di berbagai surat kabar lain. Berita yang ditulisnya cukup berani yang membuatnya dijebloskan oleh Belanda ke penjara Sukamiskin selama 3 bulan. Bakrie Soeriatmadja lahir tanggal 26 Juni 1895 dan wafat 1 Juni 1971.
Koleksi mesin ketik kuno lainnya adalah merk Royal buatan Jerman tahun 19209, Triumph buatan Jerman tahun 1920, Smith Corona buatan Italia tahun 1920, dan mesin tik Royal buatan Amerika tahun 1920. Telepon antar stasiun di Museum Monumen Pers Nasional Solo adalah merupakan alat komunikasi yang menjadi sarana penghubung antar stasiun jarak dekat di Perusahaan Jawatan Kereta Api di Indonesia sekitar tahun 1920-an.
Koleksi microfilm Museum Monumen Pers Nasional merupakan sumbangan dari Wakil Presiden Adam Malik yang diberikan pada sekitar tahun 1980. Fungsinya memindai obyek berupa koran dan majalah kuno untuk diubah menjadi bentuk film negatif berukuran mikro dan kemudian didokumentasikan. Karena prosesnya rumit, fungsinya kin telah digantikan scanner dan foto digital.
Hendro Subroto, yang baju wartawannya disimpan di Museum Monumen Pers Nasional Solo, adalah seorang wartawan perang. Ia mengawali karir di tahun 1964 sebagai kameraman TVRI dan pernah mengikuti pendidikan Television Journalism di OCTA, Tokyo, Jepang. Pada tahun 1975 Hendro, ketika meliput perang yang sengit di Bobonaro, Timor Timur, jatuh korban 20 orang namun Hendro selamat, dan baju yang ia pakai saat peristiwa itulah yang kini disimpan di Monumen Pers Nasional. Hendro menerima anugerah Penegak Pers Pancasila dari Persatuan Wartawan Indonesia, Tanda Kehormatan Satya Lencana Seroja dan Satya Lencana Bhakti dari Departemen Pertahanan dan Keamanan RI. Hendro lahir di Surakarta 18 Desember 1938, meninggal pada tanggal 14 Oktober 2010, dan dimakamkan di San Diego Hill, Karawang.
Peran pers mengalami pasang surut sejak jaman Belanda, Jepang, masa revolusi, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, orde baru, dan era reformasi. Di Museum Monumen Pers Nasional Solo ada pula majalah Djawa Baroe, yaitu majalah buatan pemerintah pendudukan Jepang ini adalah alat propaganda agar rakyat mendukung Jepang dalam perang Asia-Pasifik. Koleksi lainnya adalah "Fikiran Rak'jat" dengan pemimpin redaksi Ir.Soekarno, "Penjebar Semangat", Majalah "Minggu Pagi", Sketsmasa, dan Mataram.
Sebuah diorama di Museum Monumen Pers Nasional menggambarkan kondisi pada masa reformasi. Pada sisi paling kiri dalam diorama itu adalah sosok Gus Dur yang meniup api Departemen Penerangan sebagai simbol dibubarkannya kementrian ini dan dimulainya era kebebasan pers. Pada era ini juga diperbolehkan cetak jarak jauh. Di sebelah kanan ditampilkan Presiden (waktu itu) Megawati di depan bangunan Lembaga Informasi Nasional (LIN).
Ada pula diorama yang menggambarkan beberapa serdadu Jepang baru saja turun dari kapal, pamflet propaganda melayang di atas gedung yang dijatuhkan dari pesawat, seorang tentara Jepang tengah berpidato dan wartawan memotretnya. Ada pertunjukan tarian. Ada pula penjara, dan suasana percakapan. Diorama ini menggambarkan situasi kerja jurnalistik saat itu yang banyak berisi propaganda Jepang, sensor pers, dan hukuman bagi penerbit dan wartawan yang dianggap berbahaya. Nama tokoh pers yang disebut pada diorama adalah Dr Abdul Rivai, R Bakrie Soeraatmadja, RM Bintarti, Dr Danudirdja Setiabudhi, R Darmosoegito, RM Tirto Adi Soerjo, Djamaludin Adinegoro, DR GSSJ Ratulangie, RM Soedarjo Tjokrosisworo, Soetopo Wonobojo, dan Taher Tjindarboemi.
Lebih satu juta eksemplar contoh media cetak yang terbit di seluruh Indonesia sejak jaman penjajahan telah didokumentasikan, dikonservasi dan didigitalisasi di Museum Monumen Pers Nasional. Salah satunya adalah Fikiran Ra'jat, majalah dengan pemimpin redaksi Ir Soekarno.
Tempat terkait pers yang juga menarik adalah Museum dan Galeri Foto Jurnalistik Antara. Museum Monumen Pers Nasional resmi dibuka pada 9 Februari 1978, menggunakan Gedung Societeit Sasana Soeka yang dibangun pada 1918 oleh Mangkunegara VII dengan arsitek Mas Abu Kasan Atmodirono. Selanjutnya ditambah gedung lain yang dibangun pada 1970-an.
Museum Monumen Pers Nasional Solo
Alamat : Jl. Gajah Mada 59, Solo. Telp 0271-711494, 712734, Fax 0271-716008. Lokasi GPS : -7.564889, 110.818194, Waze. Rujukan : Hotel di Solo, Tempat Wisata di Solo, Peta Wisata Solo.Sketsmasa adalah majalah tengah bulanan, terbit dua minggu sekali, yang populer pada tahun 1950-an sampai awal Orde Baru. Majalah ini terbit di Surabaya, berskala nasional, bertiras besar dan beredar di seluruh Indonesia.
Majalah Djawa Baroe di Monumen Pers Nasional, yang merupakan majalah pemerintah pendudukan Jepang sebagai alat propaganda kepada rakyat untuk mendukung Jepang dalam perang di Asia-Pasifik.
Minggu Pagi adalah majalah lokal yang terbit di Yogyakarta sejak 1952 dan telah ikut melahirkan banyak sastrawan Indonesia dan tetap eksis hingga saat ini. Pendirinya adalah Samawi dan Wonohito.
Panjebar Semangat merupakan majalah mingguan berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya sejak 2 September 1933. Majalah ini didirikan oleh Dr. Soetomo, pendiri Budi Utomo, awalnya sebagai media perjuangan bagi kemerdekaan Indonesia.
Fikiran Ra'jat adalah majalah politik populer yang diterbitkan oleh Ir.Sukarno. Nomor contoh terbit pada 15 Juni 1932, dan edisi pertamanya terbit pada 1 Juli 1932.
Prasasti yang ditulis di atas batu marmar ini menempel pada sebuah batu besar di ruang depan Gedung Monumen Pers Nasional.
Koleksi peralatan di Monumen Pers Nasional yang digunakan pada siaran langsung terjauh di Indonesia yang terjadi pada 1936, yaitu dari Solo ke Den Haag.
Gusti Nurul, Putri Sri Mangkunegoro VII, tengah menari Tari Srimpi dalam resepsi pernikahan Ratu Yuliana dan Pangeran Benhard di Istana Noordine, Den Hag, pada 1936, dengan iringan gending yang disiarkan secara langsung oleh SRV dari Kota Solo dan dipancarkan ke negeri Belanda.
Patung dada beberapa tokoh pers nasional, yaitu Dr. GSJJ Ratulangie, RM Tirtohadisoerjo, R. Darmosoegito, RM Soedarjo Tjokrosisworo, dan Djamaluddin Adinegoro. Melalui surat kabarnya Nationale Commentaren, Ratulangi banyak menelanjangi kecurangan Belanda, sehingga dijebloskan ke penjara selama 4 bulan. Di penjara ia menulis buku "Indonesia in den Pasific". Di awal kemerdekaan Ratulangie menjadi Gubernur Sulawesi.
RM Tirtohadisoerjo adalah orang yang melakukan pembaruan dalam mengolah isi suratkabar. Ia kemudian menjadi pemimpin redaksi Medan Priyayi dan Suluh Keadilan. Karena tulisannya yang sangat tajam mengkritik Belanda ia dibuang ke Pulau Bacan.
R. Darmosoegito banyak mengirim tulisan ke berbagai suratkabar dan majalah, seperti Bromartani, Djawi Kondo, Djawi Hiswara, Pasopati, Madjapahit, Taman Pewarta, Taman Sari, dan banyak lagi lainnya. Ia juga mengajar menari, dan menulis tentang kebudayaan Jawa.
Soedarjo Tjokrosisworo adalah salah satu pelopor berdirinya PERDI (Persatoean Djoernalis Indonesia) dan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) pada 1946, serta merintis berdirinya museum pers di Indonesia.
Djamaluddin Adinegoro menerbitkan catatan perjalanannya ke Barat dalam buku "Melawat Ke Barat". Ia juga pernah menjadi redaksi majalah Panji Poestaka, dan lalu memimpin harian Pewarta Deli di Medan. Ia ikut mendirikan majalah Mimbar Indonesia. Nama Adinegoro dipakai untuk pemnberian penghargaan karya jurnalistik terbaik wartawan Indonesia.
Sebuah diorama di Museum Monumen Pers Nasional.
Potongan Diorama III yang menggambarkan beberapa serdadu Jepang baru saja turun dari kapal. Ada pamflet propaganda melayang di atas gedung yang dijatuhkan dari pesawat. Seorang tentara Jepang tengah berpidato dan wartawan memotretnya. Ada pertunjukan tarian. Ada pula penjara, dan suasana percakapan.
Diorama II ini menggambarkan masa VOC kira-kira tahun 1615 pada masa Jurnalistik pribumi awal, jurnalistik bahasa daerah pada 1855, jurnalistik Melayu dan Tionghoa pada 1902. Pieterszoen Coen menerbitkan koran Memories der Nouvelles pada 1615 yang ditulis tangan bagi kepentingan Belanda juga ditujukan bagi kaum terjajah. Koran pertama yang terbit di masa penjajahan Belanda adalah Bataviasche Nouveles pada 7 Agustus 1744. Pada 21 Maret 1855 di Solo diterbitkan Bromantani, surat kabar mingguan berbahasa Jawa oleh Winter, seorang penulis berkebangsaan Belanda, dan didukung oleh Raden Ngabehi Ronggowarsito.
Diorama IV ini menggambarkan detik-detik proklamasi, orang membaca koran mengikuti berita, perlawanan fisik, mengindikasikan kondisi jurnalistik saat itu untuk mengobarkan semangat perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dibawah pengawasan ketat penjajah para jurnalis harus sembunyi-sembunyi melakukan pekerjaan jurnalistiknya. Pada 9 Februari 1946 lahir Persatuan Wartawan Indonesia.
Beberapa orang pengunjung, kebetulan semuanya wanita, tengah menggunakan fasilitas komputer dan internet gratis di Ruang Multimedia Museum Monumen Pers Nasional. Di ruang ini terdapat 9 PC, scanner, dan printer.
Mesin ketik kuno merk Underwood buatan 1920-1927 yang selalu dipakai Bakrie Soeriaatmadja untuk membuat berbagai tulisan di surat kabar. Peninggalan AA Hamidan berupa radio merk Erres KY 446 buatan Belanda, kacamata, bolpoin, pipa rokok dan dasi yang diserahkan oleh Siti Fauziah, anaknya, pada 18 April 2013.
Koleksi museum Monumen Pers Nasional berupa mesin ketik merk Royal buatan Amerika tahun 1920, merk Smith Corona buatan Italia tahun 1920, merk Triumph buatan Jerman tahun 1920, merk Royal buatan Jerman 1920, dan beberapa mesin ketik kuno lainnya. Ada pula koleksi telefon antar stasiun jarak dekat yang digunakan jawatan kereta api pada tahun 1920-an.
Peninggalan sastrawan dan wartawan TVRI Trisnoyuwono yang dipajang di museum Monumen Pers Nasional adalah peralatan terjun payung yang merupakan olah raga kegemarannya, serta video yang digunakannya saat merekam peristiwa gerhana matahari total di Tanjung Kodok pada 11 Juni 1983.
Fuad Muhammad Syafruddin adalah wartawan Harian Bernas Yogyakarta yang dianiaya oleh orang tak dikenal karena tulisannya yang kritis hingga akhirnya ia meninggal dunia. Tas dan kamera yang selalu menemaninya kemana-mana diserahkan oleh Marsiyem isterinya pada 15 Januari 2013 ke museum Monumen Pers Nasional.
Diubah: Desember 17, 2024.
Label: Jawa Tengah, Museum, Pers, Solo, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.