Sesudah signal satelit diperoleh dan trek lintasan muncul, terlihat jarak ke Astana Randusongo tidak jauh, menyimpang bdari jalur utama Karanganyar - Solo. Saya memutuskan mencoba peruntungan keakuratan GPS navigasi yang di waktu lalu memberi anjuran jalur aneh. Jalan simpang ke kanan terlewati karena keraguan pada pembacaan GPS Navigasi, sehingga kami berputar dan lalu berbelok ke kiri. Kondisi jalan simpang itu masih baik, dan beberapa menit kemudian kami berada di sebuah bulakan panjang dengan sawah di kiri kanan. Mata waspada, namun sampai melewati titik yang kami tuju, tak ada tempat yang mungkin bernama Astana Randusongo. Kami berhenti di ujung bulak dan bertanya arah.
Rupanya kami harus belok kiri di pertigaan beberapa ratus meter sebelum ujung bulak. Pertigaan itu saya lihat, namun berupa jalan setapak selebar satu mobil yang membelah persawahan. Kami balik arah, dan di pertigaan itu kami belok ke kanan masuk ke jalan tanah. Beberapa puluh meter sebelum ujung jalan ada percabangan jalan ke kanan dimana di ujung jalan itu ada bangunan yang saya kira Astana Randusongo. Ternyata bukan. Lelaki di sana memberitahu bahwa Astana Randusongo sudah dekat di ujung jalan yang lurus itu. Melihat kondisi jalan tak baik, saya memutuskan berjalan kaki. Belakangan saya tahu bahwa mobil bisa lewat.
Setelah melewati jembatan dengan gerumbul di sebelah kanan, saya melihat gapura lengkung paduraksa dengan tiga lubang di kanan jalan dan masuk ke dalamnya. Karena difoto melawan sinar matahari, aslinya foto gapura ini terlihat gelap, sehingga terlihat grainy atau tak mulus sewaktu dibuat agak terang.
Sebenarnya tak faham saya dengan apa yang ada di Astana Randusongo ini. Hanya karena namanya yang menarik, dan kebetulan saya bisa menemukan data GPS-nya, maka sampailah saya ke tempat ini. Tak faham pula siapa Kyai Ronggo Panambang I ini. Nama yang terdengar enak di telinga, namun tak pernah saya jumpai di buku sejarah.
Yang menarik adalah adanya tulisan di Harian Kompas edisi 5 September 1987 tentang ditemukannya surat wasiat Pangeran Sambernyawa yang menyebutkan bahwa sesudah Mangkunagoro VIII tahta harus diserahkan kepada keturunan Ronggo Panambang. Meski keabasahan dokumen itu telah dibantah, namun rupanya ada keterkaitan yang cukup dekat diantara kedua sosok nama itu.
Sebuah topik bahasan di Kaskus menyingkap lebih jauh sosok Kyai Ngabehi Ronggo (Rangga) Panambang ini. Tokoh yang awalnya bernama Raden Mas Sutawijaya ini adalah anak Tumenggung Wirasuta yang tidak bisa mengganti kedudukan ayahnya, tetapi menerima warisan banyak uang dan harta benda peninggalan dari sang ayah.
Tengara Astana Randusongo (Randusanga) diukir pada keramik yang menempal pada batu. Tengara itu menyebutkan bahwa Astana Randusongo dipugar kembali pada September 1997 oleh ahli waris Kyai Ronggo Panambang I. Bahwa ada ahli waris yang masih merawat makam leluhur adalah sesuatu yang patut diapresiasi.
Seorang pria menyapa dan ia lalu masuk ke bangunan di sebelah kanan cungkup Makam Kyai Ronggo Panambang untuk memberitahu kuncen. Saya cukup beruntung karena ada pria itu yang secara sukarela memberitahu kedatangan saya kepada kuncen. Di depan cungkup itu adalah pendopo bertiang kayu ukir, berlantai keramik kelabu, dimana terdapat sederet makam.
Suasana sekitar mulai remang. Jam di gadget menunjukkan 15 menit menjelang jam 6 sore ketika Demang Imam Suwarno datang menemui. Demang berusia 80-an tahun itu telah menjadi kuncen selama 45 tahun. Meskipun cara bicaranya tak begitu jelas, namun beberapa perkataannya bisa saya tangkap dengan baik.
Sejenak kemudian saya meminta ijin untuk masuk ke dalam makam Ronggo Penambang. Saya masuk sendirian sementara kuncen duduk bersila menunggu di luar cungkup. Setelah berada di dalam sempat terselip perasaan menyesal, mengapa tidak meminta kuncen untuk menemani berziarah, sekaligus memintanya untuk membaca doa. Kuncen di tempat seperti ini, pilihan doanya biasanya sangat baik.
Pendopo di depan cungkup Makam Ronggo Panambang I tampaknya merupakan hasil pemugaran yang dilakukan pada 1997 itu. Area yang disebut Astana Randusongo ini boleh dikatakan luas. Selain pendopo dimana saya duduk menunggu kuncen, saya lihat ada lagi cungkup di ujung sana yang posisi tanahnya berada lebih tinggi.
Di dalam cungkup rupanya terdapat tiga makam. Satu ditutup dengan kelambu, diapit sebuah makam di kiri-kanannya. Tak lama saya berada di dalam ruangan. Suasana temaram senja di makam yang sepi, sendirian, membuat saya tak bernafsu untuk membuka kelambu makam.
Keluar dari cungkup saya duduk lagi, dan mendapat penjelasan bahwa Ronggo Panambang adalah Senopati Pangeran Sambernyawa atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I, yang bernama muda Raden Mas Sahid. Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan Gubernur VOC Nicolaas Hartingh karena di peperangan ia selalu membawa kematian bagi lawan-lawannya. Pangeran Sambernyawa menikah wanita petani bernama Rubiyah, yang ia beri julukan Matah Ati, nama yang kemudian digunakan oleh sebuah pertunjukan sendratari berkelas di Kota Solo.
Menurut Imam Suwarno, makam di sebelah kanan makam Ronggo Panambang adalah makam isterinya, sedangkan yang ada di sebelah kiri adalah makam selirnya yang berupa badan halus atau peri. Kerabat Mangkunegara konon tak berani memberi nama karena takut salah.
Ketika Raden Mas Said memutuskan untuk memberontak melawan Pakubuwono III, ia mengangkat dua pembantu utama, yaitu pamannya sendiri yang berasal dari Laroh bernama Wiradiwangsa, dan RM Sutawijaya. Ketika pasukan tempurnya sudah besar, Ki Wiradiwangsa diangkat menjadi patih bergelar Kyai Ngabehi Kudanawarsa dan RM Sutawijaya diangkat menjadi pemimpin pasukan dengan gelar Kyai Ngabehi Ronggo Panambang.
RM Said atau Pangeran Sambernyawa berperang selama 16 tahun melawan Mataram dan Belanda, dan terlibat dalam 250 kali pertempuran, tiga diantaranya merupakan pertempuran besar. Yang pertama melawan pasukan HB I di Desa Kasatriyan, barat daya Kota Ponorogo, pada 16 Syawal tahun Je 1678 Jawa (1752 M). Meskipun kecil, pasukan Pangeran Sambernyawa memukul mundur musuh dengan menewaskan 600 prajurit lawan, dan konon hanya 3 prajuritnya yang tewas serta 29 lainnya luka.
Perang besar kedua melawan dua detasemen VOC dibawah komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di hutan Sitakepyak, Selatan Rembang, pada Senin Pahing, 17 Sura tahun Wawu 1681 Jawa (1756 M). Pangeran Sambernyawa berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya dan menyerahkannya kepada salah satu istrinya untuk hadiah perkawinan.
Pertempuran besar ketiga adalah penyerbuan Benteng Vredeburg dan Keraton Yogya pada Kamis 3 Sapar, tahun Jumakir 1682 Jawa (1757 M), akibat Pangeran Sambernyawa murka setelah mengetahui tentara VOC mengejarnya sambil membakar dan menjarah harta penduduk desa.
Setelah memancung Patih Mataram Joyosudirgo, Pangeran Sambernyawa diam-diam membawa pasukan mendekati Keraton Yogya. Benteng VOC yang berada beberapa puluh meter dari keraton diserbu, menewaskan lima tentara VOC dan ratusan lainnya lari masuk ke Keraton Yogya. Pasukan Pangeran Sambernyawa lalu menyerbu Keraton Yogya dan berkobarlah pertempuran dahsyat yang berlangsung seharian penuh sebelum akhirnya Pangeran Sambernyawa menarik mundur pasukannya menjelang malam.
Pada Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 yang ditandatangani Pangeran Sambernyawa, Sunan PB III, VOC, dan Sultan HB I di gedung VOC yang sekarang kantor Walikota Kota Salatiga, HB I dan PB III akhirnya secara resmi melepaskan sebagian wilayah mereka untuk Pangeran Sambernyawa, meliputi wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu.
Pada 4 Jimakir 1683 Jawa (1756 Masehi), Pangeran Sambernyawa mendirikan istana di pinggir Kali Pepe yang sekarang dikenal sebagai Istana Mangkunegaran. Pangeran Sambernyawa atau Mangkunegara I adalah raja Jawa pertama yang melibatkan wanita di dalam angkatan perang.
Meskipun dalam catatan sejarah di atas nama Ronggo Panambang tidak disebutkan, namun sebagai pemimpin pasukan tempur tentulah Ronggo Panambang memiliki peranan besar dalam keberhasilan Pangeran Sambernyawa di setiap pertempuran.
Tepat jam 6 kurang 1 menit saya meninggalkan Astana Randusongo, dengan sejumlah kisah yang tersimpan di dalamnya. Berjalan kaki lagi ke pinggiran sawah melewati jembatan dan gerumbul gelap itu bisa-bisa membuat bulu kuduk saya berdiri. Untunglah tiba-tiba mobil Pak Jum muncul, rupanya ada yang memberitahu bahwa mobil bisa lewat.
Kami meninggalkan Astana Randusongo lewat jalan berbeda, tanpa balik lagi ke jalan di tengah sawah. Lewat jalan yang seharusnya kami lalui pada waktu datang. Terbukti lagi bahwa GPS Navigasi sukses membawa ke tempat yang dituju, namun bisa lewat jalan yang tak semestinya. Begitu pun saya senang telah berkunjung ke Astana Randusongo Karanganyar ini, dan lalu berhasil menguak kisah penghuni makamnya.
Astana Randusongo Karanganyar
Alamat : Desa Gaum, Kecamatan Tasikmadu, Karanganyar, Jawa Tengah. Lokasi GPS : -7.57991, 110.94781, Waze. Peta Wisata Karanganyar, Tempat Wisata di Karanganyar, Hotel di Tawangmangu. Diubah: September 28, 2019.Label: Jawa Tengah, Karanganyar, Makam, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.