Lolong adalah desa wisata di Pekalongan yang terkenal dengan duriannya, sehingga kami lewat hutan pohon durian di kiri kanan jalan. Namun musim durian hampir lewat, dan sudah tidak enak rasanya ketika membeli di pinggir jalan. Beresiko membeli buah di awal dan akhir musim.
Tanpa GPS navigasi, kami bergantung pada Dodi untuk menuju sasaran, sehingga ketika sedang terkantuk karena roda mobil yang bulat berjalan di jalan mulus, tiba-tiba Dodi menghentikan kendaraan di dekat tikungan. Hilang kantuk saya pun keluar dari kendaraan, berjalan mengikuti jalan menurun sekitar 40 meter untuk sampai ke Jembatan Lengkung Lolong Pekalongan.
Penampakan Jembatan Lengkung Lolong Pekalongan, dengan bagian tengahnya melengkung ke atas, melintang tinggi di atas Sungai Sangkarang yang lumayan lebar sungainya. Bentang jembatannya sendiri adalah sekitar 40 meter, dengan lebar 3 meter. Portal besi yang mirip tiang gawang sepak bola dipasang si mulut jembatan agar kendaraan roda empat tidak bisa lewat.
Jembatan ini memang sudah tua, dibuat pada tahun 1927. Kendaraan roda empat yang sering berlebihan bebannya tentu berbahaya bagi kelestarian jembatan. Namun ada pikiran menggelitik, jika Belanda dulu sudah mampu membuat jembatan ini, masakan pemkab tidak bisa meperbaiki dan menjadikannya elok dengan tetap menjaga keasliannya?
Cara lain melakukan konservasi pada jembatan ini sebagai upaya merawat kisah masa lalu adalah dengan membuat jembatan baru pada jarak yang tidak terlalu jauh dari lokasi jembatan yang lama ini. Jembatan yang tidak saja fungsional sebagai penghubung antara dua tempat, namun juga memiliki nilai arsitektur dan nilai seni yang baik, dan bisa bertahan ratusan tahun lamanya.
Mungkin karena lokasinya yang strategis, berjarak tinggi dengan sungai besar di bawahnya, Belanda juga sering menjadikan Jembatan Lengkung Lolong Pekalongan sebagai tempat untuk mengeksekusi para pejuang yang tertangkap. Pada saat agresi militer Belanda, jembatan ini menjadi ajang baku tembak antara tentara kolonial melawan pasukan republik.
Pemandangan pada Sungai Sengakarang dari atas Jembatan Lengkung Lolong Pekalongan, saat beberapa anak tengah bermain, dengan aliran air yang cukup deras meskipun saat itu masih musim kemarau. Bermain air di sungai adalah kegiatan masa kanak-kanak yang menggembirakan, meski kadang bisa mendatangkan maut jika saja tidak pintar membaca gerak air pertanda ada banjir di hulu.
Jembatan Lengkung Lolong Pekalongan konon menjadi saksi beberapa peristiwa berdarah semasa penjajahan Belanda dan di jaman perang kemerdekaan yang memakan korban jiwa penduduk. Ki Madrawi, Kepala Desa pertama Desa Lolong dikabarkan digantung dan ditembak mati di jembatan ini dan mayatnya dihanyutkan ke Sungai Sangkarang sebagai akibat menentang Belanda.
Jika dilihat dari atas jembatan dan ditangkap oleh kamera dengan lensa standar, anak-anak ini terlihat kecil karena jaraknya yang cukup jauh. Hanya ketika menggunakan lensa tele penampakan anak-anak ini baru terlihat lebih jelas. Di sebelah kanan anak-anak itu ada area dimana tedapat gazebo, yang bisa menjadi tempat yang bagus untuk memotret jembatan dan mendapatkan gambar yang utuh. Hanya saja saya lupa tak ke sana.
Ketika debit air tinggi di musim penghujan, sungai ini menjadi arena petualangan arung jeram grade 4 yang artinya kelas lanjut dan memerlukan kemampuan khusus dan perlu pengawasan pedayung profesional. Tak heran Jembatan Lolong dibuat oleh Belanda dengan ketinggian dari atas permukaan air sungai yang lumayan, oleh sebab derasnya aliran air sungai di musim hujan.
Pandangan tegak dari arah samping yang sempat saya ambil fotonya memperlihatkan ketinggian jembatan dari dasar Sungai Sengkarang yang ada di bawahnya. Cukup Tinggi, dan akan sangat berbahaya jika jembatan ini sampai runtuh saat orang sedang melewatinya. Semoga saja tetap awet dan kuat.
Saat itu di seberang jembatan ada beberapa anak muda yang sedang bersiap untuk melakukan perekaman wawancara terkait Jembatan Lengkung Lolong Pekalongan dan Desa Wisata Lolong. Pada latar belakang foto ini, menempel pada padas, terdapat dua buah prasasti. Di belakang batu padas yang di sebelah kanan ada pohon tua tinggi yang tumbuh pada tebing Sungai Sangkarang.
Prasasti yang di sebelah kanan adalah peresmian ditetapkannya Lolong sebagai desa wisata oleh Bupati Pekalongan pada 10 Februari 2013. Sedangkan prasasti di sebelah kiri berisi syair lagu "Lolong" yang diciptakan Ebiet G. Ade, terinspirasi saat ia berkunjung ke desa ini pada tahun 1976. Prasasti itu ditandatangani olehnya langsung pada tahun 2013.
Di atas jembatan anak-anak muda itu mulai melakukan proses perekaman dengan menggunakan gadget sederhana di ujung Jembatan Lengkung Lolong Pekalongan. Anak muda berbaju batik yang menjadi narasumber mengenakan selempang bertulis "Mas & Mbak Duta Wisata Kabupaten Pekalongan". Bagus, semangat mereka patut dipuji untuk mewartakan tempat wisata lokal, meskipun kebanyakan tempat wisata itu belum mendapat perhatian secara semestinya.
Pada bagian ini diletakkan batu besar di badan jalan untuk mencegah kendaraan roda empat melewati Jembatan Lengkung Lolong Pekalongan. Bagian ini masuk wilayah Dukuh Sampel, Kecamatan Lebakbarang, sedangkan di ujung sana ada di wilayah Desa Lolong, Kecamatan Karanganyar. Jembatan ini awalnya dibuat menggunakan batu dari Sungai Sangkarang sehingga juga disebut sebagai jembatan batu.
Sudah waktunya pemkab Pekalongan memberi perhatian untuk memperbaiki Jembatan Lengkung Lolong Pekalongan agar menjadi kokoh, cantik, dan anggun. Selain itu pemkab juga perlu membuat fasilitas pendukung di area sekitar jembatan untuk menjadikannya tujuan wisata heritage yang baik, sehingga pengunjung tidak hanya datang setahun sekali ke tempat ini saat ada festival durian saja.
Jembatan Lengkung Lolong Pekalongan
Alamat : Desa Lolong, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Pekalongan. Lokasi GPS : -7.06737,109.64129, Waze ( smartphone Android dan iOS ). Hotel di Pekalongan, Tempat Wisata di Pekalongan, Peta Wisata Pekalongan.Diubah: November 15, 2019.Label: Jawa Tengah, Jembatan, Pekalongan, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.