Kyai Mojo adalah penasehat spiritual Pangeran Diponegoro yang mengobarkan Perang Jawa melawan pasukan kolonial Belanda pada 1825 - 1830, dan bergabung sejak hari pertama pasukan Pangeran Diponegoro berada di Goa Selarong. Kompleks Makam Kyai Mojo ini jauh lebih baik lokasi dan suasananya ketimbang Kompleks Makam Pangeran Diponegoro yang relatif sempit dan berada di tengah keramaian kota Makassar.
Ketika tiba pintu pagar Makam Kyai Mojo terkunci, dan karena terlalu lama menunggu, kami masuk melalui bawah pagar. Jika saja dipajang di pintu pagar nomor telepon penjaga maka kami tidak perlu kerepotan. Sangat sayang jika harus putar badan setelah jauh-jauh ke sana, seperti orang di mobil lain yang langsung pergi setelah melihat pintu pagar makam terkunci.
Undakan menuju ke puncak bukit dimana Makam Kyai Mojo berada, dengan papan nama serta penjelasan singkat tentang Makam Kyai Mojo serta papan nama Pahlawan Nasional KH Ahmad Rifa'i. Undakan ini berjarak 100 meter dari tepi jalan dimana pintu pagar pertama berada. Beruntung bahwa pintu pagar kedua di undakan ini tidak terkunci.
Papan nama di Makam Kyai Mojo itu menceritakan bahwa rombongan Kyai Mojo yang tiba di Tondano pada akhir tahun 1929 itu berjumlah 63 orang, dan semuanya laki-laki. Mereka kemudian menikah dengan wanita Minahasa, diantaranya bermarga Supit, Sahelangi, Tombokan, Rondonuwu, Karinda, Ratulangi, Rumbajan, Malonda, Tombuku, Kotabunan, dan Tumbelaka, dan kemudian beranak pinak di Kampung Jaton di Tondano itu.
Papan itu juga menyebutkan bahwa Kyai Mojo, yang nama aslinya adalah Kyai Muslim Muhammad Halifah, lahir pada 1764 dan wafat pada 20 Desember 1849. Kampung Jawa Tondano adalah merupakan komunitas yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, di tengah mayoritas penduduk Tondano yang beragama Kristen, namun mereka hidup berdampingan dengan baik.
Di puncak bukit inilah kompleks Makam Kyai Mojo Minahasa berada dengan sejumlah cungkup makam di atas sana. Tebingnya diperkuat dengan pondasi batu agar tidak mudah longsor. Kyai Maojo adalah putera pasangan Iman Abdul Ngarip, seorang ulama di Desa Baderan, dan R.A Mursilah yang adalah saudara perempuan Sri Sultan Hemangkubuwono III.
Karena Diponegoro adalah putera HB III, itu berarti Kyai Mojo adalah sepupunya. Meski demikian Kyai Mojo disapa paman oleh Diponegoro untuk menghormatinya.
Ada tengara yang dipahat di dinding tembok kiri pintu gerbang, yang menunjukkan pemugaran kompleks Makam Kyai Mojo diresmikan oleh Prof. Dr. Haryati Soebadio pada 1981. Untuk sampai ke Makam Kyai Mojo, ada beberapa undakan lagi di sebelah kanan area puncak undakan pertama yang terlihat rapi dan bersih, diteduhi rimbun dedaunan dan dihiasi rerumputan hijau.
Cungkup dan Makam Kyai Ahmad Rifa'i yang dianugerahi gelar pahlawan nasional pada 10 November 2004 oleh SBY, berada di puncak bukit yang sama. Kyai Ahmad Rifa'i yang lahir di Tempuran, Kendal, Jawa Tengah, adalah salah satu dari sekian tokoh yang bukan bagian pengikut Pangeran Diponegoro yang diasingkan di Kampung Jawa Tondano oleh Belanda.
Kyai Rifa’i adalah ulama yang sangat anti Belanda dan secara terbuka diungkapkannya melalui dakwah dan tulisan. Kyai Rifa’i mengajarkan bahwa pemerintah kolonial adalah Kafir karena menindas rakyat, kaum birokrat adalah adalah antek Belanda dan karena itu juga Kafir, serta praktek beragama tidak boleh bercampur dengan kepercayaan nenek moyang yang dinilainya sesat dan musyrik.
Kyai Rifa'i menikah dengan wanita Minahasa dan memiliki banyak keturunan, diantaranya menjadi juru kunci Makam Kyai Mojo ini. Kompleks Makam Kyai Mojo dan Kyai Rifa'i ini terasa 'wingit', dan bahkan seorang teman sempat diberi 'penampakan' seorang tua yang tengah duduk dan lalu menengok tajam ke arahnya seperti merasa terganggu, di langit yang masih pagi.
Makam Kyai Mojo adalah satu-satunya makam di dalam kompleks ini yang kijingnya memiliki undakan sembilan tingkat. Di dalam cungkup Makam Kyai Mojo, juga terdapat makam beberapa orang keluarga dan pengikutnya. Nisannya ditutup dengan mori putih, dan tak ada niat saya untuk membukanya.
Di dekat cungkup Makam Kyai Mojo terdapat cungkup Makam KH Hasan Maulani atau Eyang Lengkong, karena berasal dari Desa Lengkong, Garawangi, Kabupaten Kuningan. Kyai Hasan, yang oleh orang Kuningan disebut ”Eyang Menado”, ditangkap Belanda pada 1837 lalu dibawa ke Ternate. Dari sana dipindahkan ke Kema, dan tiga bulan kemudian dibawa ke Kampung Jaton.
Selain Kyai Ahmad Rifa'i dan Kyai Hasan Maulani, serta Kyai Mojo dan para pengikutnya, Kampung Jaton di Tondano Minahasa itu juga menjadi tempat pembuangan para pejuang yang gigih menentang penguasa kolonial Belanda. Mereka berasal dari berbagai daerah di Nusantara, seperti Aceh, Banjarmasin, Padang, Palembang, Saparua, dan Sumatera Selatan.
Ketika hendak pulang, di undakan terbawah kami bertemu Pak Ahmad Nurhamidin (Pak Utu) bersama isterinya, Ibu Sumirah Rifaih, yang merawat Makam Kyai Mojo selama lebih dari 25 tahun. Ia keturunan ke-5 dari KH Ahmad Rifa'i. Kami berbincang seputar Makam Kyai Mojo, serta seputar Kampung Jaton. Beberapa bulan kemudian seorang pembaca memberi kabar bahwa Pak Utu wafat tak lama setelah kunjungan kami itu.
Makam Kyai Mojo Minahasa
Alamat: Desa Wulauan, Kecamatan Tolimambot, Minahasa, Sulawesi Utara. Lokasi GPS : 1.3142503, 124.928973, Waze. Tempat Wisata di Minahasa, Peta Wisata Minahasa, Hotel di Manado.Makam Kyai Mojo adalah satu-satunya makam di dalam kompleks ini yang kijingnya memiliki undakan sembilan tingkat. Di dalam cungkup Makam Kyai Mojo, juga terdapat makam beberapa orang keluarga dan pengikutnya. Nisannya ditutup dengan mori putih, dan tak ada niat saya untuk membukanya.
Papan nama di Makam Kyai Mojo itu menceritakan bahwa rombongan Kyai Mojo yang tiba di Tondano pada akhir tahun 1929 itu berjumlah 63 orang, dan semuanya laki-laki. Mereka kemudian menikah dengan wanita Minahasa, diantaranya bermarga Supit, Sahelangi, Tombokan, Rondonuwu, Karinda, Ratulangi, Rumbajan, Malonda, Tombuku, Kotabunan, dan Tumbelaka, dan kemudian beranak pinak di Kampung Jaton di Tondano itu.
Sebuah prasasti yang dipahat di dinding tembok kiri pintu gerbang, yang menunjukkan pemugaran kompleks Makam Kyai Mojo diresmikan oleh Prof. Dr. Haryati Soebadio pada 1981.
Anak tangga undakan menuju ke atas bukit yang kondisinya cukup baik, serta diteduhi oleh pepohonan sehingga sangat nyaman untuk menapakinya. Dari cungkup di atas sana kami mengarah ke kanan untuk menapaki lagi sejumlah undakan untuk sampai ke cungkup-cungkup makam.
Salah satu cungkup makam yang terlihat dari undakan yang kedua setelah belok ke kanan dari puncak undakan yang pertama. Meskipun tak ada pepohonan yang meneduhi jalan namun jumlah undakan yang kedua ini tidak terlalu banyak meski lebih curam.
Selain makam yang ada dalam cungkup, ada cukup banyak makam berkijing batu yang ada di luar cungkup. Namun hanya beberapa buah makam saja yang saya perhatikan karena bentuk nisannya yang unik. Mereka yang dimakamkan di sini umumnya adalah penduduk Jawa Tondano.
Cungkup Makam KH Hasan Maulani, yang dikenal juga dengan sebutan Eyang Lengkong, karena berasal dari Desa Lengkong, Garawangi, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Kyai Hasan, yang oleh orang Kuningan disebut ”Eyang Menado”, ditangkap Belanda pada 1837 lalu dibawa ke Ternate. Dari sana dipindahkan ke Kema, dan tiga bulan kemudian dibawa ke Kampung Jaton.
Sebuah makam bernisan batu putih dengan ukiran aksara Arab yang merupakan penggalan ayat suci Al Qur'an. Ayat yang sebelah kanan masih bisa terbaca dengan baik, namun yang sebelah kiri sudah agak tersaru warna coklat.
Area pemakaman di ujung sebelah kanan kompleks Makam Kyai Mojo itu terlihat agak membuat saya gamang untuk mendekat karena terasa wingit, meski ada satu makam di sana yang terlihat menarik yang ditutupi bidang datar dan disangga empat pilar.
Lita tengah menuruni undakan yang pendek setelah dari puncak bukit dimana Makam Kyai Mojo. Di ujung undakan ini adalah cungkup tempat istirahat yang menjadi puncak undakan pertama yang tinggi.
Pemandangan dari puncak perbukitan di kompleks Makam Kyai Mojo yang cukup indah. Menempatkan kubur di tempat yang tinggi mungkin dimaksudkan sebagai penghormatan kepada leluhur, suatu cara pandang yang melekat pada kehidupan masyarakat di Nusantara ini.
Pemandangan dari anak tangga di bagian atas ke arah ujung bawah anak tangga Makam Kyai Mojo. Undakan ini cukup landai sehingga tak terlalu melelahkan untuk mendakinya dan menuruninya.
Pak Ahmad Nurhamidin (alm), yang akrab dipanggil dengan nama Pak Utu dan merupakan keturunan ke-5 dari KH Ahmad Rifa’i, terlihat bersama isterinya, Ibu Sumirah Rifaih, yang saat itu telah menjaga dan merawat Kompleks Makam Kyai Mojo selama lebih dari 25 tahun.
Di perbukitan seberang jalan Makam Kyai Mojo juga terlihat ada sebuah cungkup di bawah rindang pepohonan yang tengah berbunga. Namun saya tak pergi ke sana atau mendapat keterangan tentang cungkup itu.
Sebuah kijing makam dengan nisan berukir motif bunga yang terlihat sudah tua ini berada di sebelah cungkup Makam KH Hasan Maulani.
Teman-teman berfoto dengan pak Ahmad Nurhamidin (Pak Utu) dan isterinya Ibu Sumirah Rifaih sesaat sebelum kami meninggalkan Makam Kyai Mojo. Itu adalah perjumpaan kami yang pertama dan terakhir dengan Pak Utu.
Seorang pria menumpang sebuah cikar yang ditarik dua ekor sapi menarik perhiatian saya ketika mereka melintas di jalanan depan Makam Kyai Mojo ketika kami bersiap pergi.
Pandangan lebih dekat pada papan tengara Makam Kyai Mojo dan Makam Pahlawan Nasional KH Ahmad Rifa'i. Melihat foto yang lebih baru, papan tengara makam Kyai Mojo itu sekarang sudah berubah menjadi sebuah gapura paduraksa.
Lita tengah memotret cungkup di atas undakan yang kedua dimana Makam Kyai Mojo berada. Cungkup di sebelah kanan di bawah sana adalah pemberhentian pejalan setelah berhasil melewati undakan pertama yang jumlahnya cukup banyak.
Sudut pandang lain pada jirat kubur Makam Kyai Mojo yang dikelilingi makam para pengikutnya. Seorang teman seperti ditegur oleh bayang semu ketika berkunjung, mungkin karena datang dengan melewati bawah gerbang lantaran memang dikunci. File foto di kamera juga sempat raib secara ajaib, meski belakangan bisa diselamatkan.
Diubah: Desember 16, 2024.
Label: Makam, Minahasa, Sulawesi Utara
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.