Apakah IDI sedang hendak bunuh diri? Pikiran itulah yang muncul di kepala saat membaca berita pemecatan Terawan secara permanen dari keanggotaannya di IDI dan, yang lebih sadis lagi, melarangnya melakukan praktek medis untuk melayani masyarakat yang sangat membutuhkannya.
Jika bukan IDI yang sedang bunuh diri, setidaknya adalah PB IDI yang pengurusnya baru saja dikukuhkan, atau lebih spesifik lagi MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) IDI karena mereka yang merekomendasikannya.
Bagusnya ada rekaman video di muktamar yang memperlihatkan sejumlah anggota IDI melakukan protes keras kepada pengurus terkait pemecatan Terawan itu. Ini membuat publik masih memiliki harapan.
Di awal pandemi memang ada banyak komentar miring terhadap Terawan oleh sebab ucapannya yang terkesan meremehkan bahaya COVID-19 dan tindakannya yang dianggap tak cukup gesit untuk meredam perebakan infeksi virus, sampai akhirnya pak Jokowi harus memberhentikannya sebagai Menkes.
Namun tak sedikit orang yang respek kepada dokter ini karena ia dianggap lurus, meski itu mungkin yang membuatnya kedodoran dalam merealisasikan anggaran Kemenkes, dan terobosannya dalam bidang medis dengan metode digital subtraction angiography (DSA), atau terapi cuci otak, yang telah menolong banyak orang. Bahkan pak Jokowi sekali pun masih tetap menghormatinya meski tak lagi berada di kabinet.
Walau sebelum menjadi Menkes ia telah dimusuhi rekan sejawatnya (Maret 2018 MKEK memecatnya dari IDI, meski sementara), namun ia tak membalas perlakuan buruk mereka ketika telah menjabat sebagai menteri.
Terawan memang terkesan pribadi yang agak polos, bukan dari jenis pendendam, cenderung agamis dan legowoan, serta bisa dibilang agak lugu dan bukan politisi. Karenanya ia tak pintar berkelit, lempeng saja, dan bersih.
Akar masalahnya adalah ada pihak yang menolak metode DSA yang dilakukan Terawan yang dianggap menyimpang karena tidak ada pakemnya, serta ia dituduh mempromosikan metodenya itu ke khalayak, padahal ia hanya ingin menjelaskan apa yang dilakukannya, mungkin sebagai pertanggungjawabannya kepada publik.
Itu karena metode DSA yang biasa digunakan para dokter untuk mendeteksi penyakit telah dimodikasi oleh Terawan untuk terapi dengan cara memasukkan heparin yang fungsinya adalah untuk pengencer darah. Tujuannya adalah agar sumbatan di pembuluh darah otak yang menyebabkan stroke bisa terbuka, dan pasien bisa sembuh tanpa harus minum obat.
Meski metodenya itu tak menjamin kesembuhan semua pasiennya, karena memang ada yang tidak sembuh seperti abang ipar saya yang boleh jadi karena telat berobat ke sana atau sebab lain, namun ada banyak testimoni tentang mujarabnya metode cuci otak Terawan dalam menyembuhkan penyakit para penderita stroke.
Tak bisa tidak orang lalu berasumsi bahwa ini bukan hanya sekadar soal metode Terawan yang tak bisa diterima oleh kalangan medis, namun ada faktor persaingan alias ada yang tak suka jika lahan gemuk yang menghasilkan cuan banyak terus digerus oleh Terawan. Benar atau tidak asumsi itu tentu repot untuk membuktikannya.
Jika bukan soal lahan lalu mengapa melarang Terawan melakukan praktek medis untuk melayani masyarakat yang suka rela masuk dalam daftar antrian panjang menunggu tindakannya? Larangan itu dinilai orang merupakan tindakan yang kelewat kejam, dan mereka tidak ada hak untuk melakukan itu.
Jika hak melarang itu ternyata ada pada IDI, maka itulah mungkin yang dinamakan bunuh diri, karena hak yang digunakan secara sewenang-wenang akan memicu reaksi sangat keras yang berujung pada tuntutan masyarakat pada pencabutan hak itu.
Kiprah Terawan terkait vaksin Nusantara juga menjadi salah alasan MKEK untuk menghukumnya. Benar bahwa mungkin ada kelemahan yang harus diperbaiki dalam proses uji preklinik dan klinik vaksin Nusantara hingga benar-benar memenuhi kaidah ilmiah internasional.
Benar pula bahwa dua komponen utama vaksin Nusantara diimpor serta metode pembuatan vaksin itu pun bukan penemuan lokal, yang sedikit banyak tentu mengurangi kadar ke-Nusantaraan-nya. Namun dukungan dan dorongan serta fasilitasi untuk melakukan perbaikan mestinya diberikan, bukan sebaliknya.
Ada faktor lain yang membuat orang mempunyai sentimen negatif terhadap IDI, atau dokter pada umumnya. Ingatan pendek saya mengatakan bahwa di awal pandemi sempat ada semacam penolakan dari IDI untuk melakukan vaksinasi, dengan alasannya sendiri, meski kemudian suara miring itu lenyap.
Kemudian ada kesan bahwa entah berapa banyak dokter yang cenderung nyinyir terhadap pemerintah atau Jokowi secara pribadi. Ketidaksukaan yang mungkin terkait kebijakan BPJS, bisa pula karena sisa-sisa korban fitnah pilpres, dan bisa pula karena tercemar virus khilafah.
Yang disebut terakhir itu menjadi lebih kuat kesannya ketika ada dokter yang secara terbuka menyatakan dukacita mendalam atas tewasnya Dokter Sunardi, terduga teroris, pada Rabu malam 9 Maret 2022, karena melawan ketika hendak ditangkap Densus-88.
Ucap duka adalah wajar sebagai ungkap solidaritas seprofesi atau memang kenal secara pribadi, namun tanpa kalimat dukungan kepada Densus 88 dalam membasmi terorisme bisa memberi kesan bahwa mereka tak percaya bahwa Sunardi adalah terduga teroris, atau menyesalkan tindakan Densus 88 meski tahu bahwa itu terpaksa harus mereka lakukan, atau lebih parah lagi tak percaya kepada Densus 88 karena terpapar khilafah. Tentu semua kesan itu bisa saja salah.
Apa pun alasan yang mendasarinya, sebelum situasi menjadi semakin memburuk buat IDI sendiri, diantaranya terlihat dengan sempat munculnya tagar #bubarkanIDI dan bisa saja akan muncul organisasi profesi tandingan, ada baiknya pengurus IDI segera mengkaji ulang keputusan yang sangat kontroversial itu, meski belakangan ada yang menyebut baru bersifat rekomendasi.
Mengeluarkan Terawan dari IDI boleh jadi masih bisa diterima, dan itu urusan mereka karena yang akan rugi ya mereka sendiri, namun melarang Terawan untuk melakukan praktek medis adalah tindakan yang sangat keterlaluan. Diubah: Maret 29, 2022.
Label:
Blog,
Percikan
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.