Sebagai pelaku long distance marriage Jakarta - Payakumbuh sejak 2009, tentu sudah beberapa kali saya mengunjungi suami di Payakumbuh. Biasanya, Jakarta - Payakumbuh ditempuh 1,5 jam perjalanan udara Jakarta - Padang, lanjut 3 jam jalan darat Padang - Payakumbuh.
Namun pada kunjungan ini saya mengambil rute berbeda, yaitu Jakarta - Pekanbaru - Payakumbuh. Pekanbaru - Payakumbuh ditempuh sekitar 5 jam dengan mobil, termasuk waktu istirahat untuk sekadar menghirup udara segar, atau minum teh hangat untuk menghilangkan mabuk seperti yang saya alami. Ini bukan kali pertama saya menempuh rute ini, namun tetap terasa sangat berat. Jalan yang berkelok tajam selalu membuat kepala pusing dan perut mual.
Di perjalanan, tiba-tiba saya teringat perjalanan sebelumnya yang sempat melihat papan penunjuk Candi Muara Takus. Lalu spontan tercetus keinginan mengunjunginya. Suami sempat ragu, namun akhirnya mengabulkan keinginan saya untuk melihat candi yang namanya hanya dikenal dari buku sejarah SD, sekalian mengenalkannya kepada anak kami.
Candi Muara Takus terletak di XIII Koto, Kabupaten Kampar, masih di Provinsi Riau, namun lokasinya dekat dengan perbatasan Riau-Sumatera Barat, sekitar 150 kilometer dari Pekanbaru. Dari jalan utama Riau - Sumbar, ada papan penunjuk arah dengan panah ke kanan bertuliskan Candi Muara Takus 17 km. Kami mengikuti penunjuk arah tersebut.
Jalan kecamatan yang kami lalui hanya pas sekali untuk persimpangan 2 mobil. Sama sekali tak ada tanda bahwa jalan ini mengarah ke objek wisata. Banyak jalan berlubang, bahkan ada aspal jalan yang terputus beberapa meter. Sampai kami ragu dan bertanya kepada seorang pemotor. Ternyata benar, masih beberapa kilometer lagi jarak yang harus kami tempuh.
Candi Muara Takus dilihat dari pintu masuk. Di kompleks yang dipagari tembok batu putih ini terdapat beberapa bangunan, yaitu Candi Tua, Stupa Mahligai, Candi Bungsu, serta Palangka yang masing-masing memiliki fungsi berbeda. Ketika sampai di lokasi, ada portal yang dijaga beberapa anak muda setempat yang memungut retribusi kepada kami.
Begitu masuk, di sebelah kiri kami melihat taman bermain anak yang kondisinya sangat mengenaskan. Ayunan dan perosotan berkarat di tanah luas yang dipenuhi rumput liar yang menguning terbakar matahari. Andai saja dirawat dengan baik maka Delisha, anak kami yang berusia 22 bulan, bisa bermain disana dengan gembira.
Kompleks Candi Muara Takus berada di sebelah kanan area. Pertama kali melihat, komentar saya adalah... cantik dan unik! Berbeda dengan candi yang pernah saya kunjungi di Pulau Jawa, candi ini tidak terbuat dari batu andesit, melainkan batu bata merah. Malah, candi ini mengingatkan saya pada sebuah tempat di kota kelahiran saya, yaitu Menara Kudus.
Penampakan Candi Tua yang merupakan bangunan terbesar di kompleks Candi Muara Takus. Candi ini terbuat dari susunan bata merah dengan tambahan batu pasir di sudut-sudut bangunan, pilaster, dan pelipit pembatas perbingkaian. Diduga Candi Tua Muara Takus ini dibangun dalam dua tahap karena adanya dua profil bangunan yang berbeda.
Di pintu masuk, kami mengisi buku tamu. Saat kami datang waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, tapi berdasarkan buku tamu tersebut, baru 5 orang yang datang berkunjung di hari itu. Memang saat itu suasananya tampak sangat lengang, hanya ada sepasang anak muda yang tujuannya sudah bisa ditebak, mencari tempat sepi untuk berduaan.
Stupa Mahligai atau Candi Mahligai di kompleks Candi Muara Takus adalah bangunan candi yang paling utuh. Konon dahulu di ke-empat sudut pondasinya terdapat empat arca singa yang terbuat dari batu andesit dalam posisi duduk, dan di puncak menaranya terdapat batu dengan lukisan daun oval dan relief-relief di sekelilingnya.
Candi Bungsu adalah bangunan di kompleks Candi Muara Takus yang bagian atasnya berbentuk segi empat, dengan stupa-stupa kecil di sisi Timur, serta undakan yang terbuat dari batu putih.
Ada pula Candi Palangka di sisi Timur Stupa Mahligai, terbuat dari bata, dengan ukuran 5,10 m x 5,7 m dan tinggi 1,5 m, yang diduga berfungsi sebagai altar.
Salah satu hal yang membuat saya tertarik dengan Candi Muara Takus adalah kemisteriusan sejarahnya. Para ahli purbakala mengaitkan candi ini dengan Kerajaan Sriwijaya. Padahal Sriwijaya ada di Sumatera Selatan. Pusat kerajaan Hindu - Budha biasanya ditunjukkan dengan adanya istana sebagai pusat pemerintahan dan candi sebagai pusat ibadah.
Faktanya, di Sumsel tidak pernah ditemukan bekas istana maupun situs candi. Namun, karena publikasi terhadap Kerajaan Sriwijaya sudah terlebih dahulu dilakukan orang-orang Sumsel, pusat Sriwijaya dianggap berada di wilayah Sumsel. Sementara, disekitar Candi Muara Takus ini dahulu terdapat sebuah istana kayu, namun sudah runtuh dimakan usia.
Setelah penemuan oleh Cornet De Groot pada 1860 dan publikasi tulisan "Koto Candi"yang dimuat di "Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkenkunde", banyak peneliti luar negeri meneliti Candi Muara Takus. Sebagian besar hasil penelitian mengungkapkan bahwa sesungguhnya Sriwijaya berada di Muara Takus dan bukan berada di Sumatera Selatan.
Pandangan ini didasarkan pada catatan pendeta Budha asal Cina, I-tsing, yang pernah tinggal di Sriwijaya untuk mempelajari tata bahasa Sanskerta pada 672. I-tsing singgah dalam perjalanan dari Kanton ke Nalanda, pusat pendidikan Budha di India. Menurut J.L. Moens, I-tsing mencatat bahwa di pusat Kerajaan Sriwijaya pada tengah hari orang berdiri tanpa bayangan.
Ini tepat sekali dengan letak Candi Muara Takus yang berada di garis khatulistiwa, pada titik 0 derajat. Candi Muara Takus juga berada dekat dengan pertemuan dua sungai, Kampar Kanan dan Batang Mahat, yang menjadi jalur perdagangan yang ramai. Selain itu, ada juga hal unik yang sempat saya baca dari sejarah terkait Candi Muara Takus ini.
Pada malam bulan purnama, serombongan gajah yang dipimpin Gajah Putih datang untuk menyembah di Candi Muara Takus. Saat gajah-gajah ini melakukan penyembahan, muncul penampakan Putri Retno Bulan di puncak Candi Tua. Setelah sujud, kawanan gajah ini kemudian berkeliling candi beberapa kali seperti melakukan sebuah ritual.
Masyarakat tidak ada yang tahu maksud ritual ini. Namun gajah-gajah di daerah ini sudah habis ditembaki sejak bertahun lalu, demi kebun kelapa sawit. Ah, seandainya saja masih ada ritual gajah ini, pasti menjadi daya tarik yang besar bagi wisatawan. Membayangkannya saja membuat saya merinding, apalagi kalau bisa menyaksikan secara langsung?
Demikian cerita perjalanan saya ke Candi Muara Takus, peninggalan sejarah yang hampir terlupakan. Seringkali muncul kesedihan saat melihat kondisi objek wisata sejarah semakin tersisihkan. Semoga pemerintah Kabupaten Kampar dan Provinsi Riau lebih memperhatikan kondisi Candi Muara Takus sehingga menarik minat wisatawan untuk mengunjunginya. Catatan : travelog ini ditulis oleh Endah Setyorini.
Candi Muara Takus Kampar
Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau. Lokasi GPS: 0.2997623, 100.8794045, Waze. Tempat Wisata di KamparDiubah: Januari 30, 2017.Label: Candi, Endah Setyorini, Kampar, Riau
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.