Di desa Mersi Lor, tempat di mana saya lahir dan lalu tinggal sejak kelas 2 SD sampai tamat SMA, adalah sebuah Masjid yang didirikan oleh KH Abdul Djamil, si mbah kakung dari pihak Ibu. Sayang saya tidak pernah tahu bagaimana rupa si mbah karena beliau telah meninggal jauh sebelum saya dilahirkan, sekitar tahun 1945, namun setidaknya sempat mengenal mbah Dul Jamil putri selama beberapa tahun sebelum ia wafat sekitar tahun 70-an.
Ada kejadian misterius ketika mbah Dul Jamil Putri meninggal, yaitu terjadinya hujan angin dahsyat hingga menumbangkan pohon jambu biji berbatang besar rimbun yang sangat manis buahnya di depan rumah si mbah. Padahal hanya beberapa meter di sekitar pohon jambu itu ada tiga pohon sawo sangat besar, sejumlah pohon cengkeh serta pakis haji yang semuanya tak terganggu. Rumah mbah kemudian ditempati bulik Nur dan keluarganya. Sayangnya ketiga pohon sawo itu kini sudah lenyap, demikian pula pohon pakis haji, cengkeh dan pohon kopi anjing. Kolam di rumah si mbah dan dua kolam di samping masjid juga sudah lenyap, tinggal kolam di depan rumah kami yang masih tersisa.
Setelah mbah Dul Jamil kakung meninggal, Pak Dhe-lah yang kemudian menggantikan si mbah sebagai kyai (sekarang digantikan putera tertuanya setelah pak dhe wafat), namun Masjid itu tidak pernah berkembang kembali menjadi pondok pesantren berpengaruh sebagaimana ketika si mbah masih hidup. Meski ada pengajian Reboan dsb, namun masjid itu lebih banyak digunakan sebagai tempat shalat jamaah, terutama pada Subuh, Maghrib dan Isa, selain untuk Jumatan dan shalat di hari raya.
Ada sepotong masa sewaktu saya kecil di mana hampir setiap subuh saya pergi ke Masjid untuk shalat berjamaah. Lazimnya jamaah datang lebih awal, dan sambil menunggu pak Dhe datang untuk memimpin sholat, jamaah pun menyenandungkan puji-pujian yang dipimpin oleh pak Kayim (Lebai, Modin), baik dalam bahasa Arab maupun Jawa.
Meskipun bahasa Jawa yang digunakan bukan gaya Banyumasan yang ngapak, namun tetap bisa dipahami dan diresapi. Terasa ada keindahan dan kedamaian ketika mendengarkan senandung syair-syair itu dalam kesunyian pagi yang dingin. Bait syair puji-pujian yang saya masih ingat adalah:
Lailahailallah (tidak ada tuhan selain Allah)
Muhammadurrasulullah (Muhammad utusan Allah)
Minal 'adam ilal wujud (dari tiada menjadi ada)
Tsummal 'adam ba'dal wujud (kemudian menjadi tiada setelah ada)
Eling-eling sira menungsa (ingatlah kalian manusia)
Pada tobat sedurunge mati (bertobatlah sebelum mati)
Aja tobat sewise mati (jangan tobat setelah mati)
Ora den trima pitobate (tidak diterima tobatnya)
Ana tangis kelayu-layu (ada tangis pilu)
Tangise wong kang wedi mati (tangisnya orang yang takut mati)
Gedongana, kuncenana (dilindungi gedung, dikunci pun)
Wong mati mangsa wurunga (orang mati tak bakal urung)
Dari sebuah situs saya dapatkan sejumlah syair puji-pujian lainnya lagi yang sebagian juga pernah didendangkan oleh Pak Kayim pada subuh-subuh itu, yaitu:
Eling-eling sira manungsa (ingatlah kalian manusia)
Temenana lehmu ngaji (bersungguh-sungguhlah dalam mengaji)
Mumpung durung katekanan (selagi belum kedatangan)
Malaikat juru pati (malaikat pencabut nyawa)
Luwih susah luwih lara (lebih susah lebih sakit)
Rasane wong nang naraka (rasanya orang di neraka)
Klabang kures kalajengking (kelabang kures kalajengking)
Klabang geni ula geni (kelabang api, ular api)
Rante geni gada geni (rantai api gada api)
Cawisane wong kang dosa (hidangannya orang berdosa)
Angas mring kang Maha Kwasa (berani pada Yang Mahakuasa)
Goroh nyolong main zina (berdusta mencuri judi zina)
Luwih beja luwih mulya (lebih bahagia lebih mulia)
Rasane manggon suwarga (rasanya tinggal di surga)
Mangan turu diladeni (makan tidur dilayani)
Kasur babut edi peni (kasur permadani elok indah)
Cawisane wong kang bekti (hidangannya orang berbakti)
Mring Allah kang Maha Suci (pada Allah yang Mahasuci)
Sadat salat pasa ngaji (syahadat salat puasa mengaji)
Kumpul-kumpul ra ngrasani (kumpul-kumpul tidak bergunjing).
Dua baris terakhir rasanya berbeda dengan yang pernah saya dengar. Syair-syair selanjutnya yang ada di situs itu sepertinya belum pernah saya dengar dilanggamkan oleh Pak Kayim. Entah karena saya lupa, atau memang ingatan Pak Kayim tidak sepanjang baris syair ini. Saya kutipkan syair dengan pesan mendalam itu yang diakhiri dengan doa dalam bahasa Jawa, diambil dari Surat Al-Fatihah:
Omong jujur blaka suta (bicara jujur apa adanya)
Niliki tangga kang lara (mengunjungi tetangga yang sakit)
Nulungi kanca sangsara (menolong teman sengsara)
Pada-pada tepa slira (sama-sama menjaga perasaan)
Yen janji mesthi netepi (jika berjanji harus ditepati)
Yen utang kudu nyahuri (jika hutang harus dibayar)
Layat mring kang kasripahan (melayat pada yang kematian)
Nglipur mring kang kasisahan (menghibur pada yang kesusahan)
Awak-awak wangsulana (kalian semua jawablah)
Pitakonku marang sira (pertanyaan kepada sampeyan)
Saka ngendi sira iku (dari mana sampeyan itu)
Menyang endi tujuanmu (ke mana tujuanmu)
Mula coba wangsulana (karenanya coba jawab)
Jawaben kalawan cetha (jawablah dengan jelas)
Aneng endi urip ira (ada di mana urip sampeyan)
Saiki sadina-dina (sekarang sehari-hari)
Kula gesang tanpa nyana (saya hidup tanpa mengira)
Kula mboten gadhah seja (saya tk punya keinginan)
Mung karsane kang Kuwasa (hanya ikut kehendak yang Kuasa)
Gesang kula mung sa’derma (hidup saya hanya menjalani)
Gesang kula sapunika (hidupku saat ini)
Inggih wonten ngalam donya (ya di alam dunia)
Donya ngalam karameyan (dunia alam keramaian)
Isine apus-apusan (isinya tipu-tipuan)
Yen sampun dumugi mangsa (bila telah sampai waktunya)
Nuli sowan kang Kuwasa (tentu menghadap yang Kuasa)
Siyang dalu sinten nyana (siang malam siapa mengira)
Jer manungsa mung sa’derma (karena manusia hanya menjalani)
Sowanmu mring Pangeranmu (menghadapmu pada Pangeranmu)
Sapa kang dadi kancamu (siapa yang jadi temanmu)
Sarta apa gegawanmu (serta apa yang kamu bawa)
Kang nylametke mring awakmu (yang menyelamatkan dirimu)
Kula sowan mring Pangeran (saya menghadap kepada Pangeran)
Kula ijen tanpa rewang (saya sendiri tanpa teman)
Tanpa sanak tanpa kadang (tanpa saudara dekat dan jauh)
Banda kula katilaran (harta saya tinggalkan)
Yen manungsa sampun pejah (bila manusia telah mati)
Uwal saking griya sawah (bebas dari rumah sawah)
Najan nangis anak semah (meski menangis anak isteri/suami)
Nanging kempal mboten wetah (namun kumpul tidak utuh)
Sanajan babanda-banda (meski kaya raya)
Morine mung telung amba (kain morinya hanya tiga lembar)
Anak bojo mara tuwa (anak suami/isteri mertua)
Yen wis ngurug banjur lunga (setelah mengubur lalu pergi)
Yen urip tan kabeneran (Jika hidup tak beruntung)
Banda kang sapirang-pirang (harta benda yang banyak)
Ditinggal dinggo rebutan (ditinggal jadi rebutan)
Anake padha kleleran (anaknya semua terlantar)
Yen sowan kang Maha Agung (jika menghadap yang Mahaagung)
Aja susah aja bingung (jangan susah jangan bingung)
Janjine ridhone Allah (janjinya ridho Allah)
Udinen nganggo amalan (carilah sebagai amalan)
Ngamal soleh ra mung siji (amal saleh tak hanya satu)
Dasare waton ngabekti (dasarnya asalkan berbakti)
Ndherek marang kanjeng nabi (ikut dengan kanjeng nabi)
Muhammad Rasul Illahi (Muhammad utusan Illahi)
Mbangun turut mring wong tuwa (mengikuti nasihat orang tua)
Sarta becik karo tangga (serta baik dengan tetangga)
Welasa sapadha-padha (mengasihi sesama)
Nulunga marang sing papa (menolong yang sengsara)
Yen ngandika ngati-ati (jika berkata hati-hati)
Aja waton angger muni (jangan asal mengumbar bunyi)
Rakib ngatit sing nulisi (Rakib Atit yang menulis)
Gusti Allah sing ngadili (Gusti Allah yang mengadili)
Karo putra sing permati (dengan anak jangan lalai)
Kuwi gadhuhan sing edi (itu milik yang indah)
Aja wegah nggula wentah (jangan malas mendidik)
Suk dadi ngamal jariyah (nanti jadi amal jariyah)
Banda donya golekana (harta dunia carilah)
Metu dalan sing prayoga (lewat jalan yang baik)
Yen antuk enggal tanjakna (bila mendapat cepat amalkan)
Mring kang bener aja lena (dengan yang benar jangan lengah)
Aja medhit aja blaba (jangan pelit jangan boros)
Tengah-tengah kang mejana (tengah-tengah yang baik)
Kanggo urip cukupana (untuk hidup dicukupi)
Sing akherat ya perlokna (untuk akhirat juga diusahakan)
Aja dumeh sugih banda (jangan mentang kaya harta)
Yen Pangeran paring lara (jika Pangeran memberi sakit)
Banda akeh tanpa guna (semua harta tak ada guna)
Doktere mung ngreka daya (dokternya hanya berusaha)
Mula mumpung sira sugih (karenanya mumpung sampeyan kaya)
Tanjakna ja wigah wigih (amalkan jangan ragu-ragu)
Darma ja ndadak ditagih (kebaikan tak perlu ditagih)
Tetulung ja pilah-pilih (menolong jangan pilah-pilih)
Mumpung sira isih waras (mumpung sampeyan masih sehat)
Ngibadaha kanthi ikhlas (beribadahlah dengan ikhlas)
Yen lerara lagi teka (jika sakit sedang datang)
Sanakmu mung bisa ndonga (kelauargamu hanya bisa berdoa)
Mumpung sira isih gagah (mumpung sampeyan masih gagah)
Mempeng sengkut aja wegah (kerja keras jangan malas)
Muga sira yen wus pikun (semoga bila sampeyan sudah pikun)
Ora nlangsa ora getun (tidak nelangsa tidak menyesal)
Mula kanca da elinga (karena itu teman selalu ingatlah)
Mung sapisan aneng donya (hanya sekali ada di dunia)
Uripmu sing ngati-ati (hidupmu yang hati-hati)
Yen wis mati ora bali (jika telah mati tidak kembali)
Gusti Allah wus nyawisi (Gusti Allah sudah menyediakan)
Islam agama sejati (Islam agama sejati)
Tatanen kang anyukupi (Tatatan yang mencukupi)
Lahir batin amumpuni (lahir batin mumpuni)
Kitab Qur’an kang sampurna (Kitab Quran yang Mahaagung)
Tindak nabi kang pratela (tingkah lagu nabi yang menjadi petunjuk)
Sinaunen kang permana (belajarlah yang pasti)
Sing sregep lan aja ndleya (yang rajin dan jangan ceroboh)
Dhuh Allah kang Maha Agung (Ya Allah yang Mahaagung)
Mugi paduka maringi (semoga Engkau memberikan)
Pitedah lawan pitulung (petunjuk dan memberi pertolongan)
Margi leres kang mungkasi (jalan benar yang pungkasan)
Nggih punika marginipun (yaitu jalannya)
Tetiyang jaman rumuhun (orang-orang jaman dahulu)
Ingkang sampun pinaringan (yang sudah mendapatkan)
Pinten-pinten kanikmatan (banyak kenikmatan)
Sanes marginipun tiyang (bukan jalannya orang)
Ingkang sami dinukanan (yang dilaknat)
Lan sanes margining tiyang (dan bukan jalannya orang)
Kang kasasar kabingungan (yang kesasar kebingungan)
Gesang kita datan lama (hidup kita tidak lama)
Amung sakedheping netra (hanya sekejap mata)
Maena sami andika (baiknya njenengan semua bersetialah)
Rukun Islam kang lelima (rukun Islam yang lima).
Pak Kayim termasuk orang yang dikaruniai usia panjang, lebih dari 80 tahun, mungkin 90, hampir menyamai usia mbah Dulmalik Kedung Paruk. Walau saat itu usianya sudah sangat lanjut, namun Pak Kayim masih rajin datang ke masjid, meski harus berjalan dengan tertatih-tatih.
Pak Kayim telah lama wafat, dan menantunya yang kemudian rajin menggantikannya saat subuhan, dan juga sering menjadi khatib saat shalat Jumat. Hanya saja saat saya pulang kampung beberapa waktu lalu, tak lagi terdengar syair-syair itu dikumandangkan di masjid menjelang shalat subuh. Sayang sekali. Diubah: Oktober 30, 2017.
Label:
Blog,
Percikan
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.