Sindrom Bersaudara

Debu telah mengendap, nampaknya. Tidak ada lagi demonstrasi di Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta dan di kota-kota lain di nusantara untuk melakukan memprotes pemerintah Malaysia, dipicu perlakuan kasar terhadap wasit karate Indonesia oleh petugas polisi Malaysia yang tak beradab.

Emosi mungkin tidak lagi tinggi terhadap Malaysia, di permukaan. Hidup kembali normal, tapi debu tetap tebal dan bisa menimbulkan masalah lagi. Adakah sesuatu yang bisa menghapus debu? Mungkin ada .... Ini adalah pemikiran berdasarkan apa yang saya sebut sebagai Sindrom Bersaudara.

Banyak orang percaya bahwa hubungan antara Indonesia dan Malaysia adalah atau harus seperti hubungan antara saudara. Mereka salah. Orang Indonesia dan Malaysia tidak pernah menjadi saudara atau saudari. Mereka lahir dari ibu yang berbeda. Mereka memiliki ayah yang berbeda pula.

Bicaralah kepada mereka selama beberapa menit dan Anda akan melihat perbedaannya. Percaya bahwa mereka adalah bersaudara adalah bagian dari masalah yang dihadapi Indonesia dan Malaysia sekarang, karena ada harapan yang tidak terpenuhi dari kedua sisi dari apa yang seharusnya mereka dapatkan dan harus saling memberi.

Banyak orang Indonesia percaya bahwa mereka adalah saudara tua. Itu mungkin karena Indonesia, sebagai bangsa, lahir lebih awal dari Malaysia, dan Malaysia pernah berada di belakang Indonesia dalam banyak aspek kehidupan. Saudara tua menuntut rasa hormat dan perlakuan khusus, tanpa memandang status pendidikan dan ekonomi mereka. Persepsi dan tuntutan yang salah ini perlu diperbaiki.

Indonesia di bawah Soekarno pernah berniat menghancurkan Malaysia karena alasan yang baik dan buruk. Orang-orang Malaysia menanggapi, antara lain, dengan menyerang Kedutaan Besar Indonesia, mengoyak foto-foto Soekarno dan membawa Garuda Pancasila, simbol nasional Indonesia, kepada perdana menteri dan memaksanya untuk menginjaknya. Bisa dimengerti mengapa Soekarno meledak dalam kemarahan dan menghancurkan Malaysia adalah salah satu agenda puncaknya. Semuanya berakhir, tapi kenangan itu mungkin tetap ada di benak orang selama lebih dari seratus tahun.

Saran saya untuk sesama orang Indonesia adalah menerima masa lalu seperti apa adanya, dan berhenti berpikir bahwa orang Malaysia adalah adik kita. Mereka tidak. Mereka hanyalah warga negara asing dan berdaulat yang kebetulan menjadi tetangga kita, titik. Berhentilah mengharapkan untuk menerima perlakuan khusus dan rasa hormat tanpa melakukan sesuatu yang baik untuk mendapatkannya.

Bagi mereka yang akan mengunjungi tetangga atau tinggal di sana untuk sementara waktu, maka Anda perlu mempelajari hal-hal yang mungkin membawa Anda ke dalam masalah, dan hindarilah saja. Mereka memiliki setiap hak dalam cara mereka mengelola negara mereka. Ini adalah tugas petugas kementerian luar negeri, dan orang-orang Kedutaan Besar, untuk menyebarkan informasi yang diperlukan kepada masyarakat kita, dengan dukungan masyarakat, orang-orang yang lebih terdidik.

Dengan tidak adanya lagi hubungan sindrom saudara di cakrawala, hubungan yang lebih sehat dapat dibangun karena tidak ada harapan palsu dan mudah-mudahan tidak ada lagi prasangka palsu yang ada di benak warga dua negara berdaulat ini. Insya'Allah.

Diubah: Oktober 27, 2017.
Label: Blog, Inspirasi, Percikan, Politik
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.

aroengbinang,
seorang penyusur jalan.
Traktir BA? Scan GoPay, atau via Paypal. GBU.
« Baru© 2004 - IkutiLama »