Tidak ada akses masuk kendaraan dari jalan ini, namun tampaknya ada jika dari jalan Gunung Payung / Jalan Padri, karena Vihara Dharmayana Kuta memang berada di pojokan kedua jalan itu. Mobil pun terpaksa berhenti di pinggir jalan di seberang kelenteng.
Untuk bisa menyeberang jalan perlu sedikit kehati-hatian dan sedikit kesabaran karena padatnya lalu lalang mobil dan sepeda motor, dan untuk masuk ke dalam area Vihara Dharmayana ada sebuah pintu gapura tumpang dengan ornamen khas Tionghoa yang harus dilewati.
Pintu gerbang Vihara Dharmayana Kuta dengan tiga pintu masuk dan atap tumpang susun tiga. Di puncak atap terdapat stupa berwarna keemasan. Tulisan Vihara Dharmayana Kuta ada di atas pintu masuk tengah. Pada kiri kanan dinding luar terdapat relief lukisan yang elok, dan di latar belakang adalah singa penjaga dan tiang teras vihara yang dibelit oleh seekor naga hijau.
Di Vihara Dharmayana terdapat peninggalan berupa empat pasang tui lian atau syair berpasangan berbahasa Mandarin bertahun 1876, 1879, dan 1880. Sayang saya tidak tahu tentang keberadaan syair ini ketika berkunjung.
Memasuki area depan vihara, pada sebuah dinding dipajang foto-foto kelenteng di Jawa, Bali dan Lombok yang tuan rumah utamanya Kongco Tan Hu Cin Jin, yaitu Vihara Dharmayana Kuta berdiri 1876, Tiok Liong Tian Rogojampi berdiri 1915, Hoo Tong Bio Banyuwangi 1784, Cung Ling Bio Negara - Bali 2003, Sumber Naga Probolinggo 1865, Po Hwa Kong Ampenan - Lombok 1804, Ling Gwan Kiong 1873, dan Vihara Dharma Cattra Tabanan yang berdiri pada 1930.
Di bagian muka Vihara Dharmayana Kuta terdapat sepasang ukiran naga hijau berukuran besar melilit pada tiang kelenteng, lampion-lampion yang bergelantungan, dan sepasang Ciok-say berjaga di samping undakan pendeknya. Tombak bertangkai merah dengan ujung berbagai bentuk berjejer di kiri kanan teras.
Pada sudut bangunan dengan lapisan dinding bata berornamen khas Bali, saya juga melihat dua buah tambur, sebuah kenong kecil, dan bendera, yang biasa diarak dan ditabuh saat berlangsung festival tahun baru Cina atau perayaan ulang tahun kelenteng.
Tambur yang berwarna gading tampak dibuat dengan detail yang menarik. Sebagian dinding Vihara Dharmayana Kuta ini memang dibuat dari susunan bata merah dan hiasannya dibuat berciri khas budaya rumah Bali. Sebuah pendekatan budaya Tionghoa terhadap budaya lokal Bali yang simpatik.
Di dalam salah satu bangunan di Vihara Dharmayana Kuta ini saya melihat altar dengan relief indah Candi Borobudur pada dinding, sebuah patung Buddha berukuran besar, dan banyak lagi patung Buddha lainnya berbagai ukuran, dengan bermacam posisi dan ekspresi, termasuk diantaranya patung Dewi Kwan Im dalam perwujudannya sebagai Buddha.
Di sudut bangunan dengan lapisan dinding bata berornamen khas Bali, saya juga melihat dua buah tambur, sebuah kenong kecil, dan bendera, yang biasa diarak dan ditabuh saat berlangsung festival tahun baru Cina atau perayaan ulang tahun kelenteng. Tambur yang berwarna gading tampak dibuat dengan detail yang menarik.
Lukisan dinding yang menggambarkan tokoh Sun Go Kong, murid pertama Biksu Tong, siluman kera yang terkenal sangat sakti, sombong dan susah diatur, tengah berdiri di atas tebing tinggi mengamat-amati daerah yang akan dilalui oleh gurunya.
Pandangan lebih dekat ke rupang yang ada di depan relief Candi Borobudur.
Rupang Buddha yang diletakkan di dalam relung tembok bergaya Bali. Sebagian dinding Vihara Dharmayana Kuta ini memang dibuat dari susunan bata merah dan hiasannya dibuat berciri khas budaya rumah Bali. Sebuah pendekatan budaya Tionghoa terhadap budaya lokal Bali yang simpatik.
Di dalam ruangan terdapat bentuk rerumahan dengan ornamen pinggir khas oriental, serta sepasang naga di atas atap tengah memperebutkan mutiara matahari dengan simbol Konghucu Yin-Yang. Di belakang rerumahan itu ada rupang Buddha yang diletakkan di dalam relung tembok bergaya Bali.
Pada salah satu sisi dinding Vihara Dharmayana Kuta terdapat beberapa buah relief menarik yang menggambarkan kisah terkenal dari jaman Dinasti Ming, yaitu perjalanan Biksu Tong Sam Cong ke Barat guna mencari kitab suci agama Buddha.
Tiga buah rumah-rumahan altar pemujaan dengan patung-patung dewa, hiolo dan perlengkapan ritual lainnya di Vihara Dharmayana. Penutup plastik pada rumahan altar tampaknya diperlukan mengingat posisi Vihara Dharmayana yang berada di tepi jalan.
Lukisan dinding seorang tua gagah dengan anak kecil perempuan yang sepertinya cukup sering saya lihat di beberapa kelenteng lain, namun belum tahu apa kisah dan filosofi di belakangnya.
Altar sembahyang untuk tuan rumah vihara ini, yaitu Tan Hu Cin Jin (Chen Fu Zhen Ren). Tan Hu Cin Jin kabarnya datang dari Chaozhou, propinsi Guangdong, dan membangun sebuah istana di Bali. Konon ia hidup kekal di pelabuhan Blambangan.
Sewaktu masih anak-anak, Tan Hu Cin Jin merupakan anak yang rajin, berbakti pada ibu dan kedua kakak laki-lakinya, taat aturan, menjunjung sopan santun, serta pengrajin berbakat. Tan Hu Cin Jin merupakan salah satu leluhur etnis Tionghoa yang dipuja di wilayah Jawa Timur, Bali, dan Lombok.
Altar persembahyangan bagi Dewa Naga Lung Sen di Vihara Dharmayana Kuta.
Altar persembahyangan bagi Konco Too Tie Kong / Tu Di Gong, atau lebih dikenal dengan sebutan Dewa Bumi. Dewa Bumi hanya memberi berkah pada orang yang telah berbuat kebajikan.
Di sisi lain Vihara Dharmayana Kuta saya menemukan lagi sebuah bedug, atau tambur, dengan lonceng besar menggantung di bawahnya, serta lampu gantung antik yang hanya tampak sebagian pada foto di atas.
Pandangan lebih dekat yang memperlihatkan keelokan seni ukir, seni patung, dan seni lukis yang ada pada sosok Naga Hijau, Siok cay, hiolo, dan ornamen lainnya di Vihara Dharmayana Kuta, Bali.
Pada dinding Vihara Dharmayana Kuta lainnya terdapat relief perjalanan Biksu Tong Sam Cong ke Barat diiringi ketiga muridnya guna mencari kitab suci agama Buddha. Sebuah kisah terkenal yang berasal dari jaman Dinasti Ming. Di depan Biksu Tong adalah Tie Pat Kay, murid kedua berupa siluman babi yang gemar tidur, serakah dan mudah jatuh cinta, serta di belakangnya adalah Sam Cheng, murid ketiga Biksu Tong yang bodoh.
Kisah See Yu Ki ini selesai ditulis oleh Wu Cheng-en pada pertengahan abad ke-16, dan menjadi salah satu karya sastra terbaik Cina selain Kisah Tiga Negara, Batas Air dan Impian Paviliun Merah. Kisah See Yu Ki lebih banyak saya kenal lewat film, sedangkan novel Kisah Tiga Negara dan Batas Air saya baca terjemahan bahasa Indonesia-nya, dan hanya Impian Paviliun Merah yang saya belum pernah baca
Dalam ruangan Vihara Dharmayana terdapat pula altar sembahyang bagi Kong Tiek Cun Ong (leluhur suku Fujian, utamanya daerah Nan An), dan beberapa orang suci lainnya.
Vihara Dharmayana Kuta
Alamat : Jl. Blambangan, Kuta, Bali. Lokasi GPS : -8.72387, 115.17809, Waze. Hotel di Badung, Tempat Wisata di Badung, Peta Wisata Badung.Diubah: Desember 11, 2024.Label: Badung, Bali, Kelenteng, Kuta, Wihara, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.