Warung Bika Talago meskipun sederhana namun terlihat cukup rapi dengan cat tembok berwarna orange, dan tulisan kapital "BIKA TALAGO" di bagian depan. Posisi Bika Talago ini berada di sebelah kanan jalan, berdampingan dengan sebuah telaga kecil, mungkin karena itu si empunya memberi nama warungnya "Bika Talago", memunggungi Gunung Merapi yang terlihat anggun di kejauhan.
Oleh sebab tempatnya yang strategis di pinggiran jalan itu, dan pemandangan sekitarnya yang indah, maka orang yang lewat di dekat warung ini hampir pasti akan melihat dan tertarik dengan namanya. Perkara apakah orang akan berhenti di sana untuk menjajal makanan sedap ini adalah soal lain. Namun orang pasti akan senang berhenti sejenak untuk meluruskan kaki setelah perjalanan yang panjang, apalagi jika tersedia makanan enak yang unik dan hangat.
Ibu pemilik Warung Bika Talago Koto Baru tengah duduk berlatar belakang lubang-lubang perapian berbentuk memanjang dengan kuali bulat tempat pembuatan bika. Air mukanya seperti menunjukkan bahwa ada yang tengah ia pikirkan, atau mungkin hanya lelah setelah menyiapkan adonan bika. Bahan bakar kayu yang masih melimpah di daerah ini, ditumpuk di atas perapian untuk membantu mengeringkannya agar lebih mudah dibakar.
Adonan bika yang siap dituang ke tempat panggang diletakkan lebih dulu ke dalam dua buah panci. Panci yang satu berisi adonan bika berwarna putih yang berbahan dasar tepung beras, parutan kelapa dan gula, sedangkan panci yang satunya lagi berisi adonan bika berwarna kemerahan dengan rasa pisang. Dua rasa itulah yang saat itu tersedia. Boleh jadi sekarang sudah dikembangkan dengan rasa lainnya, karena orang cenderung bosan untuk terus menjual atau membeli makanan yang sama.
Saya sempat mengambil foto yang menunjukkan proses akhir pada pembuatan Bika Talago Koto Baru, yaitu saat seorang pekerja pria tengah meletakkan adonan mentah Bika Talago ke dalam kuali tanah liat yang diberi alas daun pisang. Satu kuali yang terbuat dari gerabah itu berisi dua potong adonan Bika Talago. Di bagian atasnya terlihat ada deretan kuali dengan jilatan api yang berasal dari potongan-potongan kayu yang terbakar.
Bika Talago Koto Baru saat baru saja dilepas dari bungkus daun pisangnya setelah diangkat dari tungku bakar. Uniknya adalah pada waktu pembuatan Bika Talago, yaitu kuali yang berisi adonan tidak dibakar dari bawah kuali, namun kualinya itu diletakkan justru di bawah kuali lain yang berisi bara kayu dan kayu yang sedang dibakar dari sebelah atas. Sedangkan di dalam tungku memanjang dan saling terhubung di bawah kuali berisi bara saja.
Dengan cara panggang seperti itu maka permukaan atas bawah hingga dalaman bika bisa matang sepenuhnya dengan merata tanpa ada bagian yang gosong akibat terlalu panas terkena api. Cara itu sungguh unik dan menarik, namun dengan semakin berkembangnya permukiman penduduk dan berkurangnya area hutan, membakar kayu suatu ketika nanti akan menjadi mahal.
Sambil menunggu bika matang saya sempat berjalan kaki ke bagian belakang dalaman warung. Di sana ada seorang pria lewat paruh baya tengah mengupas kelapa dengan menggunakan tonggak besi lancip yang ditancapkan di depan tempatnya berjongkok. Cara tradisional yang masih sangat ampuh itu mengingatkan saya pada seni tradisional Ebeg atau Kuda Lumping, yaitu saat pemainnya lupa diri dan mampu mengupas kelapa secara kilat dengan hanya menggunakan giginya.
Bika Talago yang telah matang bisa disantap selagi masih panas, dan bisa pula dibawa sebagai bekal dalam perjalanan. Dua jenis bika itu rasanya sama nikmatnya di lidah, apalagi pemilik lidahnya adalah orang yang perutnya sedang kelaparan setelah perjalanan yang panjang dan perut kenyang oleh guncangan roda mobil. Harga satu potong bika waktu itu masih Rp 2.000 namun saat ini mungkin sudah Rp 5.000 atau lebih.
Membakar kayu juga menghasilkan asap pekat yang lumayan banyak, sehingga dibuatlah lubang asap di langit-langit warung Bika Talago itu sebagai jalan buangan asap tungku. Tempat penyimpanan kayu dan langit-langit warung Bika Talago juga terlihat berwarna gelap oleh sebab terpapar asap yang berasal dari kayu yang setiap harinya dibakar.
Sama halnya pawon yang pelan namun pasti mulai tersisih oleh kompor minyak dan kompor gas, cara membakar bika dengan dua buah tungku menggunakan bahan bakar kayu seperti di Bika Talago Koto Baru itu suatu akan berubah pula, entah dengan menggunakan batubara atau bahan bakar fosil dan gas, atau energi terbarukan. Hidup memang selalu berubah, meski kadang orang harus memulai kembali semuanya dari awal ketika keserakahan berbungkus radikalisme agama menghancurkan kehidupan dan peradaban.
Bika Talago Koto Baru
Alamat : Jl. Raya Padang Bukittingi, Koto Baru, Dharmasraya, Sumatera Barat. Lokasi GPS: -0.38776, 100.39989, Waze.Proses akhir pada pembuatan Bika Talago Koto Baru, yaitu saat seorang pekerja pria tengah meletakkan adonan mentah Bika Talago ke dalam kuali tanah liat yang diberi alas daun pisang. Satu kuali yang terbuat dari gerabah itu berisi dua potong adonan Bika Talago. Di sebelah atasnya terlihat ada deretan kuali dengan jilatan api yang berasal dari potongan-potongan kayu yang terbakar.
Setelah kuali berisi kayu yang dibakar telah menyala semua, maka satu persatu kuali yang di bawah diisi dengan dua lembar daun pisang, dan lalu dituang adonan Bika Talago ke masing-masing lembar daun pisang. Anak muda itu menuangkan adonan dengan cara mundur ke kuali berikutnya.
Anak muda yang satu lagi bertugas untuk meletakkan kuali berisi bakaran kayu ke atas kuali dimana terdapat adonan bika yang masih mentah. Sebuah capit bambu panjang digunakannya untuk memindahkan setiap kuali dengan hati-hati.
Si anak muda kedua sudah hampir selesai meletakkan semua kuali dengan bakaran kayu ke atas kuali dengan adonan bika. Tinggal satu kuali lagi yang tersisa di sebelah atas, dan setelah itu dipindahkannya ke bawah maka selesailah tugasnya dalam satu siklus pemanggangan bika ini.
Warung Bika Talago meskipun sederhana namun terlihat cukup rapi dengan cat tembok berwarna orange, dan tulisan kapital "BIKA TALAGO" di bagian depan. Posisi Bika Talago ini berada di sebelah kanan jalan, berdampingan dengan sebuah telaga kecil, mungkin karena itu si empunya memberi nama warungnya "Bika Talago", memunggungi Gunung Merapi yang terlihat anggun di kejauhan.
Pemandangan pada telaga kecil yang ada di belakang warung Bika Talago Koto Baru dengan latar Gunung Merapi yang tengah mengepulkan asap putih di ujung sana.
Sebuah karamba dengan jaring tipis untuk budi daya ikan tampak dipasang di bagian sebelah kanan telaga. Sayang sekali saat itu kondisi telaga tidak begitu baik dengan banyaknya kotoran dan tumbuhan eceng gondok, yang jika dibiarkan akan dengan cepat menutupi permukaan telaga.
Setelah cukup banyak bara api terbentuk pada kuali yang ada di bagian atas, maka dituanglah bara api ke dalam lubang oleh si anak muda berkaos hijau. Dengan cara seperti itu maka ada hawa panas memancar dari atas dan dari bawah kuali yang berisi adonan bika.
Penampakan pada peletakan adonan bika di dalam kuali yang diberi alas potongan daun pisang. Ada dua bika di setiap kuali, yang mungkin berdasar pengalaman bahwa jumlah itulah yang pas untuk memperoleh hasil bakaran yang memuaskan.
Adonan bika yang siap dituang ke tempat panggang diletakkan lebih dulu ke dalam dua buah panci. Panci yang satu berisi adonan bika berwarna putih yang berbahan dasar tepung beras, parutan kelapa dan gula, sedangkan panci yang satunya lagi berisi adonan bika berwarna kemerahan dengan rasa pisang. Dua rasa itulah yang saat itu tersedia. Boleh jadi sekarang sudah dikembangkan dengan rasa lainnya, karena orang cenderung bosan untuk terus menjual atau membeli makanan yang sama.
Membakar kayu juga menghasilkan asap pekat yang lumayan banyak, sehingga dibuatlah lubang asap di langit-langit warung Bika Talago itu sebagai jalan buangan asap tungku. Adanya lubang asap membuat perputaran udara di dalam warung menjadi lebih baik dan lebih sehat buat para pekerjanya.
Tempat penyimpanan kayu dan langit-langit warung Bika Talago juga terlihat berwarna gelap oleh sebab terpapar asap yang berasal dari kayu yang setiap harinya dibakar. Bisa dimaklumi bahwa hampir mustahil untuk membersihkan tempat itu secara teratur, dan akan lebih praktis dengan membongkar lalu menggantinya dengan yang baru saat waktunya tiba.
Sambil menunggu bika matang saya sempat berjalan kaki ke bagian belakang dalaman warung. Di sana ada seorang pria lewat paruh baya tengah mengupas kelapa dengan menggunakan tonggak besi lancip yang ditancapkan di depan tempatnya berjongkok. Cara tradisional yang masih sangat ampuh itu mengingatkan saya pada seni tradisional Ebeg atau Kuda Lumping, yaitu saat pemainnya lupa diri dan mampu mengupas kelapa secara kilat dengan hanya menggunakan giginya.
Diubah: Desember 12, 2024.
Label: Dharmasraya, Kuliner, Sumatera Barat, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.