Di sisi pojok sebelah kanan kiri depan area parkir terdapat pohon beringin rimbun yang umurnya saya kira masih dibawah seratusan tahun. Di bawah kedua pohon beringin itu menjadi tempat mangkal nyaman bagi pedagang kaki lima serta para tukang becak yang menunggu rejeki di sana. Becak-becak yang terlihat cukup rapih itu semuanya sudah menggunakan roda sepeda motor, tak lagi roda kecil seperti aslinya dulu. Jika bertahan, mungkin suatu ketika nanti setiap becak tidak lagi dikayuh dengan kaki namun digerakkan oleh motor.
Di depan gerbang gapura yang dibangun pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono V itu terdapat papan penanda berbunyi "Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kagungan Dalem Masjid Gedhe Ngayogyakarta, Alamat Jl Kauman Yogyakarta", dengan lambang kerajaan di atasnya. Gapura itu bergaya joglo Semar Tinandhu yang disangga setidaknya enam pilar di depan tembok dan enam lagi di belakangnya. Seluruhnya ada lima pintu gerbang di empat arah mata angin, dua diantaranya di sisi timur masjid. Jalan utama di bawah gapura saat itu ditutup pagar besi, dan pengunjung hanya bisa masuk lewat pintu sayap di kiri kanan gapura.
Di belakang gapura pertama terdapat halaman cukup luas yang berujung pada gapura kedua atau gapura timur dimana bagian atasnya berbentuk setengah bola penuh dan di puncaknya menempel bentuk serupa tugu Jogja yang menyangga lambang bulan sabit bintang. Di tengah atap setengah bola itu terdapat jam dinding yang diapit sayap lepasan dan di atasnya ada mahkota raja. Tanda "Batas Suci" dipasang di bawah gerbang ini, namun pengunjung bisa masuk lewat pintu samping dengan masih mengenakan alas kaki.
Pada tembok rendah di sebelah kiri gapura menempel prasasti batu marmer bertulis "Masjid Gedhe Kauman, Masjid Raya Daerah Istimewa Yogyakarta, Masjid Kagungan Dalem Karaton Ngayogyakarto Hadiningrat, The Grand Mosque of the Royal Palace of Yogyakarta, Cagar Budaya Nasional : Monumenten Ordonantie n.238 / 1931. Dibangun pada / built on : Ahad / Sunday, 29 Mei 1773". Di ujung kanan halaman terdapat papan baca berisi koran lokal terbitan hari itu. Model atap limasan susun tiga di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta yang tampak elok itu disebut Tajug Lambang Teplok dimana atap penanggap menempel langsung pada soko guru.
Perancang masjid ini adalah Kyai Wiryokusumo yang konon merupakan arsitek tersohor pada masa itu. Sedangkan yang memprakarsai pembangunan masjid adalah Sri Sultan Hamengku Buwono I sendiri dan Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat, penghulu keraton yang pertama. Itu berarti bangunan Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta ini baru berdiri setelah 18 tahun Pangeran Mangkubumi naik tahta menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono I, menyusul ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang membagi wilayah Kerajaan Mataram menjadi dua.
Serambi Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta yang dibangun pada 1775 terlihat sangat indah dengan pilar-pilar dan belandar kayu berukir dan diberi warna keemasan yang terlihat sangat anggun dan hidup, serasi dengan warna lantai keramik yang terlihat bersih mengkilap. Langitan ruang yang dipasang kayu berjajar secara konsentrik memperkuat pesona yang dipancarkan serambi masjid.
Lampu-lampu gantung antik tampak dipasang di sejumlah titik yang menambah semarak pandangan. Pada dinding serambi terdapat jendela-jendela tanpa daun penutup yang dipagari kisi-kisi berbentuk botolan langsing sebagai jalan masuk udara dan cahaya. Sejumlah prasasti dalam huruf Jawa dipasang pada dinding diantara jendela-jendela dan pintu.
Bagian utama masjid lantainya tampak lebih tinggi dari lantai serambi, dihubungkan dengan empat anak tangga di depan setiap pintu masuk. Sebuah TV LED terpasang di serambi yang menunjukkan jam digital, kalender, dan masuknya waktu shalat wajib.
Bagian dalam Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta dibuat dengan nuansa klasik sederhana namun anggun yang berbeda dengan suasana di serambi yang lebih berwarna-warni. Seluruh pilar yang terlihat kokoh dicat dengan warna coklat seperti plitur, tanpa ukiran, tanpa ornamen. Hanya siku penopang yang diukir dengan suluran dan bebungaan. Seluruh umpak juga terlihat sangat sederhana, berbentuk persegi delapan polos. Sedangkan permukaan lantai ditutup rapat dengan karpet berwarna dominan merah marun.
Mimbar kayu berukir dengan warna keemasan bertingkat tiga tampak berada di sebelah kanan tempat imam memimpin shalat berjamaah di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, dan di sebelah kirinya terdapat maksura yang merupakan tempat khusus bagi sultan saat melakukan ibadah di masjid. Jika diperhatikan maka akan terlihat bahwa garis shaf tidak sejajar dengan tembok dinding mihrab, oleh sebab arah kiblat ternyata tidak sama dengan arah mihrab dan perlu dilakukan penyesuaian pada shaf.
Jika ruang utama masjid sepertinya masih asli, tidak demikian dengan serambi dan gapura. Penyebabnya adalah gempa hebat yang melanda Yogyakarta pada tahun 1867, yaitu di masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VI, yang mengakibatkan serambi dan gapura Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta rusak berat. Namun setahun setelah itu serambi dibangun kembali dengan ukuran dua kali lebih besar, dan gapuranya dibangun ulang pada 1869, keduanya menggunakan rancangan yang berbeda dari aslinya.
Pada sekitar tahun 1917 dibuat bangunan pejagan atau pos jaga di kiri kanan gapura masjid. Rumah pejagan itu pernah digunakan sebagai markas Laskar Perang Sabil yang mendukung TNI dalam perang melawan agresi militer Belanda di masa revolusi kemerdekaan. Di sebelah kiri dan kanan halaman masjid juga terdapat bangunan pagongan yang digunakan sebagai tempat untuk menyimpan gamelan yang dibunyikan pada saat ritual sekaten berlangsung.
Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta
Alamat : Jl. Kauman, Alun-Alun Keraton, Ngupasan, Kota Yogyakarta. Lokasi GPS : -7.8039992, 110.3630573, Waze. Peta Wisata, Rute Bus Kota, Tempat Wisata, Hotel.Pandangan dekat pada bagian mihrab Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta sebagai tempat imam memimpin shalat berjamaah. Mimbar kayu berukir dengan warna keemasan bertingkat tiga tampak berada di sebelah kanan mihrab, dan di sebelah kirinya terdapat maksura yang merupakan tempat khusus bagi sultan saat melakukan ibadah di masjid. Jika diperhatikan maka akan terlihat bahwa garis shaf tidak sejajar dengan tembok dinding mihrab, oleh sebab arah kiblat ternyata tidak sama dengan arah mihrab dan perlu dilakukan penyesuaian pada shaf.
Di depan gerbang gapura yang dibangun pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono V itu terdapat papan penanda berbunyi "Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kagungan Dalem Masjid Gedhe Ngayogyakarta, Alamat Jl Kauman Yogyakarta", dengan lambang kerajaan di atasnya. Gapura itu bergaya joglo Semar Tinandhu yang disangga setidaknya enam pilar di depan tembok dan enam lagi di belakangnya.
Pada tembok rendah di sebelah kiri gapura menempel prasasti batu marmer dengan latar mustaka masjid yang berbentuk bebungaan lambang kerajaan. Di ujung kanan halaman terdapat papan baca berisi koran lokal terbitan hari itu. Model atap limasan susun tiga di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta yang tampak elok itu disebut Tajug Lambang Teplok dimana atap penanggap menempel langsung pada soko guru.
Prasasti yang ditoreh di atas batu marmar berlambang kerajaan di dalam bangunan beratap tumpang tiga. Di bagian bawah disebutkan status banguna sebagai benda cagar budaya dengan merujuk pada undang-undang dari jaman kolonial berangka tahun 1931, serta tanggal dibangunnya masjid pada Minggu 29 Mei 1773.
Pandangan yang memperlihatkan lorong air yang mengelilingi Masjid Gedhe Kauman. Pada jaman dahulu lazim ada satu atau lebih kolam besar di depan masjid sebagai tempat untuk bersuci, namun sebagian besar kolam itu sekarang sudah digantikan dengan kran air. Di ujung sana adalah bangunan yang digunakan sebagai perpustakaan.
Sudut pandang berbeda pada serambi masjid dengan ornamen ukir yang dibalut warna merah dan keemasan, membuatnya tampak indah dan anggun. Garis shaf pada serambi juga dibuat miring mengikuti arah kiblat yang benar.
Pandangan lebih dekat lagi pada mimbar kayu berundak tiga dengan ukir sulur dan bebungaan yang dibalut sepenuhnya dengan warna keemasan. Maksura yang berada di sebelah kiri masih terlihat keindahannya. Yang menarik adalah sajadah untuk imam terlihat diletakkan tidak di dalam relung tembok, namun di luarnya.
Lampu gantung utama di dalam ruang tengah Masjid Gedhe Kauman dengan latar belakang tatanan kayu pada bagian dalam tajug yang terlihat sederhana tanpa adanya ukiran elok yang lazim ditemui pada bangunan seperti ini.
Pandangan dari area di sekitar pintu utama Masjid Gedhe Kauman pada arah lurus ke arah mihrab di ujung sana, memperlihatkan pilar-pilar yang terlihat masih kokoh, lampu-lampu gantung, kayu pemisah area putri, dan garis shaf yang miring.
Pandangan dari tepian Alun-Alun Lor. Di sisi pojok sebelah kanan kiri depan area parkir terdapat pohon beringin rimbun yang umurnya saya kira masih dibawah seratusan tahun. Di bawah kedua pohon beringin itu menjadi tempat mangkal nyaman bagi pedagang kaki lima serta para tukang becak yang menunggu rejeki di sana. Becak-becak yang terlihat cukup rapih itu semuanya sudah menggunakan roda sepeda motor, tak lagi roda kecil seperti aslinya dulu. Jika bertahan, mungkin suatu ketika nanti setiap becak tidak lagi dikayuh dengan kaki namun digerakkan oleh motor.
Diubah: Desember 12, 2024.
Label: Masjid, Wisata, Yogyakarta, Yogyakarta Kota
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.