Makam Sunan Bonang Bismo Batang
Perjalanan ke Makam Sunan Bonang Bismo Batang sebenarnya tak jauh dari tempat terakhir yang kami kunjungi. Namun karena ada beberapa hal menarik selama perjalanan maka kami tiba di tempat lebih lama dari semestinya. Tempat yang disebut makam itu sebenarnya adalah petilasan yang berada di Desa Bismo, Kecamatan Blado, Kabupaten Batang.
Namun karena dibuat dalam bentuk makam, dan nama petilasan mungkin kurang menarik minat peziarah, maka orang menyebutnya Makam Aulia, yaitu Makam Sunan Bonang dan Makam Sunan Kalijaga. Keduanya di satu tempat, di dalam sebuah cungkup kubus di ruang Masjid Al Huda Bismo, di belakang ruang imam.
Jarak Makam Sunan Bonang Bismo Batang dengan Pohon Jlamprang Wonobodro hanya 2,1 km, arah ke Selatan, melewati lembah dengan area persawahan subur yang luas. Kami sebenarnya melewati air hangat Ngasinan Desa Bawang Wonolobo, namun baru belakangan mengetahuinya sehingga tak mampir.
Sunan Bonang dilahirkan dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim pada 1465, atau lebih muda 15 tahun dari Sunan Kalijaga. Namun demikian, menurut cerita, adalah Sunan Bonang yang dengan kesaktiannya bisa menyadarkan Raden Said atau Berandal Lokajaya sehingga kemudian ia menjadi salah satu sembilan wali yang terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.

Papan penanda arah dengan jalan yang menurun menuju ke Makam Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Tulisan di papan menyebut jarak 1,5 km, sedangkan hitungan saya setidaknya 1,8 km dari papan itu. Jika mengambil jalan yang di kiri bisa juga ke makam namun harus memutar, dan jika lurus akan sampai ke Agrowisata Perkebunan Teh Pagilaran.
Setelah 3 menit berkendara dari jalan bercabang itu, jalan yang kami lewati mulai menanjak. Jalannya tak lebar, namun cukup mulus. Sebuah poster di pinggir jalan menyebutkan Desa Bismo berada di Dataran Tinggi Dieng yang masuk Kabupaten Batang, dimana terdapat hutan lindung, kawasan resapan air, sumber mata air, dan cagar budaya. Lewat tanjakan, ada akses jalan kecil ke bawah dengan tulisan "Air Keramat (Tuk)", yang sepertinya tempat orang untuk bersuci sebelum berziarah ke Makam Sunan Bonang, wali yang membujang hingga wafat ini. Hanya saja waktu itu tak ada rasa ketertarikan untuk mengunjunginya, mungkin karena melihat lokasi yang ditunjuk tanda arah itu sepertinya kurang ramah untuk dilewati.
Ada pintu samping di bawah beton penyangga bangungan masjid yang menjadi akses ke Makam Sunan Bonang. Ketika saya berkunjung, Masjid Al Huda masih dalam proses perbaikan. Dinding bagian depan luarnya, serta lantai atas masih belum selesai dikerjakan. Oleh sebab itu pengunjung wisata spiritual yang akan ke makam diarahkan melewati pintu samping ini. Saat ini renovasi masjid seharusnya sudah selesai dilakukan, dan akses masuk ke makam bisa lebih baik kondisinya dibandingkan ketika saya berkunjung waktu itu.

Penampakan cungkup Makam atau petilasan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga yang berada di dalam ruangan di sebelah belakang ruang utama Masjid Al Huda, Desa Bismo. Keempat sisinya tertutup kain, dan tak ada keinginan menyingkapnya untuk melihat jirat kuburnya. Kami masuk bukan dari dalam masjid, namun lewat pintu samping, melewati sejumlah undakan.
Supaya tak salah tafsir, anak muda pada foto bukan sedang sujud ke makam tapi sedang terkantuk-kantuk karena mungkin kecapekan setelah berjalan berkeliling di beberapa tempat di wilayah Batang. Di dalam masjid ini kabarnya disimpan peci Sunan Bonang yang dibuat dari anyaman sejenis akar, juga ada Al Qur'an tulis tangan peninggalannya, namun saya tak sempat melihatnya.
Kakek Sunan Bonang adalah Maulana Malik Ibrahim yang menurunkan Sunan Ampel, atau ayah Sunan Bonang. Ibunya bernama Nyai Ageng Manila. Sunan Bonang wafat pada 1525 M dan dimakamkan di Desa Bonang, Lasem, Rembang. Namun ada pula "makamnya" di belakang Masjid Agung Tuban, di Tambak Kramat Pulau Bawean, dan di Singkal Kediri.
Ada pohon jambu air di sisi utara masjid yang konon ditanam oleh Sunan Kalijaga, yang mestinya sudah berumur ratusan tahun, karena sang sunan wafat pada 1586 (ada yang menyebut 1513) maka bisa diperkirakan umur pohon itu. Konon Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga memang pernah bertandang ke Desa Bismo ini dalam rangka dakwah.
Ruang utama Masjid Al Huda Desa Bismo terkesan sempit karena dibagi dengan jamaah wanita di sebelah kiri, oleh sebab ruangan di bagian lainnya masih sedang diperbaiki. Kami masuk dari ruang belakang dimana terdapat makam, atau tepatnya petilasan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, lewat lubang di sebelah kanan itu.
Yang terlihat sangat menonjol di dalam masjid ini adalah adanya struktur kayu dengan empat tiang, dan ada pula dudukan kayu di bagian atasnya yang menjadi penyangga atap. Sepertinya itu adalah soko guru dari masjid asli sebelum direhab menjadi bentuk yang sekarang ini. Konon masjid ini awalnya dibuat oleh dua orang wali itu.
Warisan Sunan Bonang diantaranya adalah komposisi Gending Dharma yang konon bisa membawa orang masuk ke alam meditasi, hanya tak jelas apakah gending ini masih ada atau tidak. Adalah juga Sunan Bonang yang menambahkan perangkat bonang dan rebab pada gamelan, serta menciptakan tembang Tombo Ati yang terkenal hingga sekarang itu.
Sejumlah suluk juga disebut sebagai ciptaan Sunan Bonang. Diantaranya adalah Suluk Bentur, Suluk Ing Aewuh, Suluk Jebeng, Suluk Khalifah, Suluk Pipiringan, Suluk Regok, Suluk Wasiyat, dan Suluk Wujil yang berisi ajaran kepada Wujil, pelawak cebol terpelajar dari Majapahit. Ada pula karangannya yang diberi nama Wejangan Seh Bari.
Pintu samping di bawah beton penyangga bangungan masjid yang menjadi akses ke Makam Sunan Bonang. Ketika saya berkunjung, Masjid Al Huda masih dalam proses perbaikan. Dinding bagian depan luarnya, serta lantai atas masih belum selesai dikerjakan. Oleh sebab itu pengunjung yang akan ke makam diarahkan melewati pintu samping ini.
Dalaman ruang utama Masjid Al Huda Desa Bismo yang terkesan sempit karena dibagi dengan jamaah wanita di sebelah kiri, oleh sebab ruangan di bagian lainnya masih sedang diperbaiki. Kami masuk dari ruang belakang dimana terdapat makam, atau tepatnya petilasan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, lewat lubang di sebelah kanan itu. Yang terlihat sangat menonjol di dalam masjid ini adalah adanya struktur kayu dengan empat tiang, dan ada pula dudukan kayu di bagian atasnya yang menjadi penyangga atap.
Jalan simpang menurun dengan latar gunung tinggi yang kami lewati setelah sekitar 300 meter berkendara dari gang masuk Pohon Jlamprang. Di lembah bawah sana terdapat area persawahan subur yang luas.
Setelah 3 menit berkendara dari jalan bercabang itu, jalan yang kami lewati mulai menanjak. Jalannya tak lebar, namun cukup mulus. Sebuah poster di pinggir jalan menyebutkan Desa Bismo berada di Dataran Tinggi Dieng yang masuk Kabupaten Batang, dimana terdapat hutan lindung, kawasan resapan air, sumber mata air, dan cagar budaya.
Di lembah kaki bukit di bawah sana terlihat kolam penampungan air yang berasal dari mata air pegunungan. Sumber air Desa Bismo itu kabarnya juga digunakan oleh PDAM Kabupaten Batang.
Bangunan beton tertutup yang menjadi tempat penampungan mata air, diambil dengan menggunakan lensa tele. Karena lembah itu terlihat cukup dalam, maka kami tak turun ke bawah sana.
Sebatang pohon pucuk merah tampak agak mencolok keasriannya di bawah sana. Sayang pandangan ke bawah tak begitu bebas karena terhalang oleh pepohonan, sehingga tak bisa melihat sumber mata airnya.
Lereng perbukitan di atas mata air itu telah ditanami pohon teh yang berderet seperti rambut keriting. Bukan pekerjaan mudah untuk mengambil daun teh di lereng bukit seperti ini.
Sudut pandang ke cungkup Makam Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga dengan latar belakang pintu samping yang menjadi akses ke makam, dengan melewati undakan yang cukup tinggi.
Tampak depan Masjid Al Huda yang saat itu masih dalam proses renovasi. Melihat warna betonnya, tampaknya proses renovasi ini sudah berlangsung lama, dan mungkin tersendat lantaran kekurangan dana.
Akses jalan kecil menurun menuju ke mata air yang dikeramatkan oleh penduduk setempat, dan digunakan untuk bersuci sebelum berziarah dan juga untuk dibawa pulang.
Penduduk Desa Bismo dengan memanggul beban pikulan rumput pakan ternak yang cukup berat tampak berjalan mendaki tanjakan yang lumayan tinggi dan panjang. Desa Bismo memang berada di atas perbukitan.
Namun karena dibuat dalam bentuk makam, dan nama petilasan mungkin kurang menarik minat peziarah, maka orang menyebutnya Makam Aulia, yaitu Makam Sunan Bonang dan Makam Sunan Kalijaga. Keduanya di satu tempat, di dalam sebuah cungkup kubus di ruang Masjid Al Huda Bismo, di belakang ruang imam.
Jarak Makam Sunan Bonang Bismo Batang dengan Pohon Jlamprang Wonobodro hanya 2,1 km, arah ke Selatan, melewati lembah dengan area persawahan subur yang luas. Kami sebenarnya melewati air hangat Ngasinan Desa Bawang Wonolobo, namun baru belakangan mengetahuinya sehingga tak mampir.
Sunan Bonang dilahirkan dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim pada 1465, atau lebih muda 15 tahun dari Sunan Kalijaga. Namun demikian, menurut cerita, adalah Sunan Bonang yang dengan kesaktiannya bisa menyadarkan Raden Said atau Berandal Lokajaya sehingga kemudian ia menjadi salah satu sembilan wali yang terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.

Papan penanda arah dengan jalan yang menurun menuju ke Makam Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Tulisan di papan menyebut jarak 1,5 km, sedangkan hitungan saya setidaknya 1,8 km dari papan itu. Jika mengambil jalan yang di kiri bisa juga ke makam namun harus memutar, dan jika lurus akan sampai ke Agrowisata Perkebunan Teh Pagilaran.
Setelah 3 menit berkendara dari jalan bercabang itu, jalan yang kami lewati mulai menanjak. Jalannya tak lebar, namun cukup mulus. Sebuah poster di pinggir jalan menyebutkan Desa Bismo berada di Dataran Tinggi Dieng yang masuk Kabupaten Batang, dimana terdapat hutan lindung, kawasan resapan air, sumber mata air, dan cagar budaya. Lewat tanjakan, ada akses jalan kecil ke bawah dengan tulisan "Air Keramat (Tuk)", yang sepertinya tempat orang untuk bersuci sebelum berziarah ke Makam Sunan Bonang, wali yang membujang hingga wafat ini. Hanya saja waktu itu tak ada rasa ketertarikan untuk mengunjunginya, mungkin karena melihat lokasi yang ditunjuk tanda arah itu sepertinya kurang ramah untuk dilewati.
Ada pintu samping di bawah beton penyangga bangungan masjid yang menjadi akses ke Makam Sunan Bonang. Ketika saya berkunjung, Masjid Al Huda masih dalam proses perbaikan. Dinding bagian depan luarnya, serta lantai atas masih belum selesai dikerjakan. Oleh sebab itu pengunjung wisata spiritual yang akan ke makam diarahkan melewati pintu samping ini. Saat ini renovasi masjid seharusnya sudah selesai dilakukan, dan akses masuk ke makam bisa lebih baik kondisinya dibandingkan ketika saya berkunjung waktu itu.

Penampakan cungkup Makam atau petilasan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga yang berada di dalam ruangan di sebelah belakang ruang utama Masjid Al Huda, Desa Bismo. Keempat sisinya tertutup kain, dan tak ada keinginan menyingkapnya untuk melihat jirat kuburnya. Kami masuk bukan dari dalam masjid, namun lewat pintu samping, melewati sejumlah undakan.
Supaya tak salah tafsir, anak muda pada foto bukan sedang sujud ke makam tapi sedang terkantuk-kantuk karena mungkin kecapekan setelah berjalan berkeliling di beberapa tempat di wilayah Batang. Di dalam masjid ini kabarnya disimpan peci Sunan Bonang yang dibuat dari anyaman sejenis akar, juga ada Al Qur'an tulis tangan peninggalannya, namun saya tak sempat melihatnya.
Kakek Sunan Bonang adalah Maulana Malik Ibrahim yang menurunkan Sunan Ampel, atau ayah Sunan Bonang. Ibunya bernama Nyai Ageng Manila. Sunan Bonang wafat pada 1525 M dan dimakamkan di Desa Bonang, Lasem, Rembang. Namun ada pula "makamnya" di belakang Masjid Agung Tuban, di Tambak Kramat Pulau Bawean, dan di Singkal Kediri.
Ada pohon jambu air di sisi utara masjid yang konon ditanam oleh Sunan Kalijaga, yang mestinya sudah berumur ratusan tahun, karena sang sunan wafat pada 1586 (ada yang menyebut 1513) maka bisa diperkirakan umur pohon itu. Konon Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga memang pernah bertandang ke Desa Bismo ini dalam rangka dakwah.
Ruang utama Masjid Al Huda Desa Bismo terkesan sempit karena dibagi dengan jamaah wanita di sebelah kiri, oleh sebab ruangan di bagian lainnya masih sedang diperbaiki. Kami masuk dari ruang belakang dimana terdapat makam, atau tepatnya petilasan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, lewat lubang di sebelah kanan itu.
Yang terlihat sangat menonjol di dalam masjid ini adalah adanya struktur kayu dengan empat tiang, dan ada pula dudukan kayu di bagian atasnya yang menjadi penyangga atap. Sepertinya itu adalah soko guru dari masjid asli sebelum direhab menjadi bentuk yang sekarang ini. Konon masjid ini awalnya dibuat oleh dua orang wali itu.
Warisan Sunan Bonang diantaranya adalah komposisi Gending Dharma yang konon bisa membawa orang masuk ke alam meditasi, hanya tak jelas apakah gending ini masih ada atau tidak. Adalah juga Sunan Bonang yang menambahkan perangkat bonang dan rebab pada gamelan, serta menciptakan tembang Tombo Ati yang terkenal hingga sekarang itu.
Sejumlah suluk juga disebut sebagai ciptaan Sunan Bonang. Diantaranya adalah Suluk Bentur, Suluk Ing Aewuh, Suluk Jebeng, Suluk Khalifah, Suluk Pipiringan, Suluk Regok, Suluk Wasiyat, dan Suluk Wujil yang berisi ajaran kepada Wujil, pelawak cebol terpelajar dari Majapahit. Ada pula karangannya yang diberi nama Wejangan Seh Bari.
Makam Sunan Bonang Bismo Batang
Alamat : Desa Bismo, Kecamatan Blado, Kabupaten Batang. Lokasi GPS : -7.1040494, 109.8380578, Waze. Hotel di Batang, Tempat Wisata di Batang, Peta Wisata Batang.










