Nama Loko Joyo atau Loka Jaya tak asing bagi saya, sehingga mudah saja menarik perhatian ketika melihat tanda di tepian pertigaan jalan dengan tulisan Pertapaan Eyang Loko Joyo Rahtawu. Kami pun menyimpang ke kiri dari jalan utama desa pegunungan ini, memasuki jalan yang relatif lebar dan mulus, sedikit menanjak atau "mayat" dalam bahasa Jawa.
Loko Joyo adalah nama Sunan Kalijaga tatkala ia masih malang melintang sebagai berandal yang berbudi. Disebut berbudi karena ia hanya merampok harta orang kaya pelit untuk kemudian dibagikan kepada rakyat yang kelaparan. Ini adalah wujud keputusasaan Raden Said, nama asli Sunan Kalijaga, karena ketidakmampuannya untuk mengubah jurang ketidakadilan.
Kelok jalan simpang itu berada setelah Balai Desa Rahtawu, yang ketika itu tengah ramai dipadati penduduk untuk menyaksikan tayub. Keramaian seperti ini biasanya diselenggarakan untuk mensyukuri rejeki melimpah setelah masa panen raya. Tayub menjadi pilihan penduduk Rahtawu lantaran di desa itu ada pantangan untuk menggelar pertunjukan wayang kulit.
Tampak muka Pertapaan Eyang Loko Joyo Rahtawu dengan papan tengara nama di luarnya. Gapura candi bentar namun ditutup dengan atap joglo terlihat memisahkan jalan umum dengan ruangan tengah petilasan ini. Pagar tidak dikunci sehingga kami bisa masuk ke dalam ruangan yang sepi.
Maklum jam-jam sibuk bagi tempat seperti ini adalah umumnya pada malam hari hingga menjelang waktu subuh. Sebagaimana Pertapaan Begawan Eyang Sakri yang sebelumnya kami kunjungi, bentuk luar dan isi dalaman bangunan petilasan ini terlihat sangat sederhana.
Desa Rahtawu di Kecamatan Gebog Kudus ini tampaknya tidak memiliki tradisi seni pahat dan seni ukir yang menonjol, meskipun lokasinya tak begitu jauh dari Jepara. Sebagian badan candi bentar yang sudah sangat sederhana itu pun masih dipasang keramik yang malah makin merusak nilai seninya yang sudah pas-pasan itu.
Pertama kali saya tersandung nama Loko Joyo adalah saat berkunjung ke Goa Langsih di Bukit Surowiti, Gresik, Jawa Timur. Gua yang mendebarkan itu konon dahulu menjadi tempat bersembunyi Brandal Loko Joyo. Di atas gua itu, di puncak bukit, terdapat Petilasan Sunan Kalijaga. Belakangan barulah saya berkunjung ke Makam Sunan Kalijaga yang berada di Kadilangu, Demak.
Ruangan tengah ini adalah dimana pengunjung biasa diterima oleh juru kunci yang tempat duduk lesehannya sekaligus untuk rebahan terlihat di sudut kiri ruangan. Foto dan nomor hp (0813 2528 5732) juru kunci yang bernama Mbah Sono itu tampak ditempel pada dinding. Karena tak punya kepentingan khusus, saya tak menghubunginya.
Pada dinding kanan atas ada tulisan keriting yang berbunyi "Panembahan Iyang Lokodjojo". Kelambu panjang yang warnanya tampak sudah mulai lusuh terlihat memisahkan ruangan ini dengan ruangan sakral dimana petilasan berada.
Ornamen kayu di atas pintu terlihat lumayan baik. Kain panjang merah dan putih mengapit kain penutup pintu. Raden Said adalah anak Tumenggung Wilatikta (Raden Sahur), Adipati Tuban. Sedangkan Tumenggung Wilatikta adalah anak Arya Teja yang memperistri puteri Bupati Tuban Arya Dikoro. Selain Brandal Loko Joyo, nama sebutan lain bagi Sunan Kalijaga adalah Pangeran Tuban, Raden Abdurrahman, dan Syekh Malaya.
Adalah pertemuan Brandal Loko Joyo dengan Sunang Bonang yang mengubah jalan hidup pemuda yang tengah galau dengan kehidupannya itu. Kalah beradu kesaktian, Raden Said akhirnya bersedia menjadi murid Sunan Bonang. Sebagai ujian ia diminta untuk bersemedi dan menjaga tongkat sang sunan yang ditancapkan di pinggir kali, konon hingga sampai tiga tahun.
Dalam dakwahnya Sunan Kalijaga memilih menggunakan kesenian dan kebudayaan setempat sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan rakyat yang ketika itu masih menganut kepercayaan lama. Beliau dikenal sangat toleran terhadap budaya lokal, karena ia berpendapat bahwa masyarakat akan marah, setidaknya enggan mendekat, jika diserang kebiasaan mendarah dagingnya.
Di sudut ruang terdapat tempat khusus yang dipakai untuk membakar dupa dan menyan, yang terhubung langsung dengan cerobong asap. Berbeda dengan pengunjung kelenteng yang hanya membakar hio, di tempat seperti ini selain hio juga menyan yang dibakar pengunjung. Tanpa cerobong memang akan membuat orang mabuk asap.
Ada sebuah tengara lagi di pinggir jalan berbunyi "Pertapaan Eyang Jogo Wongso", yang kami lihat setelah agak jauh meninggalkan Pertapaan Eyang Loko Joyo, kembali ke jalan utama dan berkendara mengarah terus ke utara. Petilasan, pertapaan, dan makam menjadi tempat tujuan bagi banyak orang yang memiliki niat duniawi atau surgawi tertentu, baik bagi diri maupun keluarganya.
Penyebaran agama Islam yang dilakukan Sunan Kalijaga bisa diterima dengan baik oleh masyarakat karena ia mau menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta suluk sebagai sarana penyampaian pesan. Tembang Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul adalah konon ciptaan beliau. Ia pula yang memperkanlan baju takwa, sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu.
Mengunjungi tempat seperti Pertapaan Eyang Loko Joyo Rahtawu ini bagi saya adalah lebih untuk menyegarkan ingatan pada sejarah masa lalu. Tak terpikir dan tak ada niatan untuk ngalap berkah atau berdoa meminta sesuatu yang duniawi atau surgawi di sana. Cukuplah jika beruntung melihat jiratnya atau mendapat cerita yang menarik untuk didengar dan dibaca.
Alamat Pertapaan Eyang Loko Joyo Rahtawu Kudus : Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus. Lokasi GPS : -6.6550514, 110.8629673, Waze. Info Wisata Kudus: Hotel di Kudus, Hotel Murah di Kudus, Peta Wisata Kudus, Tempat Wisata di Kudus.Diubah: November 15, 2019.
Label:
Jawa Tengah,
Kudus,
Petilasan,
Rahtawu,
Sunan Kalijaga,
Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.