Halaman Kelenteng Hok Tek Che ini boleh dikatakan sangat luas, lebih dari lima kali lipat luas bangunan kelenteng yang berada di pojokan Jl Kelenteng Tanjungpandan itu. Bangunan Kelenteng Hok Tek Che dibuat menghadap ke arah Selatan, arah ke Sungai Cerucuk.
Usia Kelenteng Hok Tek Che sudah cukup tua, dibangun pada 1868, bersamaan dengan kedatangan gelombang baru orang Cina ke Pulau Belitung yang didatangkan Belanda untuk bekerja di tambang-tambang Timah, berbarengan dengan mulai berkembangnya pasar Tanjungpandan.
Bangunan utama kelenteng terkesan sederhana, dengan mural Delapan Dewa pada dinding depan, sepasang Ciok Say (Singa) di halaman, dan sepasang arca Naga di atas wuwungan.
Tengara nama Kelenteng Hok Tek Che dengan bagian kepala bertulis Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kabupaten Belitung, sebagai penanda bahwa kelenteng ini merupakan Benda Cagar Budaya yang dilindungi kelestariannya oleh Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1992.
Ada sebuah altar di Kelenteng Hok Tek Che dengan dua buah patung berwarna keemasan duduk di kursi, diapit dua patung lainnya dalam posisi berdiri. Paras muka patung yang sebelah kanan mengingatkan saya pada Biksu Tong Sam Cong, sedangkan yang duduk kursi lebih rendah di sebelahnya memilik rupa agak aneh, dengan dandanan penutup rambut membulat.
Altar Dewi Kwan Im juga saya lihat di Kelenteng Hok Tek Che, yang memang biasanya juga selalu ada di setiap kelenteng yang saya kunjungi. Kwan Im dipuja karena ia dipercaya selalu mengabulkan permintaan dari semua orang yang memohon kepadanya, oleh sebab itu ia dikenal sebagai Dewi Welas Asih. Patung-patung di kelenteng biasanya dibersihkan menjelang perayaan Imlek, lilin-lilin berukuran besar diganti pada tengah malam perayaan, dan pada hari perayaan biasanya mempertontonkan atraksi Barongsai.
Altar dengan sebuah hiolo dan sepasang pagoda tempat membakar kertas sembahyang (Kim lo) yang berjarak sekitar 20 m di depan bangunan utama Kelenteng Hok Tek Che Belitung. Altar itu tampaknya diperuntukkan bagi sembahyang kepada Dewa Langit, yang kadang memang diletakkan secara terpisah dari bangunan utama kelenteng.
Pada kelenteng lain, seperti di Kelenteng Jin De Yuan, altar bagi sembahyang Dewa Langit itu jaraknya lebih pendek ke bangunan utama. Sedangkan di kelenteng lain hanya disediakan hiolo berkaki tiga yang diletakkan di bagian depan ruangan atau pada serambi depan. Di balik pagar di tepi jalan ada tengara kelenteng yang menandainya sebagai Benda Cagar Budaya.
Di atas hok say (meja sembahyang) terdapat sebuah hiolo dengan ornamen sepasang naga, diapit dua buah hiolo lainnya yang berwarna kemerahan nyaris polos tanpa ornamen. Pada dinding lain menempel dua buah prasasti besar yang ditulis dalam huruf Tionghoa. Jika bukan ajaran agama, maka prasasti di dalam kelenteng seperti ini biasanya berisi nama-nama para penyumbang dana.
Altar bagi Dewa Bumi (Tu Tie Pekong, Hok Tek Ceng Sin) di Kelenteng Hok Tek Che. Patung Dewa Bumi biasanya merupakan tuan rumah (dewa utama) di setiap kelenteng yang letaknya di dalam atau dekat sebuah pasar, oleh karena para pedagang memerlukan berkahnya agar dagangannya laris manis dan mendatangkan rejeki berlimpah.
Di sebelah kanan terlihat ada tambur kecil dan sebuah genta berusia lebih dari seratus tahun. Sejauh ini belum pernah saya berkesempatan melihat kedua benda itu ditabuh di dalam kelenteng dalam sebuah ritual sembahyang. Paling hanya sempat melihatnya ditabuh manakala ada acara perayaan imlek di luar kelenteng.
Pada dinding Kelenteng Hok Tek Che terlihat menempel dua buah prasasti besar yang ditulis dalam huruf Tionghoa. Jika bukan petikan ajaran agama, lantaran saya tak bisa membaca hurufnya, maka prasasti di dalam kelenteng seperti ini biasanya berisi nama-nama para penyumbang dana saat pembangunan kembali sebuah kelenteng.
Sebuah altar Kelenteng Hok Tek Che dengan dua buah patung berwarna keemasan duduk di kursi, diapit dua patung lainnya dalam posisi berdiri. Paras muka patung yang sebelah kanan mengingatkan saya pada Biksu Tong Sam Cong, sedangkan yang duduk kursi lebih rendah di sebelahnya memilik rupa agak aneh, dengan dandanan penutup rambut membulat.
Altar persembahan bagi Houw Tjiang Kun (Jenderal Harimau, Datuk Harimau) yang merupakan salah satu pengawal Hok Tek Tjeng Sin (Dewa Bumi). Di kelenteng lain patungnya berupa Dewa Macan Putih (Pai Fu Sen). Pengawal lainnya adalah Dewa Naga (Lung Sen), yang entah tak saya lihat atau tak saya ambil gambarnya waktu itu.
Di sebelah kanan altar Hok Tek Ceng Sin terlihat ada tambur kecil dan sebuah genta yang konon berusia lebih dari seratus tahun. Sejauh ini belum pernah saya berkesempatan melihat kedua benda itu ditabuh di dalam kelenteng dalam sebuah ritual sembahyang.
Altar Dewi Kwan Im (Dewi Welas Asih) di Kelenteng Hok Tek Che Belitung, yang biasanya juga selalu ada di setiap kelenteng yang saya kunjungi. Kwan Im dipuja karena ia dipercaya selalu mengabulkan permintaan dari semua orang yang memohon kepadanya, oleh sebab itu ia dikenal sebagai Dewi Welas Asih.
Empat buah poster bergambar dan bertulis menempel pada sebuah dinding Kelenteng Hok Tek Che.
Poster sebelah kiri ada terjemahan Bahasa Indonesia yang berbunyi "Orang yang berbuat baik walaupun rejeki belum tiba tetapi bencana telah menjauhinya. Orang yang berbuat jahat, walaupun bencana belum tiba, tetapi rejeki telah menjauhinya".
Lalu ada penjelasan bahwa poster ini gratis, tidak diperjualbelikan. Sayang saya tidak memintanya.
Sedangkan pada poster paling kanan terdapat tulisan "Maitreya hadir di setiap keluarga. Kebahagiaan ada sepanjang masa. Setiap insan berhati Maitreya dunia jadi satu keluarga. Lihatlah semua mahkluk ikut bersuka cita menjambutnya".
Di bawah poster Buddha tertawa ini terdapat tulisan "Maitreya hadir di setiap keluarga. Kebahagiaan ada sepanjang masa. Setiap insan berhati Maitreya dunia jadi satu keluarga. Lihatlah semua mahkluk ikut bersuka cita menjambutnya".
Di Kelenteng Hok Tek Che juga ada altar yang diapit puluhan botol minyak lampu untuk sembahyang. Minyak lampu dipilih karena tidak berjelaga dan tidak menimbulkan bau yang mengganggu ketika dibakar. Semula saya kiri ini adalah altar bagi Konghucu, namun belakangan saya menduga ini adalah altar Dewa Bumi lokal atau Dewa Tanah, yang wilayah kekuasaannya hanya sebatas bangunan dimana ia berada.
Pandangan yang ditarik agak ke belakang pada altar-altar pemujaan yang memperlihatkan suasana ruangan dan meja tempat diletakkannya pernak-pernik upacara dan persembahan ketika tengah berlangsung sebuah acara ritual.
Aksara-aksara yang ditulis dalam huruf Tionghoa, yang bahkan mungkin tak semua orang keturunan Tionghoa bisa membacanya. Ini mengingatkan saya pada istilah Siucay (sastrawan) di dalam buku cerita silat karangan mendiang Kho Ping Hoo.
Bangunan utama Kelenteng Hok Tek Che yang terkesan sederhana, dengan mural Delapan Dewa pada dinding depan, sepasang Ciok Say (Singa) di halaman, dan sepasang arca Naga di atas wuwungan.
Prasasti yang lokasinya berada di sebelah kanan altar Dewa Langit di ujung halaman yang menandai peresemian pemugaran Vihara Budi Dharma (Kelenteng Hok Tek Che) yang bertanggal 24 Januari 1987.
Pandangan lebih dekat pada bangunan utama Kelenteng Hok Tek Che dengan lukisan para dewa pada dinding depannya. Sepasang singa penjaga (Cioksay) berukuran relatif kecil terlihat di depan pintu masuk, serta sepasang naga berebut mustika di atas wuwungan kelenteng.
Di dalam kelenteng juga ada altar Konghucu yang diapit puluhan botol minyak lampu untuk sembahyang. Minyak lampu dipilih karena tidak berjelaga dan tidak menimbulkan bau ketika dibakar.
Kelenteng Hok Tek Che Belitung
Alamat : Jalan Kelenteng, Tanjungpandan, Belitung. Lokasi GPS : -2.74272, 107.63155, Waze. Hotel di Belitung, Tempat Wisata di Belitung, Peta Wisata Belitung.Diubah: Desember 10, 2024.Label: Bangka Belitung, Belitung, Kelenteng, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.