Lokasi Kompleks Makam Yudanegara II persis di kiri Jalan Pasarehan. Jalan aspalnya mulus dan menanjak. Sempat ke rumah Kuncen, namun tidak ada orang di rumahnya. Jadilah kami ke kompleks makam tanpa kuncen. Tidak ada tempat parkir, sehingga kendaraan diparkir bahu jalan.
Adipati Yudanegara II adalah Bupati Banyumas ke-7 yang memerintah tahun 1707 - 1743. Ia pula yang memindahkan pusat pemerintahan dari Kejawar ke tempat yang disebut "geger Duren" atau punggung durian, karena tempat itu merupakan lembah yang diapit dua gunung, Kota Banyumas sekarang) dan mendirikan Pendopo Si Panji pada tahun 1706.
Di seberang Kompleks Makam Yudanegara II, terdapat kompleks makam lainnya. Dari papan di depan makam, terbaca nama Kangjeng Raden Mas Tumenggung Cokronegoro II, Bupati Banyumas ke-16 tahun 1864 - 1879; Raden Ayu Gusti Paku Alam, anak Tumenggung Cokronegoro II yang menjadi istri Pangeran Adipati Paku Alam; dan Kangjeng Raden Mas Tumenggung Cokrokusumo, putera Tumenggung Cokronegoro II, yang menjadi Bupati Purwokerto tahun 1885 – 1905.
Gapura bercat putih Kompleks Makam Yudanegara II dengan papan tengara berbunyi "Makam Utama", lalu ada nama Tumenggung Yudanegara II (Seda Pendapa) Bupati Banyumas, Tumenggung Dipayuda (Seda Jenar) Bupati Purbalingga, Nyai Ajeng Kemasan (Ibu Patih Sultan Jogja I), dan Raden Ayu Tumenggung Kartanegara II.
Kebiasaan Jawa adalah memberi nama keterangan tempat meninggal. Nama Seda Pendapa artinya Yudanegara II meninggal di pendopo (Si Panji), sedangkan Panembahan Seda (ing) Krapyak adalah nama sebutan bagi Panembahan Hanyakrawati, raja ke-2 Kerajaan Mataram setelah Panembahan Senapati, oleh sebab beliau wafat di Hutan Krapyak
Tidak terlihat ada pola penataan letak makam pada Kompleks Makam Yudanegara II ini. Cungkup makam dan pagarnya bervariasi sesuai selera pembuatnya. Melangkah ke dalam Kompleks Makam Yudanegara II ada makam tua berlantai tinggi bertembok keliling sendirian, meskipun ada tempat kosong di sebelah kirinya yang biasanya diperuntukkan bagi pasangan hidupnya.
Di Kompleks Makam Yudanegara II juga ada makam Ngabehi Dipawidjaja (Dipamenggala) dan istrinya. Dipawijaya (Bagus Gugu) adalah anak bungsu Dipayuda Seda Jenar. Nama Dipawijaya digunakannya setelah menikah dengan putri Dipayuda II. Setelah pensiun ia menggunakan nama Dipamenggala. Anak Dipawijaya yang bernama Mas Kadirman kemudian menjadi Bupati Banjarnegara dengan gelar Dipayuda IV, atau Dipayuda Banjarnegara.
Sebuah tengara saya jumpai setelah melewati gapura yang khusus menyebut Kompleks Makam Tumenggung Yudanegara II. Tengara ini dibuat oleh anak keturunan Yudanegara II, menandai peresmian pemugaran makam pada Minggu Legi, 22 Januari 1995.
Di dalam komplek Makam Yudanegara II ada Makam R Ngabehi Dipajoeda I (Seda Jenar) dan isterinya. Ia adalah Bupati Banjarnegara yang juga saudara ipar Yudanegara III. Ia tewas dalam pertempuran antara Pasukan gabungan VOC - Keraton Surakarta melawan Pasukan Pangeran Mangkubumi di Jenar pada 12 Desember 1751, dimana Tumenggung Dipayuda I berada di pihak VOC - Surakarta.
Dalam perang ini ada episode dimana Pakubuwana II yang diam-diam mendukung Pangeran Mangkubumi mengutus Panglima Besar Prajurit Surakarta, Tumenggung Aroeng Binang, untuk menyerang Pesanggrahan Pangeran Mangkubumi. Setelah berhadapan dengan Pangeran Mangkubumi, Tumenggung Aroeng Binang pun dengan cepatnya melemparkan kendang yang diselempangkan di punggungnya ke Pangeran Mangkubumi.
Kendang itu telah diisi emas dan berbagai perhiasan bernilai tinggi sumbangan Pakubuwana II untuk digunakan membiayai perang Pangeran Mangkubumi. Setelah itu masing-masing pihak menarik pasukannya. Kejadian itu berulang kali terjadi, sehingga perang itu dikenal sebagai 'Perang Kendang'. Perang ini melahirkan Keraton Yogyakarta, dan Pangeran Mangkubumi lalu naik tahta bergelar Sultan Hamengku Buwana I.
Ketika menjabat Bupati Banyumas, Tumenggung Yudanegara II mengalami masa pemerintahan tiga Sunan Surakarta, yaitu Pakubuwono I (1704 - 1719), Amangkurat IV (1719 - 1727), dan Pakubuwono II (1727 - 1745). Kisah meninggalnya Yudanegara II terkait peristiwa Geger Pacinan (1741 - 1742), yaitu pemberontakan orang Tionghoa di Batavia yang merembet ke Jawa Tengah. Pakubuwono II yang semula mendukung pemberontakan berubah haluan setelah VOC berada di atas angin karena bantuan Cakraningrat IV Bupati Madura Barat.
Karena itu Keraton Kartasura diserbu kaum Tionghoa dan Jawa yang anti-VOC, dipimpin Raden Mas Garendi, cucu Amangkurat III. Keraton Kartasura diduduki dan Raden Mas Garendi menobatkan diri menjadi raja bergelar Sunan Kuning. Dengan bantuan VOC, setelah meneken Perjanjian Panaraga, Pakubuwono II merebut kembali Keraton Kartasura. Namun keraton hancur, sehingga Pakubuwono II membangun keraton baru di Surakarta.
Setelah Geger Pacinan, Pakubuwono II terhasut Patih Kraton yang mengatakan bahwa Yudanegara II meninggalkan Ngabehi Mangunyuda (Bupati Banjarnegara) ketika keduanya terjebak dalam pertempuran di Loji VOC yang menyebabkan tewasnya Ngabehi Mangunyuda. Patih Keraton itu sebenarnya adalah antek VOC yang mengetahui bahwa Yudanegara II anti-VOC.
Akibatnya Pakubuwono II marah besar dan menjatuhkan hukuman mati kepada Yudanegara II. Panji Gandasubrata (Bagus Kunthing), putra Yudanegara II yang tinggal di Keraton Surakarta bersama neneknya, diam-diam mengirim utusan kepada ayahnya untuk memberi kabar. Adipati Yudanegara II pun terkejut dan sangat kecewa sampai meninggal mendadak dihadapan pejabat Kadipaten Banyumas yang tengah menghadap di Pendopo Si Panji.
Ada makam Nyai Mas Kamasan di Kompleks Makam Yudanegara II yang terletak terpisah dalam cungkup tersendiri. Nyai Mas Kamasan adalah Ibu dari Patih Sultan Hamengkubuwana I. Ia adalah Raden Ayu Yudanegara, isteri Yudanegara II yang nomor dua, juga ibu dari Raden Bagus Kunthing yang kemudian menjadi Bupati Banyumas dengan gelar Yudanegara III.
Ketika Pangeran Mangkubumi naik tahta sebagai Sultan Hamengkubuwana I, Yudanegara III dipanggil ke keraton dan diangkat menjadi patih bergelar Patih Danureja I. Sejak muda keduanya memang bersahabat, karena Raden Bagus Kunthing tinggal bersama neneknya di Keraton Kartasura sejak kecil. Ada peristiwa yang mempengaruhi hubungan keduanya ketika berkecamuk perang antara VOC-Keraton Surakarta melawan Pangeran Mangkubumi.
Sewaktu Pangeran Mangkubumi memimpin langsung penyerangan terhadap wilayah Kedu Tidar pimpinan Bupati Kedu Tumenggung Mangkupraja, Pasukan Pangeran Mangkubumi terdesak oleh pasukan Surakarta yang dipimpin Tumenggung Yudanegara III, Bupati Banyumas, yang membantu pasukan Kedu. Ketika mengejar Pangeran Mangkubumi, Yudanegara III dihadang seorang tua yang memintanya tidak melanjutkan pengejaran, dan mengatakan sebaiknya ia mengabdi kepada Pangeran Mangkubumi yang akan menjadi raja, juga keturunannya. Tumenggung Yudanegara III pun tunduk, menghentikan pengejarannya dan kembali ke pesanggrahannya.
Orang tua itu pula yang memberi senjata penjalin pethuk kepada Pangeran Mangkubumi, sehingga akhirnya bisa mengalahkan pasukan Kedu Tidar. Penjalin pethuk itu kemudian dikenal sebagai pusaka bernama Kiai Pamuk. Orang tua dalam kisah itu diduga adalah Tumenggung Aroeng Binang, sehingga Tumenggung Yudanegara III mau mendengarnya, dan penjalin pethuk diduga adalah pesan rahasia Keraton Surakarta kepada Pangeran Mangkubumi.
Ada pula Makam RM Margono, bersebelahan dengan makam isterinya. Lalu ada makam RA Mohamad, RM Soebardi, dan RM Mohamad. Raden Mas Margono Djojohadikusumo (16 Mei 1894 – 25 Juli 1978) adalah pendiri Bank Negara Indonesia. Ia adalah orang tua Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo. Dua anaknya gugur dalam peristiwa Lengkong, yaitu Kapten Anumerta Soebianto Djojohadikusumo dan Taruna Soejono Djojohadikusumo (lihat travelog Monumen Lengkong).
Margono Djojohadikusomo lahir di Purwokerto sebagai anak asisten Wedana Banyumas dan cucu buyut Raden Tumenggung Banyakwide atau Panglima Banyakwide, seorang pengikut setia Pangeran Diponegoro. R.M. Margono Djojohadikusomo menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 29 April 1945, dan menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang pertama. Saat itulah ia mengusulkan dibentuknya Bank Sentral atau Bank Sirkulasi sesuai amanat UUD '45.
Makam lainnya di Kompleks Makam Yudanegara II adalah makam R. Ngaliman Dipodiwirjo (wafat 16 Juni 1926), R Nganten Aminah Dipodiwirjo (7 Juni 1921), M Adjeng Moersita Dipodiwirjo (19 Februari 1931), R Kertapradja (13 September 1889) yang kemungkinan adalah putra Tumenggung Dipayuda bernama Raden Cakrayuda dan ketika menjadi Bupati dan berkedudukan di Patikraja berganti nama menjadi Ngabei Kertapraja.
Kunjungan ke Kompleks Makam Yudanegara II ini ternyata telah membantu saya untuk membuka lembaran-lembaran sejarah Banyumas, sejarah Keraton Surakarta, dan sejarah Keraton Yogyakarta yang belum pernah saya ketahui sebelumnya, dan mungkin tidak akan pernah saya baca dan ketahui jika saja saya tidak menerbitikan tulisan tentang makam ini.
Kompleks Makam Yudanegara II Banyumas
Alamat : Desa Dawuhan, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas. Lokasi GPS : -7.519547, 109.266848, Waze. Hotel di Purwokerto, Hotel di Baturraden, Tempat Wisata di Banyumas, Tempat Wisata Kuliner Banyumas, Peta Wisata Banyumas.Di belakang sana adalah Makam Yudanegara II sedangkan yang depan adalah makam istrinya, Raden Ayu Tumenggung Yudanegara II. Ketika menjabat Bupati Banyumas, Tumenggung Yudanegara II mengalami masa pemerintahan tiga Sunan Surakarta, yaitu Pakubuwono I (1704 - 1719), Amangkurat IV (1719 - 1727), dan Pakubuwono II (1727 - 1745).
Makam Nyai Mas Kamasan di Kompleks Makam Yudanegara II yang terletak terpisah dalam cungkup tersendiri. Nyai Mas Kamasan adalah Ibu dari Patih Sultan Hamengkubuwana I. Ia adalah Raden Ayu Yudanegara, isteri Yudanegara II yang nomor dua, juga ibu dari Raden Bagus Kunthing yang kemudian menjadi Bupati Banyumas dengan gelar Yudanegara III.
Melangkah lebih ke dalam di Kompleks Makam Yudanegara II ada makam dengan lantai tinggi berpagar tembok keliling. Entah mengapa makam yang terlihat tua itu hanya sendirian, meskipun ada tempat kosong di sebelah kirinya yang biasanya diperuntukkan bagi pasangan hidupnya. Sayang tulisan pada nisan sulit dibaca.
Foto yang memperlihatkan lokasi relatif Makam Yudanegara II terhadap gapura makam, serta jalan yang terlihat di latar belakang. Pada dinding adalah tengara nama makam, yang untuk nama Makam Yudanegara II ada versi yang ditulis dalam aksara Jawa.
Makam R Ngabehi Dipajoeda I (Seda Jenar) dan isterinya di Kompleks Makam Yudanegara II. Tumenggung Dipayuda I adalah Bupati Banjarnegara yang juga saudara ipar Yudanegara III. Ia tewas dalam pertempuran antara Pasukan gabungan VOC – Keraton Surakarta melawan Pasukan Pangeran Mangkubumi di Jenar pada 12 Desember 1751, dimana Tumenggung Dipayuda I berada di pihak VOC – Surakarta.
Kelompok makam yang ada di luar cungkup, sebagian diantaranya dipagari dengan tembok rendah tanpa atap, menandai perkerabatan pemilik makam yang ada di dalamnya, dan perhatian kepada leluhur dari anak keturunannya. Genteng bekas renovasi tampak masih tergeletak diantara makam.
Sisi kanan Kompleks Makam Yudanegara II dengan sejumlah kubur berada di tempat terbuka. Di ujung kanan, di tempat yang lebih tinggi, terdapat sebuah cungkup makam berukuran cukup besar, namun saya tidak sempat berkunjung ke sana.
Makam Ngabehi Dipawidjaja (Dipamenggala) dan istrinya, serta beberapa makam lainnya. Dipawijaya yang memiliki nama kecil Bagus Gugu adalah anak bungsu Dipayuda Seda Jenar. Nama Dipawijaya digunakannya setelah menikah dengan putri Dipayuda II. Setelah pensiun ia menggunakan nama Dipamenggala. Anak Dipawijaya yang bernama Mas Kadirman kemudian menjadi Bupati Banjarnegara dengan gelar Dipayuda IV, atau Dipayuda Banjarnegara.
Makam Joeda Atmadja, Wedana Batur, yang merupakan menantu Mertadiredjan I, sedangkan Mertadiredjan I adalah cucu Patih Danuredjo dan saudara kandung Raden Adipati Bratadiningrat, Bupati Banyumas yang dimakamkan di Kebutuh, Sokaraja.
Cungkup yang terlihat masih cukup lapang dan lumayan megah di Kompleks Makam Yudanegara II. Di ujung kiri adalah makam RM Margono, bersebelahan dengan makam isterinya. Lalu ada makam RA Mohamad, RM Soebardi, dan RM Mohamad. Raden Mas Margono Djojohadikusumo (16 Mei 1894 – 25 Juli 1978) adalah pendiri Bank Negara Indonesia. Ia adalah orang tua Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo. Dua anaknya lagi gugur dalam peristiwa Lengkong, yaitu Kapten Anumerta Soebianto Djojohadikusumo dan Taruna Soejono Djojohadikusumo (lihat travelog Monumen Lengkong).
Cungkup makam lagi di Kompleks Makam Yudanegara II, diantaranya terdapat makam R. Ngaliman Dipodiwirjo yang wafat pada 16 Juni 1926. Di sebelahnya makam R Nganten Aminah Dipodiwirjo yang wafat pada 7 Juni 1921, dan M Adjeng Moersita Dipodiwirjo yang wafat pada 19 Februari 1931.
Deret tiga makam di Kompleks Makam Yudanegara II. Di sebelah kiri adalah makam R Kertapradja yang wafat pada 13 September 1889. Kemungkinan ia adalah putra Tumenggung Dipayuda bernama Raden Cakrayuda, yang ketika menjadi Bupati dan berkedudukan di Patikraja berganti nama menjadi Ngabei Kertapraja.
Di luar Kompleks Makam Yudanegara II, di seberang jalan, terdapat kompleks makam lainnya yang tidak begitu besar. Dari papan di depan makam, terbaca nama-nama Kangjeng Raden Mas Tumenggung Cokronegoro II, Bupati Banyumas ke-16 yang memerintah 1864 – 1879; Raden Ayu Gusti Paku Alam, anak Tumenggung Cokronegoro II yang menjadi istri Pangeran Adipati Paku Alam; dan Kangjeng Raden Mas Tumenggung Cokrokusumo, putera Tumenggung Cokronegoro II, yang menjadi Bupati Purwokerto pada tahun 1885 – 1905.
Diubah: Desember 19, 2024.
Label: Banyumas, Jawa Tengah, Makam, Wisata, Wisata Religi
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.