Belakangan kelenteng ini juga dipakai sebagai tempat untuk pemujaan dewa dewi lain dari para pengikut ajaran Tao. Rencana awalnya ketika itu adalah mengunjungi Pasar Semawis, namun masih terlalu pagi untuk pergi ke sana. Hanya beberapa warung yang baru saja buka, dan tidak banyak yang bisa dilihat di sana.
Ditemani Senja, kami meninggalkan Pasar Semawis dan berjalan melewati sebuah jembatan di atas sebuah sungai yang airnya keruh, dimana kami melihat sebuah kapal berukuran sedang tengah bersandar di arah sebelah kiri jembatan. Kapal yang tampaknya merupakan simbol bagi pelayaran Laksamana Cheng Ho itu ternyata merupakan bagian dari Kelenteng Tay Kak Sie, yang secara harafiah berarti "Kuil Kesadaran Agung".
Tampak depan Kelenteng Tay Kak Sie Semarang, khas bangunan tempat ibadah Tionghoa, dengan ukiran dua ekor naga berhadapan tengah berebut mustika matahari yang indah di atas atapnya. Ada satu naga lagi di masing-masing pinggiran atapnya. Hiolo Thian berukir indah berada beberapa meter di depan gedung utama kelenteng, dan ada patung gagah berdiri berjaga di ujung kiri kanan gedung.
Sebagaimana umumnya tempat ibadah yang normal, tak ada aturan ketat untuk berkunjung ke kelenteng ini, meski datang tidak untuk beribadah. Pengalaman menunjukkan bahwa ada tidaknya aturan ketat bagi pengunjung di tempat ibadah agama dan kepercayaan apa pun, bergantung sepenuhnya pada keluasan atau kesempitan wawasan para pengurusnya saat itu, bukan pada kepercayaan atau agamanya sendiri.
Patung Buddha dengan wajah damai duduk di bawah Pohon Bodhi yang terletak di depan Kelenteng Tay Kak Sie Semarang. Sebagaimana umumnya kelenteng lainnya di negeri ini, sebagai akibat kebijakan di jaman orba, kelenteng ini juga adalah Tempat Ibadah Tri-Dharma, yaitu menyediakan altar sembahyang bagi penganut agama Konghucu, Buddha, dan Tao.
Saat itu ada seorang pendeta wanita tengah melakukan sebuah ritual di dalam kelenteng. Ia menabuh bebunyian semacam genta sambil menggumam rapalan doa, dan lalu berjalan menuju ke arah kapal sambil tetap merapal doa di sepanjang langkahnya. Sangat jarang saya melihat ritual semacam ini, namun cukup sering melihat orang berdoa dengan memegang batang hio atau bersujud di depan altar.
Kelenteng Tay Kak Sie Semarang memiliki sebuah patung elok, yang menurut hemat saya, merupakan patung terbaik yang ada di dalam kelenteng. Bentukya adalah patung seorang pria tua dengan wajah teduh itu tengah memancing di sebuah kolam, namun tanpa kail diujung senarnya. Patung itu menggambarkan sosok Kiang Cu Gee atau Jiang Zi-ya, sebagai pengingat tentang tekad, ketekunan dan kesabaran dalam menapak karir, serta untuk mengusir pengaruh jahat.
Konon ketika hendak mengabdikan dirinya kepada Bun Ong dari Kerajaan Chou (Zhou) di wilayah barat, Kiang Cu Gee membuat gubug di tepi Sungai Weishui yang sepi untuk menunggu kesempatan bertemu Wenwang. Selama masa penantian yang berlangsung bertahun-tahun itu ia hidup sebagai pengail ikan, hingga ada bekas lekukan pada batu yang didudukinya. Karena itu ia dipuja sebagai Dewa Kesabaran, dan muncul semboyan masyhur berbunyi 'Kiang Cu Gee mengail, hanya ikan ditakdirkan yang terkail'.
Kiang Cu Gee yang saat itu sudah berumur 80-an tahun akhirnya bertemu Bun Ong dan diangkat sebagai perdana menteri karena kebijaksanaan dan keluasan wawasannya. Ia membantu Bun Ong mengatur jalannya pemerintahan, memperkuat sistem politik, mengembangkan pertanian serta membangun kekuatan militer untuk kemudian menaklukkan wilayah di sekelilingnya yang membuat Kerajaan Chou semakin kuat. Saat Bun Ong wafat dan digantikan Bu Ong anaknya yang nomor 2, 2/3 wilayah Tiongkok telah dipersatukan. Kiang Cu Gee selanjutnya memimpin penyerbuan dan meruntuhkan kerajaan Shang, menandai berdirinya dinasti Chou yang berkuasa selama 800 tahun.
Ada pula arca lain yang juga berwajah teduh di Kelenteng Tay Kak Sie Semarang, penggambaran sosok yang oleh pengikutnya disebut sebagai Nabi Kong Hu Cu atau Konfusius, atau sering disingkat Kongcu. Ajarannya mengutamakan moralitas pribadi dan pemerintahan, yang menjadi terkenal karena landasan kuatnya pada sifat-sifat tradisonal Tionghoa.
Ada altar Hok Tik Tjing Sien atau Hok Tek Tjeng Sin, Dewa Bumi, yang dipuja oleh para petani dan pedagang untuk mendapatkan berkah rejeki yang berlimpah. Altar pemujaan lainnya diperuntukkan bagi Kwan Seng Tee Kun (Kwan Kong), Tee Tjong Ong Poo Sat (Dewa Pelindung Arwah di Neraka), Hian Thian Siang Tee (Dewa Langit Utara), Buddha, Thian Siang Seng Boo (Dewi Penguasa Laut), Poo Seng Tay Tee (Dewa Obat), Seng Hong Lo Ya (Dewa Pelindung Kota), Thay Sang Lauw Cin (Lao Teze) yang diapit oleh Erl Lang Sen dan Ciu Thien Sien Nie.
Setelah berkunjung ke Kelenteng Tay Kak Sie, kami berhenti untuk beristirahat di warung A Hong yang letaknya hanya beberapa langkah dari Kelenteng Tay Kak Sie, sambil menikmati kacang presto dan Wedang Kacang Tanah. Ia menamakan kacang presto buatannya Li Li Xiang Hua Seng, yang berarti kacang dengan bau yang harum di setiap bijinya.
Kelenteng Tay Kak Sie Semarang tampaknya merupakan tempat yang wajib untuk dikunjungi jika anda sedang berada di Semarang. Untuk sampai ke sana, anda bisa naik taksi atau angkutan umum ke Pasar Semawis, dan lalu naik becak atau berjalan kaki dengan bertanya arah ke orang sekitar.
Kelenteng Tay Kak Sie Semarang
Alamat : Gang Lombok, dekat Pasar Semawis, Semarang. Lokasi GPS : -6.972243, 110.426481, Waze. Harga tiket masuk : gratis, sumbangan diharapkan. Jam buka : sembarang waktu. Rujukan : Hotel di Semarang, Tempat Wisata di Semarang, Peta Wisata Semarang.Seorang pendeta wanita tampak tengah melakukan sebuah ritual di dalam kelenteng. Ia menabuh bebunyian semacam genta sambil menggumam rapalan doa, dan lalu berjalan menuju ke arah kapal sambil tetap merapal doa di sepanjang langkahnya.
Si ibu pendeta, jika bukan Konghucu maka tentulah pendeta Tao, dengan jubah putihnya yang panjang tampak tengah berjalan mendekati sebuah altar sembhayang. Di dekatnya ada begitu banyak deretan lilin dari yang berukuran kecil sampai puluhan kati beratnya, yang semuanya menyala.
Kelenteng Tay Kak Sie memiliki sebuah patung, yang menurut hemat saya, merupakan patung yang terbaik yang ada di dalam Kelenteng. Ia tengah memancing, namun tanpa kail pancing diujungnya sehingga tidak akan melukai ikan yang mendekatinya. Patung ini adalah sosok Kiang Cu Gee atau Jiang Zi-ya, yang menjadi pengingat tentang tekad, ketekunan dan kesabaran dalam menapak karir, serta untuk mengusir pengaruh jahat.
Altar sembahyang bagi dewa Hok Tik Tjing Sien, yang di beberapa kelenteng lain disebut Hok Tek Tjeng Sin atau Dewa Bumi, dewa yang dipuja untuk memperoleh kesuburan tanah pertanian, perdagangan yang menguntungkan dan kemakmuran hidup.
Altar pemujaan di Kelenteng Tay Kak Sie Semarang bagi Dewa Kwan Seng Tee Kun, yang juga dikenal sebagai Kwan Kong, panglima perang dari jaman Sam Kok (Tiga Kerajaan) yang dipuja untuk meniru dan mendapatkan sifat keteladanannya. Tiga kerajaan itu adalah Wei yang didirikan Cao Cao, Shu didirikan Liu Bei, dan Wu yang didirikan oleh Sun Quan.
Pandangan depan pada altar Kwan Seng Tee Koen atau Kwan Kong, diantara sela batang lilin berbalut warna merah dan gepokan batang hio yang belum dibakar. Orang bersembahyang ke kelenteng untuk mendapatkan berkah rizki berlimpah, kesehatan, jodoh, jauh dari bencana, dan keteladanan dari watak luhur para dewa.
Altar Tee Tjong Ong Poo Sat, Dewa Pelindung Arwah di Neraka, atau disebut juga dewa pelindung arwah orang-orang mati karena dialah dewa yang menentukan nasib arwah seseorang setelah mati.
Papan nama, tiga buah cawan keramik putih kecil bercorak bungan dan sebuah lagi cawan besar berwarna keemasan serta dua gepokan batang hio di depan meja altar Tee Tjong Ong Poo Sat. Lukisan yang tampak di bagian bawah adalah petikan kisah yang biasanya mengandung pesan moral, baik yang bagus maupun yang pahit.
Sudut pandang lain pada altar Hok Tek Tjeng Sien.
Pandangan dekat pada sejumlah patung yang diletakkan di altar Hok Tek Tjeng Sin.
Altar Nabi Kong Hoe Tjoe dengan sudut pandang tak begitu baik karena patung yang berukuran besar praktis tertutup oleh batang sebuah lilin. Namun demikian ada patung berukuran lebih kecil di sebelah depannya yang terlihat tersenyum, dengan jubah merah emas, janggut lebat putih panjang, dan tasbih di tangannya.
Pandangan dekat pada patung Nabi Kong Hoe Tjoe yang tertutup lilin pada foto sebelumnya.
Dua buah hiolo kuningan, sebuah cawan besar dan kecil, tiga buah cawan keramik putih kecil, lilin dan sejumlah ornamen di meja altar Hian Thian Siang Tee, atau Dewa Langit Utara.
Altar sembahyang bagi penganut agama Buddha, dengan tiga patung Buddha Sakyamuni di dalam relung altar di ujung sana, dan seorang pria berambut putih di latar depan kiri terlihat sedang meletakkan lilin di atas meja altar untuk dinyalakan.
Ornamen yang khas pada hampir setiap altar yang ada di Kelenteng Tay Kak Sie ketika itu. Rupang para dewa diletakkan dalam rumahan beratap gaya pelana dengan sepasang naga berebut mustika matahari di atap wuwungannya.
Altar pemujaan bagi Dewi Thian Siang Seng Boo yang disembahyangi orang ketika hendak berlayar menyeberangi lautan agar selamat sampai ke tujuan. Kelenteng Tay Kak Sie berada di Semarang yang dekat dengan laut, sehingga wajar ada dewa laut dipuja di sana. Lagi pula, leluhur orang Tionghoa di Semarang adalah pelarian dari Batavia ketika terjadi pembantaian besar-besaran terhadap etnis itu oleh pemerintah kolonial Belanda.
Altar Poo Seng Tay Tee yang dipuja sebagai Dewa Obat oleh karena kepandaiannya dalam menyembuhkan berbagai macam penyakit di jaman kekasiaran Tiongkok dahulu kala.
Sudut pandang yang hampir sama dengan foto sebelumnya.
Pisang muda, hiolo, dan beberapa buah alat ritual. Paling kanan digunakan untuk ritual Ciam Si dalam mencari jawab untuk berbagai permasalahan kehidupan.
Altar Seng Hong Lo Ya atau Cheng Huang Ye adalah Dewa Pelindung Kota. Konon sembahyang terhadap Seng Hong Lo Ya berasal dari pemujaan terhadap Shui Yong Shen (Dewa Pengawas Saluran Air), salah satu dari 8 Dewa yang dipuja sejak jaman Kaisar Yao (2357 SM s/d 2258 SM).
Sebuah hiolo kecil yang kosong yang diapit oleh papan nama dan hiolo besar di belakangnya. Sebelah kanan tampak sepasang benda yang dipakai pada saat orang melakukan ritual Ciam Si.
Altar sembahyang lainnya di Kelenteng Tay Kak Sie dengan latar kaca patri berukir sepasang naga yang sangat indah.
Sudut pandang yang sedikit berbeda dari foto sebelumnya.
Dua buah patung dewa yang saya lupa mencatat namanya. Wujud patung ini berbeda dengan kebanyakan patung dewa lainnya yang ada di dalam kelenteng.
Altar sembahyang bagi para penganut Tao dengan patung Lao Tze memegang kipas bergambar simbol yang disebut Tai Ji, atau Yin Yang, berbentuk lingkaran dengan lekuk putih seperti kecebong berbintik hitam dan lekuk hitam berbintik putih yang menggambarkan alam semesta serta hukum alam dan kehidupan di dalamnya
Thay Sang Lauw Cin (Lao Teze) yang diapit oleh Er Lang Sen dan Ciu Thien Sien Nie. Er Lang Sen merupakan Malaikat Pelindung Kota Sungai, yang pernah hidup pada era dinasti Qin. Ia adalah putera Li Bing, Gubernur Provinsi Xi Chuan.
Sudut pandang berbeda pada altar Thay Sang Lauw Cin di Kelenteng Tay Kak Sie.
Seorang pria tampak tengah bersembahyang dengan memegang setampuk hio membara di atas kepalanya. Konon jika asap hio yang biasanya berjumlah ganjil itu membubung lurus ke atas langit, doanya akan diterima oleh para dewa.
Di sebelah kiri adalah kapal dengan jangkar terangkat yang sepertinya menjado simbol bagi pelayaran Laksamana Cheng Ho, merupakan bagian dari Kelenteng Tay Kak Sie yang artinya "Kuil Kesadaran Agung"
Pada buku "Zheng He and the Treasure Fleet 1405-1433" yang ditulis oleh Paul Rozaria, disebutkan pada ekspedisi yang pertama Laksamana Cheng Ho membawa 317 kapal berawak 27.870 orang. Selanjutnya pada ekspedisi ketiga hanya membawa 48 kapal namun dengan 30.000 awak, dan di ekspedisi keempat 63 kapal 28.560 awak.
Pandangan lain pada kapal di Kelenteng Tay Kak Sie. Ada yang menyebut Cheng Ho wafat pada 1433, selama atau segera setelah ekspedisi ke-7, namun ada pula yang meyakini ia meninggal pada 1435.
Diubah: Desember 17, 2024.
Label: Jawa Tengah, Kelenteng, Semarang, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.