Situs Watu Gilang berada di tengah-tengah jalan, di dalam sebuah bangunan bertembok beratap genteng yang terlihat sederhana, dikelilingi beberapa pohon beringin tua yang sangat rimbun. Tempat parkir berada di bawah sebuah pohon beringin pula, di samping tembok kompleks Makam Raja-Raja Mataram.
Pintu masuk ke Situs Watu Gilang masih tertutup ketika saya sampai di sana, dan memang mungkin hanya dibuka jika ada pengunjung datang. Namun rumah kuncen tampaknya berada di dekat situs, dan seseorang telah menghubunginya begitu saya datang, sehingga tidak lama kemudian kuncen pun tiba untuk membukakan pintu.
Bangunan Cungkup Watu Gilang yang berukuran sekitar 3 x 4 m. Di dalam Cungkup Watu Gilang yang sebelumnya tidak bertembok ini juga disimpan peninggalan lain berupa Watu Gatheng dan Watu Genthong. Mungkin lebih baik jika dibuat dengan dinding terbuka, atau dinding kaca, sehingga bisa dilihat oleh serombongan orang dalam waktu bersamaan.
Pohon-pohon beringin raksasa di sekitar Situs Watu Gilang bisa memberikan indikasi bahwa peninggalan ini memang berumur tua. Kabarnya juga ada pohon Mentaok, namun baru saya ketahui kemudian. Mentaok lebih saya kenal sebagai nama hutan yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan oleh Sultan Pajang sebagai hadiah setelah Sutawijaya, anak Ki Ageng Pemanahan, membunuh Arya Penangsang.
Watu Genthong yang dulu menyimpan air wudhu bagi Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Giring disimpan di serambi kiri Situs Watu Gilang. Pada permukaannya terdapat lubang bekas tusukan jari-jari Raden Rangga yang marah kepada Ki Juru Mertani karena menasehatinya. Raden Rangga juga menyumpahi Ki Juru Mertani bahwa anaknya kelak akan kithing (cacat). Ki Juru Mertani memang mempunyai anak bertangan cacat, sehingga dijuluki Ki Ageng Kithing.
Meski belum secara resmi diberikan oleh Sultan Pajang kepada Karebet, namun Alas Mentaok kemudian dibuka oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Mertani, yang lalu berkembang menjadi Kerajaan Mataram Islam dibawah Sutawijaya yang selanjutnya bergelar Panembahan Senopati. Munculnya Mataram menjadi penyebab redupnya Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir atau Sultah Hadiwijaya.
Tiga buah batu bundar berwarna coklat kekuningan bernama Watu Gatheng ini diletakkan di serambi kanan ruangan Situs Watu Gilang di atas batu candi. Ketiga batu ini konon merupakan mainan Raden Rangga, anak Panembahan Senopati. Dalam cerita "Api Di Bukit Menoreh" digambarkan kesaktian Raden Rangga, namun ia mati muda setelah bertempur melawan ular raksasa di Padepokan Nagaraga.
Sayang bangunan dimana situs berada waktu itu terkesan sederhana. Mungkin perlu dipertimbangkan bagi pihak keraton atau dinas terkait untuk merancang ulang bangunan Cungkup Watu Gilang ini agar lebih anggun dan bisa dilihat oleh orang banyak secara bersamaan. Perlu pula mempersiapkan sarana pendukung di sekitarnya, seperti area parkir yang bisa menampung kendaraan besar. Prasasti dengan tulisan yang menceritakan riwayat situs ini juga sebaiknya dibuat.
Watu Gilang berukuran 140 x 119 x 12,5 cm ini diletakkan di atas dudukan semen, yang tampaknya dibuat agar lebih tinggi dari kaki pengunjung jika bersila di sekitarnya. Kuncen yang menemani saya tampak duduk menghadap pada batu. Batu ini dipercayai pernah digunakan sebagai singgasana Panembahan Senopati saat menjadi Raja Mataram.
Ada kisah yang telah melegenda bahwa Ki Ageng Mangir dibenturkan kepalanya oleh Panembahan Senopati ke Watu Gilang ini selagi sungkem untuk memberi penghormatan sebagai seorang menantu yang telah menikahi Rara Pembayun. Sebelumnya, Ki Ageng Mangir yang wilayahnya tumbuh menjadi kuat, membangkang dan tidak mengakui kekuasaan Mataram.
Untuk menaklukkan Ki Ageng Mangir, Senopati mengumpankan Rara Pembayun, puterinya, untuk memikat Ki Ageng Mangir dengan cara menyamar sebagai sinden. Taktik manjur yang disarankan Ki Juru Mertani ini dilakukan untuk menghindari perang terbuka antara Mataram dan Mangir yang akan memakan banyan korban, utamanya rakyat jelata.
Ada tulisan melingkar ditoreh pada permukaan Watu Gilang, dibuat dalam empat bahasa, yaitu cosi va il mondo (Itali), ainsi va le monde (Prancis), zo gaat de wereld (Belanda), ita move tur mundus (Latin). Tiga yang pertama memiliki arti: "begitulah dunia", sedangkan yang terakhir artinya "begitulah dunia bergerak".
Lalu di dalamnya ada tulisan lagi yang disusun persegi, berbunyi AD AETERNAM (abadi) - MEMORIAM (kenangan) - SORTIS (susah) - INFELICIS (nasib), atau "kenangan abadi nasib yang susah". Di dalam tulisan segi empat terdapat guratan empat gunungan bersambung dengan huruf "IGM", yang diduga singkatan IN GLORIAM MAXIMAN, Bahasa Latin yang artinya: Untuk kemuliaan yang terbesar.
Dengan kisah menarik yang berada dibalik keberadaan Situs Watu Gilang, ditambah lagi dengan suasana lingkungan yang sangat mendukung dengan adanya pohon-pohon beringin tua, maka situs ini memiliki potensi magnet yang besar untuk menarik kedatangan pejalan. Apalagi letaknya sangat dekat dengan kompleks Makam Raja-Raja Mataram Kotagede.
Situs Watu Gilang Kotagede Yogyakarta
Alamat : Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Lokasi GPS : -7.83214, 110.39929, Waze. Rujukan : Tempat Wisata di Bantul, Peta Wisata Bantul, Hotel di Yogyakarta.Diubah: Mei 07, 2018.Label: Bantul, Situs, Wisata, Yogyakarta
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.