Yang membedakan keduanya hanyalah dari jenis koleksi yang dipamerkan dimana Museum Peranakan Tionghoa memamerkan jenis benda dan informasi yang cakupannya lebih luas dan lebih umum tentang keturunan Cina yang datang dan ada di Indonesia ketimbang hanya yang terkait dengan sosok Laksamana Cheng Ho.
Museum Peranakan Tionghoa berada di dalam bangunan seluas 680 m2 dengan gaya arsitektur campuran Cina, Belanda dan Melayu. Atap bangunannya yang berbentuk pelana merupakan ciri khas atap rumah Cina, dan taman terbuka di dalam rumah merupakan ciri khas bangunan peranakan Tionghoa di Indonesia.
Lampion, uang kepeng berukuran besar serta sepasang barongsay, yang terlihat sudah mulai kusam, diletakkan di dekat pintu masuk Museum Peranakan Tionghoa TMII Jakarta. Barongsai itu merupakan sumbangan dari Perkumpulan Barongsai Kong Ha Hong dari marga Huang - Kong Hu yang diberikan dalam rangka perayaan peringatan Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2014. Di bagian tengah uang kepeng yang lebih menyerupai loyang itu terdapat gambar Garuda Pancasila.
Foto-foto bangunan lawas bergaya Cina terlihat di sejumlah titik di dalam ruangan museum, cukup menarik diantara koleksi lainnya. Museum Peranakan Tionghoa dikelola oleh Yayasan Lestari Budaya Tionghoa Indonesia (YLBTI), sebuah perkumpulan nirlaba yang didirikan oleh keturunan Cina yang memiliki kepedulian pada pelestarian seni budaya Cina di Indonesia.
Istilah peranakan pertama kali muncul pada abad ke-18, ketika pemerintah kolonial Belanda menggunakan istilah itu untuk menyebut para imigran dari China yang sudah membaur dan berakulturasi dengan kebudayaan setempat. Mereka kebanyakan berasal dari bagian selatan Provinsi Hokkian (Fujian). Istilah peranakan saat itu juga dipakai untuk membedakan orang Cina yang beragama Islam dengan yang bukan.
Poster dengan foto di bawahnya yang memberi keterangan ringkas mengenai Museum Peranakan Tionghoa. Museum ini menyimpan dan memamerkan foto dan artefak yang menjadi jejak sejarah serta peran yang disumbangkan oleh masyarakat keturunan Cina yang beremigrasi dan menetap di Indonesia, serta akulturasi budaya Cina dengan budaya suku lainnya di Indonesia. Selain pameran tetap, museum ini juga menyelenggarakan pameran berkala, peragaan adat istiadat serta perayaan hari besar bagi masyarakat Cina.
Kebudayaan Campuran
Belakangan kata peranakan digunakan secara lebih luas untuk menyebut semua keturunan Cina di Indonesia tanpa melihat agamanya. Kaum Cina peranakan lambat laun mengembangkan kebudayaan yang khas, hasil campuran dengan kebudayaan Jawa, Sunda, dan kebudayaan suku serta bangsa lain yang ada di Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari peranakan Cina umumnya menggunakan bahasa daerah dan logat setempat dengan fasih, layaknya penduduk lokal.Ada banyak poster sederhana di Museum Peranakan Tionghoa TMII Jakarta. Salah satunya berisi foto kubur dan informasi tentang Souw Beng Kong yang hidup tahun 1580 - 1644. Selain sebagai penterjemah, ia menjadi penasehat ada istiadat Tionghoa, sebagai saksi di pengadilan, ikut berperan dalam membangun sistem irigasi, kanal, serta merubah daerah rawa-rawa menjadi pasar, permukiman dan kantor. Kuburnya bisa dijumpai di Gg Truna, Jl Pangeran Jayakarta.
Peristiwa Angke
Poster lainnya menceritakan kisah yang dialami Nie Hu Kong dalam Peristiwa Angke tahun 1740. Sebagai protes terhadap kenaikan pajak yang tinggi dan sanksi berat pada penduduk keturunan Cina yang dikeluarkan oleh Gubernur VOC Adriaan Valckenier, maka terjadi aksi pembangkangan dan penyerangan oleh laskar Cina terhadap pos-pos VOC di Jatinegara, Tanah Abang, Bekasi, dan Tangerang. Puncaknya, pada tanggal 8 Oktober 1740 mereka menyerang Benteng VOC di Batavia.Sebagai aksi balasan, pada 9 Oktober 1740 Letnan Gustaaf Willem van Imhoff dan Angkatan Laut Belanda melakukan serangan besar-besaran dengan menggunakan artileri untuk membunuh semua orang Cina di Batavia, termasuk yang sedang dirawat di rumah sakit dan yang sedang dipenjara.
Rumah-rumah dihancurkan dengan meriam dan dibakar, termasuk rumah Nie Hu Kong. Ia disiksa dengan cara digantung, tulang kakinya dibor, kemudian dibuang dan meninggal di Ambon. Diperkirakan sekitar 10.000 orang peranakan Cina tewas dalam peristiwa pembantaian ini, dan ribuan lainnya melarikan diri ke berbagai daerah di Jawa.
Poster yang dipamerkan di Museum Peranakan Tionghoa TMII Jakarta ini pada umumnya mencoba mengangkat fakta sejarah tentang peran sejumlah tokoh keturunan Cina yang terjadi sebelum masa pergerakan nasional, juga peran mereka dalam masa pergerakan nasional dan perang kemerdekaan, hingga masa Orde Baru sampai sekarang.
Selain dokumentasi foto, ada pula koleksi yang memperlihatkan peran peranakan Tionghoa dalam kebudayaan dan seni, seperti misalnya contoh-contoh motif Batik Peranakan yang turut memperkaya ragam motif batik Nusantara, Kebaya Nyonya yang digemari berbagai kalangan termasuk orang Belanda, serta patung Fu Lu Shou yang melambangkan "Kebahagiaan", "Kesejahteraan" dan "Umur Panjang". Ada pula sejumlah patung dan keramik kuno dari jaman Dinasti Tang dan dinasti lainnya di Tiongkok.
Alamat Museum Peranakan Tionghoa berada di Taman Budaya Tionghoa Indonesia, Taman Mini Indonesia Indah, Ceger, Cipayung, Jakarta Timur. Lokasi GPS : -6.3051519, 106.9037211, Waze. Jam buka : pukul 09.00 - 16.00. Hari Senin dan hari libur TUTUP. Harga tiket masuk : Gratis. Pintu Masuk TMII (3 tahun ke atas) Rp 10.000, mobil Rp 10.000, Bus Rp 30.000, sepeda motor Rp. 6.000, sepeda Rp 1.000. Hotel di Jakarta Timur, Hotel Melati di Jakarta Timur, Peta Wisata Jakarta Timur, Peta Wisata Jakarta, Rute Lengkap Jalur Busway TransJakarta, Tempat Wisata di Jakarta, Tempat Wisata di Jakarta Timur.Diubah: November 14, 2024.
Label: Jakarta, Jakarta Timur, Museum, Taman Mini, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.