Lapar

Kata lapar, atau padanannya dalam bahasa lain, diciptakan untuk menggambarkan keadaan tubuh yang membutuhkan asupan makanan. Perut yang kosong setelah lebih dari 3 jam tidak diisi biasanya ada bunyi keroncongan di lambung, dan ada pula cacing yang memberontak.

Makan untuk mengisi perut kosong yang merasa lapar, dan minum untuk membasahi tenggorokan kering yang merasa haus, merupakan kebutuhan dasar setiap mahluk yang punya nyawa. Benda yang bisa bergerak pun, meski tak punya nyawa, juga perlu asupan energi agar membuatnya bisa terus berfungsi dengan baik.

Rasa lapar membuat orang di jaman dahulu mengambil buah-buahan di hutan, mencabut ubi dari tanah, menangkap ikan di sungai dan laut, atau menjebak binatang liar untuk dijadikan santapan. Dedaunan dan akar sejumlah tanaman pun diambil sebagai pelengkap santapan.

Sekarang, jika merasa lapar dan malas masak bisa tinggal ambil sebungkus indomie dan sebutir telur untuk dimasak dalam tempo yang singkat. Kalau mau nasi goreng bisa beli bumbu siap pakai dan mengikuti petunjuk cara membuatnya, tak perlu jadi koki ahli untuk menyajikan makanan lezat di meja.

Jika bosan dengan makanan rumahan buatan sendiri, dan punya uang cukup, kini orang tinggal membuka aplikasi GoFood atau yang sejenisnya, pilih makanan yang disukai, konfirmasi pesanan, dan tinggal tunggu abang gojek datang ke rumah membawa makanan hangat.

Lapar tak hanya sebagai tanda bahwa perut sudah butuh asupan makanan bergizi, namun lapar bisa menjadi semacam signal ampuh untuk mengingatkan kepada kita apakah ada orang atau hewan peliharaan di rumah, atau di sekitarannya, yang harus lebih dulu dipastikan bahwa mereka telah mendapat makanan.

Kebiasaan untuk mengingat kepentingan perut orang lain terlebih dahulu, sebelum mengisi perut sendiri, akan menjadi kebiasaan yang baik. Ini terutama akan sangat bermanfaat jika ada anak kecil di rumah, atau binatang peliharaan seperti kucing, anjing, kura-kura, burung, dan satwa peliharaan lainnya. Kadang kucing dan anjing liar di sekitaran kompleks pun butuh perhatian.

Lapar tak hanya sebatas keadaan fisik di saluran pencernaan. Lapar juga bisa dirasakan oleh pikir, rasa, dan jiwa. Namun jika lapar fisik sangat mudah untuk ditengarai, ketiga lapar lainnya itu lebih samar indikasinya, dan hanya gejalanya yang bisa dilihat atau dirasakan, oleh diri sendiri maupun oleh orang lain. Soal ini pernah saya kupas di tulisan Kritik dan Sumur Kering.

Bagaimana orang membunuh rasa lapar fisik bisa berevolusi bergantung pada kemajuan tingkat ekonomi dan pendidikan, bertambahnya umur, tuntutan kesehatan, kondisi lingkungan dan pergaulan sosial.

Sering pada awalnya orang tidak punya cukup uang dan harus berpikir keras untuk memilih makanan apa yang bisa dibuat atau dibeli dengan uang cekaknya. Banyak jenis makanan dan tempat makan yang tak pernah dirasakan atau didatangi karena tak ada uang. Namun akan datang saatnya nanti ketika uang cukup akan tetapi tak bisa lagi menikmati semua makanan lezat, karena alasan kesehatan.

Lapar non-fisik pun bisa berevolusi dengan cara yang sama, namun dengan sumber asupan yang jauh lebih beragam dan berubah dengan sangat cepat, dengan munculnya platform media sosial baru, serta perkembangan teknologi pendukungnya.

Perasan lapar tak bisa dikendalikan, karena merupakan respons fisiologis dan psikologis yang otomatis muncul ketika ambang batas kelaparan telah dilewati. Namun cara dan kapan untuk memenuhi rasa lapar itu bisa dikendalikan oleh pikir dan kemauan, yang perlu dilatih oleh kesadaran.

Kegagalan berketerusan dalam mengendalikan pemenuhan lapar fisiologis dan psikis akan menjamin datangnya masalah fisik maupun psikologis. Bukan hanya fisik badan yang bisa gendut karena kebanyakan makan yang tak terkendali, pikir dan perasaanpun bisa mengalami obesitas, addict, kecanduan, atau padanan katanya.

Obesitas psikis yang paling nyata saat ini adalah pada ponsel, dengan segala macam fiturnya, serta aplikasi chat dan sosial media yang ada di dalamnya. Rasanya aman untuk mengatakan bahwa sebagian besar orang saat ini hampir pasti akan segera membuka ponselnya begitu bangun tidur, sebelum melakukan kegiatan apa pun yang lain, dan sepanjang hari hingga sesaat sebelum tidur pun jarang lepas dari tangan atau selalu berada di dekat ponselnya.

Tak bisa disangkal, ponsel memang dapat memenuhi begitu banyak rasa lapar dengan cara yang sangat mudah, praktis, dan sangat ekonomis. Hebatnya, ponsel dapat pula membantu pemenuhan lapar non-fisik maupun fisik karena dari ponsel pun orang bisa menghasilkan banyak peluang dan uang, dengan cara-cara yang baik maupun sebaliknya.

Lapar yang berketerusan bisa mendatangkan penyakit, namun pemenuhan rasa lapar yang tanpa kendali juga akan berakibat sama, dan bahkan bisa lebih parah. Kuncinya adalah kesadaran dan latihan dalam melakukan pengendalian, sebelum masalah timbul dan mengganggu keseimbangan hidup.

Meski lebih mudah ditulis daripada dilakukan, namun semua pencapaian besar bisa dimulai dari satu langkah kecil. Mulai kendalikan laparmu!

Diubah: Juli 22, 2020.
Label: Blog, Percikan
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.

aroengbinang,
seorang penyusur jalan.
Traktir BA? Scan GoPay, atau via Paypal. GBU.
« Baru© 2004 - IkutiLama »