Sekitar tiga ratus tahun yang lalu di Boston, Amerika Serikat, hidup seorang anak kecil bernama Benjamin Franklin. Pada hari ia berusia tujuh tahun, ibunya memberinya uang beberapa sen. Satu sen adalah seperseratus dollar.
Benjamin melihat koin-koin tembaga kuning cerah itu dan bertanya, "Apa yang harus saya lakukan dengan tembaga ini, ibu?"
Itu adalah uang pertama yang Ben pernah miliki.
"Kamu boleh memakainya untuk membeli sesuatu, jika kamu mau," jawab ibunya.
"Kalau begitu, maukah ibu memberiku lebih banyak lagi?" Ben bertanya.
Ibunya menggelengkan kepala dan menjawab: "Tidak, Benjamin. Ibu tidak bisa memberimu uang lagi. Jadi, kamu harus berhati-hati untuk tidak menghabiskan uang itu dengan cara yang bodoh."
Si kecil Ben kemudian berlari ke jalan. Ia mendengar denting uang receh di sakunya. Betapa kayanya aku, pikirnya.
Boston pada masa itu hanyalah sebuah kota kecil, belum banyak gedung dan pertokoan.
Saat Benjamin berlari-larian di jalan, ia bertanya-tanya dalam hati apa yang harus ia beli dengan uangnya itu. Haruskah ia membeli permen yang hampir tidak tahu bagaimana rasanya?
Atau haruskah ia membeli mainan yang bagus? Jika saja Ben adalah satu-satunya anak dalam keluarga, segalanya mungkin akan berbeda. Tapi di rumah ada empat belas anak laki dan perempuan yang lebih tua darinya, dan ada dua adik perempuan lagi yang lebih muda.
Betapa besar keluarganya! Sedangkan ayahnya hanyalah orang miskin. Tidak heran jika Ben tidak pernah memiliki mainan.
Ben belum pergi jauh dari rumah ketika ia bertemu dengan seorang anak laki lebih besar yang sedang meniup peluit.
"Saya ingin memiliki peluit itu," kata Ben.
Bocah besar itu menatapnya dan meniup peluitnya lagi. Oh, betapa indahnya suara itu!
"Aku punya beberapa sen," kata Benjamin. Dia memegang uangnya di tangan dan menunjukkannya kepada anak itu. "Kamu bisa memilikinya, jika mau memberiku peluitmu itu."
"Semua uangmu itu?"
"Ya, semuanya."
"Baiklah, itu penawaran yang cukup bagus," kata anak laki itu. Ia lalu memberikan peluit kepada Benjamin, dan mengambil uang dari tangan Ben.
Ben kecil merasa sangat senang. Ia pun segera berlari pulang secepat kakinya bisa sambil meniup peluitnya.
"Lihat, ibu," katanya, "aku telah membeli peluit."
"Berapa yang kamu bayar untuk peluit itu?"
"Semua uang yang ibu berikan padaku."
"Oh, Benjamin!"
Salah satu saudaranya meminta untuk melihat peluit itu.
"Yah, Ben!" ia berkata. "Kamu telah membayar mahal untuk benda ini. Peluit ini mestinya hanya satu sen harganya, dan tak bagus pula."
"Kamu bisa membeli setengah lusin peluit seperti itu dengan uang yang kuberikan padamu," kata ibunya.
Ben kecil melihat kesalahan apa yang telah ia perbuat. Peluit itu tidak membuat hatinya senang lagi. Ia melemparkannya ke lantai dan mulai menangis.
"Sudahlah, anakku," kata ibunya dengan sangat lembut. "Kamu masih sangat kecil, dan kamu akan belajar banyak saat kamu tumbuh lebih besar nanti. Pelajaran yang telah kamu dapat hari ini adalah jangan pernah membayar terlalu mahal untuk sebuah peluit."
Benjamin Franklin hidup sampai berusia tua, namun dia tidak pernah melupakan pelajaran yang ia dapatkan itu.
Setiap anak harus mengenal nama Benjamin Franklin. Ia adalah seorang pemikir hebat dan telah banyak berbuat hebat pula, yang bersama George Washington ia telah membantu membuat Amerika Serikat menjadi negara bebas. Hidupnya sedemikian rupa baiknya sehingga tidak ada orang yang bisa berkata, "Ben Franklin telah berbuat salah padaku."
Diterjemahkan dan diedit dari Fifty Famous People karangan James Baldwin.Diubah: Oktober 14, 2021.
Label:
Dongeng,
Inspirasi
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.