Oleh karenanya, setelah teman-teman dari Komunitas Pecinta Musik Konser Rakyat Leo Kristi mulai menyanyikan lagu-lagu selain KRLK pada sekitar jam 2, saya mulai berpikir untuk menjelajah Bangka lagi.
Adalah kejutan yang menyenangkan, ketika Abing Patrick menawarkan adiknya yang bernama Santoso atau Asan, untuk menemani saya menjelajah pulau. Ia juga meminta Petrus Sinpo Simanjuntak untuk ikut menemani.
Kelenteng Kwan Tie Miaw atau Kelenteng Kwan Tie Miau adalah tempat pertama yang kami kunjungi setelah meninggalkan rumah Persada, tempat dimana pertemuan dilakukan. Dewi dan cucu Sinpo yang masih kecil juga ikut. Perjalanan ke Kelenteng Kwan Tie Miaw cukup singkat karena letaknya di tengah kota.
Patung naga yang lazimnya terlihat jelas di wuwungan kelenteng, tidak tampak di Kelenteng Kwan Tie Miaw, karena letaknya ternyata berada di belakang atap yang pertama. Ini agak tidak lazim, karena di kelenteng lainnya letak dua patung naga yang berhadapan biasanya berada di atas wuwungan atap yang terdepan.
Hiolo Thian (Dewa Langit) keemasan berkaki tiga dengan relief kepala menyeramkan serta ornamen sepasang naga diletakkan di bagian depan Kelenteng Kwan Tie Miaw ini. Hiolo Thian sering diletakkan di bangunan kecil terpisah dari bangunan utama.
Kelenteng Kwan Tie Miaw tengah direnovasi ketika kami berada di sana, yang merupakan renovasi kesekian kalinya sejak didirikan pada 1841.
Pembangunan kembali Kelenteng Kwan Tie Miaw dilakukan setelah hampir seluruhnya terbakar pada tahun 1998. Sebelum tragedi itu terjadi, kelenteng ini bernama Kwan Tie Bio dan kemudian berganti nama menjadi Kelenteng Amal Bhakti selama Orde Baru berkuasa.
Sebuah Bedug dan genta mungil terlihat menggantung di dekat pintu masuk kelenteng. Bedug berukuran besar selalu ada di masjid-masjid, namun tidak ada genta di sana. Sementara genta besar setahu saya selalu ada di gereja-gereja, namun tidak ada bedug di sana.
Di altar sembahyang yang pertama terdapat Arca Hok Tek Ceng Sin (Fu De Zheng Shen) atau dewa bumi atas kemakmuran dan jasa yang sering dianggap sama dengan Tu Di Gong (Dabo Gong). Di Kelenteng Kwan Tie Miaw Pangkalpinang juga ada arca Phek Kong (Tu Di Gong), yaitu dewa bumi yang menguasai tanah lokal.
Setiap wilayah memiliki Tu Di Gong berbeda, dan mereka merupakan kelompok dewa berkedudukan paling rendah dan paling dekat dengan manusia. Oleh karenanya altar Tu Di Gong selalu diletakkan sejajar dengan lantai atau tanah.
Sebagai salah satu dewa yang tertua usianya, Hok Tek Ceng Sin juga sering disebut Hou Tu. Dewa ini sering digambarkan sebagai kakek tua dalam posisi duduk, berambut dan berjanggut putih panjang dengan paras muka tersenyum ramah.
Dewa Bumi dipuja oleh para petani untuk mendapatkan berkah panen berlimpah dan oleh para pedagang agar rejeki mereka lancar. Namun untuk memperoleh berkah maka orang harus terlebih dahulu mengerjakan banyak kebajikan, karena berkah tidak akan datang pada mereka yang rajin bersembahyang namun jarang melakukan kebajikan pada sesama.
Altar pemujaan selajutnya di Kelenteng Kwan Tie Miaw Pangkalpinang diperuntukkan bagi Chin Shih Huang Ti, seorang kaisar terkenal semasa dinasti Chin. Di sebelah kirinya adalah patung Chui Chang dan patung Kuan Pien di sebelah kanannya.
Huang Ti (Qin Shi Huang Di) banyak menjalankan proyek-proyek raksasa semasa memerintah, termasuk pembangunan Tembok Besar Cina versi pertama, pembuatan mausoleum seukuran kota yang dijaga oleh Tentara Terracotta seukuran manusia sebenarnya, dan sistem jalan raya nasional besar-besaran, semuanya dengan pengorbanan ribuan nyawa manusia.
Huang Ti juga melarang dan membakar banyak buku untuk menjaga stabilitas politik di masa pemerintahannya. Namun dengan semua hal buruk itu, Huang Ti masih tetap dianggap sebagai tokoh yang sangat penting dan dihormati banyak orang.
Rupang Hok Tek Ceng Sin sering digambarkan sebagai kakek tua dalam posisi duduk, berambut dan berjanggut putih panjang dengan paras muka tersenyum ramah. Dewa Bumi dipuja oleh para petani untuk mendapatkan panen berlimpah dan oleh para pedagang agar rejeki mereka lancar.
Sebuah altar sembahyang untuk Phek Khong di Kelenteng Kwan Tie Miaw. Rupanya kelenteng ini membedakan antara Hok Tek Ceng Sin dengan Tu Di Gong (Dabo Gong). Tu Di Gong adalah para dewa bumi yang menguasai tanah lokal. Masing-masing wilayah memiliki Tu Di Gong berbeda, dan mereka merupakan kelompok dewa berkedudukan paling rendah dan paling dekat dengan manusia. Oleh karenanya altar Tu Di Gong selalu diletakkan sejajar dengan lantai atau tanah.
Sebuah Bedug dan genta mungil terlihat menggantung di dekat pintu masuk Kelenteng Kwan Tie Miaw. Bedug berukuran besar selalu ada di masjid-masjid, namun tidak ada genta di sana. Sementara genta besar setahu saya selalu ada di gereja-gereja, namun tidak ada bedug di sana.
Altar sembahyang untuk Cai Shen, dewa kekayaan, harta, atau rezeki. Rupangnya digambarkan mengenakan topi rendang, bergumis dan berjenggot hitam panjang, mengenakan pakaian kerajaan, dan tangan kirinya memegang sebuah cawan.
Dua patung kecil diletakkan depan arca Avalokiteswara berukuran besar, salah satu dewa dalam aliran Budha Mahayana, yang akan mengangkat dunia dari kehancuran dan menyelamatkan manusia dari siksaan setelah mati. Di belakang patung ada pula lukisan Avalokiteswara yang dibuat pada permukaan dinding.
Lampu dengan tulisan huruf Tionghoa pada kacanya serta beberapa kelopak bunga terlihat di sebuah sudut Kelenteng Kwan Tie Miaw. Sementara saya memotret, Dewi terlibat dalam sebuah percakapan dengan ketua yayasan Kelenteng Kwan Tie Miaw. Belakangan Dewi menyayangkan karena saya tidak begitu memperhatikan cerita dibalik foto-foto yang saya ambil, yang memang benar adanya.
Avalokiteswara adalah bodhisatwa paling dimuliakan dalam aliran Buddha Mahayana yang merupakan perwujudan sifat welas asih dari semua Buddha.
Rupang di sebuah altar sembahyang yang digambarkan mengenakan topi, tangan berpaut di depan dada memegang semacam gulungan kertas, dan mengenakan baju kebesaran warna merah. Sayang tak ada keterangan tentang rupang ini.
Kelenteng Kwan Tie Miaw juga menyimpan sejumlah senjata berwujud tombak, kapak panjang, dan pedang bertangkai panjang dengan bentuk khas yang lazim digunakan oleh pasukan kerajaan dan panglima perang pada masa kekaisaran di daratan Tiongkok.
Kelenteng Kwan Tie Miaw tengah direnovasi ketika kami berada di sana, yang merupakan renovasi kesekian kalinya sejak didirikan pada 1841. Pembangunan kembali Kelenteng Kwan Tie Miaw dilakukan setelah hampir seluruhnya terbakar pada 1998. Sebelum tragedi itu terjadi kelenteng ini bernama Kwan Tie Bio dan Kelenteng Amal Bhakti selama Orde Baru.
Bangunan di belakang sana adalah bangunan tua bekas bioskop "Banteng" yang seingat saya gagal dipertahankan dari penggusuran. Kota yang tak menghargai bangunan tua adalah kota yang tak berjiwa. Sangat disayangkan.
Kelenteng Kwan Tie Miaw bisa menjadi salah satu tempat yang menarik untuk dikunjungi, selain Kelenteng Dewi Kwan Im, jika anda berada di kota Pangkalpinang. Hanya membutuhkan beberapa menit saja untuk sampai ke sana dari hotel mana pun anda menginap di kota itu.
Letak kelenteng juga dekat dengan Gang Singapur dan Pasar Mambo yang memungkinkan anda berbelanja setelah berkunjung ke kelenteng.
Kelenteng Kwan Tie Miaw Pangkalpinang
Alamat : Jl. Mayor Syafrie Rachman, Pangkalpinang. Lokasi GPS : -2.129973, 106.115055, Waze. Hotel di Sungaliat, Peta, Hotel di Bangka . Tempat Wisata di Bangka. Diubah: Desember 10, 2024.Label: Bangka, Bangka Belitung, Kelenteng, Pangkalpinang, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.