Lokasi petugas jaga dan tempat pembelian tiket masuk ada di depan serambi, menempati meja panjang di tempat terbuka, di bawah anak tangga pintu utama. Tampaknya jumlah koleksi yang dimiliki Museum Radya Pustaka menjadikan loket jaga pun merupakan tempat yang mewah. Kebutuhan akan tempat itu bisa dengan mudah dilihat karena bahkan lantai pada serambi luar juga digunakan sebagai tempat pamer beberapa benda peninggalan sejarah yang berharga.
Namun penempatan penjaga itu tampaknya tak ada kaitannya dengan kasus pencurian menghebohkan di Museum Radya Pustaka beberapa tahun lalu yang melibatkan orang dalam. Lima arca curian yang hilang dari museum ditemukan secara mengejutkan oleh polisi di rumah seorang pengusaha kaya dan tokoh sebuah partai politik terkenal. Namun seingat saya yang bersangkutan mengaku membelinya ketimbang benda bersejarah itu dijual ke kolektor luar negeri.
Di bagian depan Museum Radya Pustaka Solo terdapat Patung R.Ng. Ranggawarsita, pujangga keraton yang waskita keturunan R.Ng. Yosodipuro, yang diresmikan oleh mendiang Presiden Soekarno pada 11 November 1953 dengan tengara museum yang diteduhi pohon cukup rindang. Jauh di belakang sana terlihat sebuah patung dwarapala sebagai penjaga museum, serta relief Kala pada bagian depan atap museum.
Sejarah Museum Radya Pustaka
Museum Radya Pustaka didirikan pertama kali pada Selasa Kliwon (Anggara Kasih) 14 Mulud 1820 Tahun Ehe Windu Sangara Wuku Mandhasiya atau bertepatan dengan 14 Rabi'ulawal 1308 H atau tanggal 28 Oktober 1890 oleh KRA Sosorodiningrat IV, Pepatih dalem Kraton Surakarta di jaman Sri Susuhunan Pakubuwono IX.Radya berarti keraton atau negara, sehingga Radya Pustaka berarti perpustakaan keraton. Pada tanggal 11 Januari 1913 Museum Radya Pustaka pindah ke Loji Kadipala hingga sekarang. Luas bangunan museum seluruhnya adalah 523,24 m2, terdiri dari ruang pamer tetap 389,48 m2, ruang perpustakaan 33,76 m2 dengan tanda larangan untuk memotret koleksinya, dan ruang perkantoran 100 m2.
Koleksi Museum
Dahulu perpustakaan museum dipakai sebagai Paheman atau tempat berkumpulnya para Sastrawan serta Pujangga dari Keraton Surakarta dan Kepatihan, sehingga di perpustakaan juga ada koleksi mesin ketik Aji Saka yang menggunakan huruf-huruf Jawa. Pakaian adat, wayang kulit, foto lawas, gamelan dan buku-buku kuno juga bisa dijumpai di sana.Berbagai jenis pusaka seperti keris, tombak dan pedang dipamerkan di ruang depan Museum Radya Pustaka Solo. Di bagian tengah disimpan meriam lapangan dan patung pendiri Radya Pustaka, yaitu Kanjeng Adipati Sosrodiningrat IV, pepatih dalem pada masa pemerintahan Pakubuwono IX dan Pakubuwono X. Di dalam lemari kaca adalah koleksi keramik dan gerabah dalam jumlah yang cukup banyak. Keramik China adalah sebagian dari koleksi museum yang telah dicuri dari museum.
Sebagian ruangan di Museum Radya Pustaka menyimpan koleksi berbagai bentuk senjata tradisional dan tosan aji yang dipajang di dalam lemari dinding berpenutup kaca bening yang lebar, diantaranya adalah Pedang Amangkurat II, Raja Keraton Kartasura 1680-1703. Di ruang ini juga terdapat koleksi Kuluk Songkok yang merupakan tutup kepala bulat dengan tabir terbuat dari kain hitam dengan strip benang emas, merupakan ciri tutup kepala para pangeran dan raja dalam acara kemiliteran.
Diantara koleksi arca adalah arca perunggu Dewa Siwa dan Dewi Parwati yang berasal dari jaman Hindu abad 7-10 Masehi, arca Dewa Wisnu dalam posisi rebahan miring bertelekan tangan dari abad yang sama, dan ikal rambut Sang Buddha berasal dari patung Buddha setinggi 5 meter yang ditemukan di Candi Sewu.
Ada pula Dulban Putih dengan jumbai berbentuk ekor yang dahulu dipakai oleh para ulama keraton dalam upacara besar keagamaan. Koleksi lainnya adalah Samir, kain panjang berwarna merah dan kuning untuk Keraton Surakarta, hijau dan kuning untuk Mangkunegaran, yang dihiasi jumbai, yang dipakai oleh para abdi dalem dengan cara dikalungkan. Koleksi bedil Senapan VOC abad 16-17 M juga dipamerkan.
Berbagai jenis keris, tombak dan pedang dipamerkan di ruang depan Museum Radya Pustaka Solo. Di bagian tengah disimpan meriam lapangan dan patung pendiri Radya Pustaka, yaitu Kanjeng Adipati Sosrodiningrat IV, pepatih dalem pada masa pemerintahan Pakubuwono IX dan Pakubuwono X. Di dalam lemari kaca adalah koleksi keramik dan gerabah dalam jumlah yang cukup banyak. Keramik China adalah sebagian dari koleksi museum yang telah dicuri dari museum.
Arca Durga Mahisasuramardini berukuran besar terbuat dari batu andesit di teras Museum Radya Pustaka Solo. Ia adalah Dewi Parwati yang dikutuk Shiwa sehingga berwujud dewi berwajah raksasa, digambarkan berdiri menginjak kerbau jelmaan Raja Asyura yang menyerang kahyangan istan Shiwa. Arca itu berasal dari Prambanan dari abad 7-10 M. Beberapa buah meriam VOC dari abad ke-17 dan ke-18 juga dipajang di teras. Koleksi museum sangat menarik dan beragam, terdiri dari arca, keramik, pusaka, pakaian adat, wayang kulit, foto lawas, gamelan dan buku-buku kuno.
Ruang Museum Radya Pustaka dimana terdapat koleksi berbagai bentuk senjata tradisional dan tosan aji yang dipajang di dalam lemari dinding berpenutup kaca bening yang lebar. Di ruang ini juga terdapat koleksi Kuluk Songkok yang merupakan tutup kepala bulat dengan tabir terbuat dari kain hitam dengan strip benang emas, merupakan ciri tutup kepala para pangeran dan raja dalam acara kemiliteran.
Sebuah prasasti yang ditulis semua dalam aksara Jawa yang tak bisa saya baca lagi. Sepertinya alaha tengara berdirinya Museum Rasya Pustaka.
Batu prasasti ini ditulis dalam dua aksara, Jawa dan Latin, merupakan batu peringatan 10 Windu (80 tahun) berdirinya Museum Radya Pustaka tahuna Jawa 1820 - 1900, yaitu pada Selasa Kliwon 15 Mulud tahun Ehe 1900, Wuku Mandasia Wundu Hadi Mangsa XII.
Batu Peringatan 11 Windu (88 tahun) berdirinya Museum Radya Pustaka tahun Jawa 1820 - 1908, pada Selasa Kliwon 15 Mulud tahun Ehe 1908, Wuku Dukut Wundu Kuntara Mangsa IX.
Plakat yang menunjukkan status Museum Radya Pustaka sebagai benda cagar budaya yang keberadaan serta kelestariannya dilindungi undang-undang.
Arca dan posisi duduk bersila dengan tangan dan wajah yang telah rusaka, diapit oleh meriam lapangan di sebelah kiri dan meriam besar di sebelah kanannya.
Arca yang hampir sama dengan foto sebelumnya dengan ornamen dada dan kepala sedikit berbeda. Di ujung sana ada arca Ganesha, dan sebuah arca lainnya, mungkin Brahma yang tengah menunggang Angsa, wahana tunggangannya.
Pandangan pada jarak lebih jauh pada teras sisi sebelah kiri Museum Radyapustaka dengan sebuah meriam panjang, arca dengan tangan buntung namun badan dan kaki dalam keadaan baik, dan sebuah meriam lapangan dalam kondisi yang masih cukup baik dan lengkap.
Pandangan jauh teras sisi sebelah kanan dimana terdapat Durga Mahisasuramardini, arca empat sisi dari batu putih, sebuah meriam lapangan, arca dengan tangan buntung, dua buah arca Ganesha, dan sebuah arca Brahma di ujung sebelah kanan.
Pandangan lebih dekat pada arca empat sisi yang terbuat dari batu putih dengan ukiran yang sudah mulai samar, dan arca Durga Mahisasuramardini di belakangnya.
Batu peringatan 9 Windu berdirinya Museum Radya Pustaka yang posisinya berada di sebelah atas arca Durga Mahisasuramardini.
Poster yang berisi riwayat museum serta informasi detail lainnya, termasuk denah ruang museum, serta jam buka museum, yaitu Selasa-Minggu jam 09,00 - 14.00.
Ragam topeng dengan berbagai ekspresi dan ornamen wajah. Kebanyakan topeng dibuat dengan hidung panjang, bola mata besar, dan berkumis lebat.
Koleksi topi kebesaran militer Keraton Surakarta. Ada juga Kuluk Songkok yang merupakan ciri tutup kepala para pangeran dan raja dalam acara kemiliteran, Samir yang dipakai oleh para abdi dalem dengan cara dikalungkan, dan banyak lagi. Aneka topeng juga dipajang di sebuah lemari kaca pipih.
Pigura yang berisi riwayat singkat Museum Radya Pustaka Solo.
Koleksi topeng , pestol dan senapan atau bedil dari jaman VOC.
Dulban Putih dengan jumbai berbentuk ekor yang dahulu dipakai oleh para ulama keraton dalam upacara besar keagamaan.
Samir yang dipakai oleh para abdi dalem dengan cara dikalungkan. Samir merupakan kain panjang berwarna merah dan kuning (untuk Keraton Surakarta), hijau dan kuning (untuk Mangkunegaran) yang dihiasi dengan jumbai.
Koleksi Meriam Lela, sebuah meriam kecil yang dahulu dipakai sebagai perlengkapan upacara besar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Kapak Candrasa yang berbentuk unik, menyerupai bulan sabit yang sesuai dengan namanya, umumnya merupakan pelengkap dalam sebuah upacara.
Koleksi tombak dan penutupnya di Museum Radyapustaka. Di bagian bawah tengah dengan roda adalah Antihan, yaitu alat untuk mengantih atau memintal benang. Alat ini dahulu dipakai oleh puteri keraton pada jaman PB III.
Suasana peresmian Patung Pujangga R.Ng. Ronggowarsito oleh Presiden Soekarno pada 11 November 1953 di depan Gedung Museum Radyapustaka.
Foto yang memperlihatkan kerumunan hadirin saat Presiden Soekarno memberi sambutan pada peresmian Patung Pujangga R.Ng. Ronggowarsito pada 11 November 1953 di depan Gedung Museum Radyapustaka.
Di dalam lemari kaca adalah koleksi keramik dan gerabah dalam jumlah yang cukup banyak. Keramik Cina adalah sebagian dari koleksi museum yang telah dicuri dari museum. Di sebelah kirinya adalah vas bunga berukuran besar terbuat dari kristal berwarna merah tua berlapis emas dengan gambar tanaman berasal dari Perancis, yang merupakan hadiah dari Napoleon Bonaparte kepada Paku Buwana IV yang memerintah pada 1788 – 1820. Selain itu ada pula Orgel dengan lukisan bunga pada sisinya, yang juga merupakan hadiah dari Napoleon Bonaparte kepada PB IV.
Keris dengan berbagai macam model beserta warangkanya dipamerkan di Museum Radyapustaka. Sebuah keris yang unik karena bilahnya sangat panjang juga dipamerkan.
Di sebelah kanan adalah beberapa jenis keris berukuran besar dan berbentuk tidak lazim. Ada pula senjata tusuk yang warangkanya berbentuk seperti tongkat. Di sebelah kiri adalah orgel atau boks musik yang diubah dengan bunga dan burung. Pada sisinya ada lukisan bunga dan kupu-kupu. Orgel ini merupakan hadiah Napoleon Bonaparte kepada Susuhunan PB IV.
Perpustakaan Radyapustaka telah terlebih dahulu ada sebelum Museum Radyapustaka diresmikan, dan dipakai sebagai Paheman atau tempat berkumpulnya para Sastrawan serta Pujangga dari Keraton Surakarta dan Kepatihan. Koleksinya kebanyakan berupa buku bermuatan sejarah maupun budaya, seperti Buku Babad dan Serat Carik maupun Cetak tentunya dengan huruf tulisan aksara Jawa. Ada pula ensiklopedia Indonesia dan Asia berbahasa Belanda. Koleksi buku kuna yang sangat berharga adalah Wulang Reh karangan Pakubuwono IV yang berisi petunjuk pemerintahan. Ada pula Serat Rama karangan Pujangga Keraton Surakarta bernama Yasadipura I yang menceritakan kisah Ramayana.
Koleksi arca perunggu peninggalan dari kebudayaan pada masa Hindu dan Buddha. Diantara arca ini ada yang masih dalam kondisi baik, ada pula yang tak utuh, ada pula arca duplikat yang ditukar oleh pencurinya dengan mengambil arca yang asli.
Koleksi genta kuno Museum Radyapustaka. Penjelasan di bawahnya menyebutkan bahwa kata genta asalnya ada dari ghanta, kata Sanskerta yang artinya lonceng atau bel. Ada ornamen binatang pada puncak dan sisi tengah genta. Di sebelah kanan adalah arca Bodhisatwa dan Avalokitesvara.
Di sebelah kiri adalah Arca Avalokitesvara dan Aksobhya. Di tengah Arca Manjusri, lalu ada dua Arca Bodhisatwa yang berbeda rupa posisi dan ukuran, Arca Manjusri lagi, serta Arca Avalokitescara. Ciri utama Arca Aksobhya adalah mudra bhumisparsa, atau sikap tangan memanggil bumi yang . Sikap demikian menunjukkan Aksobhya adalah saksi sewaktu Sang Buddha digoda oleh Mara di bawah pohon bodhi.
Aksobhya adalah penguasa Timur. Bodhisattva Manjusri dicirikan memegang sebatang pedang kebijaksanaan yang menjadi perlambang pemutus kekotoran batin dan mengendarai singa berbulu emas sebagai simbol keperkasaan menaklukkan kekuatan jahat, dan kadang duduk di atas bunga teratai yang melambangkan kemurnian.
Dua di sebelah kiri adalah Arca Bodhisatwa dengan detal ornamen yang berbeda, dan di sebelah kanan adalah arca tanpa kepala. Keterangan di bawahnya menyebutkan bahwa Bodhisatwa berarti mahluk yang mendapat pencerahan sebelum masuk nirwana. Arca Avalokitevara melambangkan sifat welas asih, Manjusri melambangkan kebijaksanaan kecerdasan dan realisasi, Maitreya melambangkan kebajikan, dan Wajrapani melambangkan perlindungan dan pemandu Buddha.
Di sebelah kiri, belakang kiri, dan depan adalah Arca Dhyani Budha Aksobhya dengan ukuran dan ornamen berbeda. Di belakang kanan adalah Arca Bhodisatwa Wicwapani. Di sebelah kanan adalah dua Arca Manusi Budha yang bertugas mengajarkan dharma di dunia.
Paling kiri belakang adalah Arca Dhyani Bodhisatwa Samantha Bhadra yang berarti pribadi maha agung yang memberi limpahan berkah bagi semua mahluk. Di sebelahnya agak ke depan adalah Arca Dhyani Buddha Aksobhya, yang berarti tak terganggu dan penjaga bumi sebelah Timur. Di sebelahnya agak ke belakang adalah Arca Bodhisatwa Avalokitesvara dan Dhyani Bodhisatwa Samantha Bhadra. Paling kanan depan adalah Arca Dhyani Budha Aksobhya dalam posisi condong ke depan.
Arca Avalokitesvara yang merupakan replika. Arca aslinya ditemukan di Desa Menggung, Klaten, terbuat dari perunggu, dengan kalung dilapis emas dan bibirnya dilapis perak. Avalokitesvara dalah pelindung manusia di Bumi.
Padmasana adalah dudukan arca yang lazimnya berbentuk bunga teratai, karena padma berarti teratai dan "sana" adalah sikap duduk. Padmasana menggambarkan kedudukan Hyang Widhi dan sebagai tuntunan batin.
Di sebelah kiri belakang adalah Arca Dewa Kuwera. Di depan Arca Vajrapani yang merupakan salah satu dari delapan Bodhisatwa terpenting yang disebut dalam Sadhanamala. Di sebelahnya Arca Dewa Brahma, dewa pencipta dan dewa pengetahuan serta kebijaksanaan, bertangan empat yang masing-masing memegang Weda, busur, aksamala (tasbih), dan tongkat teratai.
Di belakang ada Arca Prajnya Paramitha yang merupakan perwujudan bodhisatwa dewi. Paramita berarti kesempurnaan dalam kebijaksanaan. Di sebelah kanan adalah ingot Tembaga.
Arca Bodhisatwa dari perunggu dengan tangan tak lengkap berukuran cukup besar. Di sebelah kirinya adalah Arca Dhyani Budha Wairocana, salah satu dari lima dhyani Buddha yang berkedudukan di tengah.
Gambaran koleksi arca perunggu dan ingot tembaga yang ada di Museum Radyapustaka. Keterangan pada setiap arca sangat membantu para pengunjung untuk lebih memahami nama dan arti dari setiap benda itu. Di sebelah kanan adalah ingot tembaga berbentuk setengah bulat yang merupakan komoditas perdagangan untuk membuat arca dan artefak perunggu lainnya. Paling kiri belakang adalah Arca Saraswati. Di sebelahnya adalah Arca Prajna Paramita, dan di depannya ada Arca Brahma.
Prasasti Mantyasih I ditemukan di daerah Kedu, Jawa Tengah, ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa Kuna, menyebutkan bahwa pada tanggal 11 paro gelap bulan Caitra tahun 829 Saka (11 April 907 M), Sri Maharaja Rakai Watakura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambhu meresmikan beberapa daerah menjadi sima, yaitu Mantyasih termasuk hutannya di Munduan dan Kayupanjang, tanah perumahan di Kuning termasuk sawahnya di Wunut, dan hutan Susundara dan Sumwing.
Pemberian sima merupakan anugerah karena para patih di Mantyasih berjasa dalam beberapa hal, yaitu bekerja bakti waktu perkawinan raja, melakuka pemujaan dan pemeliharaan bangunan suci, dan berhasil menjaga keamanan jalan ketika terjadi bahaya atas Desa Kuning. Bagian penutupnya berisi permintaan tolong kepada para dewa dan arwah raja agar turut membantu melindungi isi prasasti.
Nama raja yang telah meninggal itu adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya, Sri Maharaja Rakai Panangkaran, Sri Maharaja Rakai Panunggalan, Sri Maharaja Rakai Warak, Sri Maharaja Rakai Garung, Sri Maharaja Rakai Pikatan, Sri Maharaja Rakai Kayuwangi, dan Sri Maharaja Rakai Watuhumalang. Sima merupakan daerah perdikan yang diberi hak bebas pajak.
Prasasti Wurutunggal (Kurunan) yang ditulis dalam aksara dan bahawa Jawa Kuna, satu sisinya berisi 13 tulisan. Ditemukan di Dukuh Plembon, Desa Randusari, Kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Isinya mengenai akta jual beli sebidang sawah, yaitu pada tanggal 10 paro terang bulan Jyesta tahun 807 Saka (29 April 885 M) Dang Acaryya Manindra membeli sawah di Kurungan dari para pejabat Desa Parhyangan wilayah Wurutunggal seharga 1 kati untuk dijadikan sima guna membiayai bangunan suci. Penulisnya adalah Sang Jyo.
Koleksi menarik bernama Canthik Perahu Rajamala, yaitu hiasan pada haluan perahu pesiar istana yang mengambil simbol tokoh pewayangan bernama Raden Rajamala, dibuat oleh putera mahkota pada masa Susuhunan Pakubuwono IV yang kemudian dinobatkan sebagai Pakubuwono V.
Raden Rajamala adalah putera angkat Resi Palasara dari padepokan Retawu dengan Dewi Durgandini, putri Prabu Basukesti Raja Wirata. Kapal pesiar itu pernah dipakai mengarungi Sungai Bengawan Solo sampai ke Madura.
Di sebelah kiri terlihat relief sejumlah Perahu Rajamala yang tengah didayung oleh 6-7 orang di setiap sisi perahu. Canthik adalah hiasan pada haluan depan perahu pesiar istana, dibuat dari kayu jati yang berasal dari hutan Danalaya.
Ruangan Museum Radyapustaka ini berisi koleksi wayang kulit berbagai versi yang bernilai seni tinggi, lengkap dengan seperangkat Gamelan Ageng Radyapustaka peninggalan KRA Sosrodiningrat IV serta perlengkapan pertunjukan wayang lainnya.
Nang Yai adalah wayang kulit yang berasal dari Thailand Selatan yang biasa mengambil kisah Ramakien (Ramayana). Wayang ini pertama kali dibuat pada jaman Raja U Thang Ayutthaya (1350 - 1369). Wayang ini diberikan oleh Raja Chulalangkorn kepada PB X antara tahun 1896 - 1901.
Pandangan dekat yang memperlihatkan detail tatahan pada Nang Yai, wayang kulit dari Thailand Selatan.
Ruang Memorial Kantor KG Panembahan Hadiwidjaja, kurator Museum Radyapustaka yang terakhir, dilengkapi dengan denah dan keterangan koleksi.
Di sebelah kiri adalah foto para kurator. Di depan adalah lukisan PB IX, PB X, PB XI, dan PB XII. Ada pula payung kebesaran, meja dan kursi tamu, hiasan vas bunga, tongkat, kursi kerja, mesin ketik huruf Jawa, dll.
Sebelah kiri yang hanya terlihat sedikit adalah koleksi wayang gedhog gaya Madura, dan di sebelah kanan adalah wayang gedhog gaya Surakarta, keduanya merupakan peninggalan PB X, yang mengambil kisah panji. Kisah Panji merupakan cerita asli Jawa, yang lahir di Kediri dan berkembang pada jaman Kerajaan Majapahit.
Jejeran wayang Raden Wijanarka (anak Arjuna) dengan para Punakawan (Semar, Gareng, Petruk) yang berhenti sejenak di sebuah hutan dalam sebuah perjalanan. Adegan ini disebut bambangan karena mengacu pada tokoh satria di tengah hutan. Koleksi ini merupakan peninggalan PB X. Mestinya di paling belakang ada Bagong, atau Bawor kalau di diaerah Banyumas.
Tampak muka Museum Radyapustaka dengan Patung R.Ng. Ranggawarsita yang diresmikan oleh mendiang Presiden Soekarno pada 11 November 1953.
Koleksi menarik lainnya adalah vas bunga berukuran besar terbuat dari kristal berwarna merah tua berlapis emas dengan gambar tanaman berasal dari Perancis, merupakan hadiah dari Napoleon Bonaparte kepada Paku Buwana IV yang memerintah pada 1788 - 1820. Selain itu ada pula Orgel dengan lukisan bunga pada sisinya, yang juga merupakan hadiah dari Napoleon Bonaparte kepada PB IV.
Alamat Museum Radya Pustaka Solo berada di Jl Slamet Riyadi No 275, Solo, Jawa Tengah. Telp. 0271 - 712 306. Lokasi GPS : -7.5681122, 110.8141809, Waze. Jam Buka : Selasa - Minggu, pukul 08.30 - 14.30. Senin tutup. Harga tiket Masuk : Pelajar Rp.1.500, Umum Rp.2.500, Kamera Rp.5.000. Wisman Rp.5.000. Hotel di Solo, Tempat Wisata di Solo, Peta Wisata Solo.Diubah: Desember 18, 2024.
Label: Jawa Tengah, Museum, Solo, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.