Masuk sejauh 200m di gang kami tiba di Gapura Suro Jiwan bertulis "Yayasan Kasultanan Karaton Pajang". Ada gunungan bermahkota, diapit naga dan keris. Di sisi kanan ada arca Dwarapala menjaga gapura candi bentar, lalu jalan yang di ujungnya berjaga sepasang arca Dwarapala lagi dan gapura candi bentar kedua. Di belakangnya ada pendopo dengan lukisan wajah Ki Ageng Giring, Mas Karebet bertarung dengan banteng, serta Sunan Kalijaga. Pada sisi lainnya ada lukisan wajah Ki Ageng Pemanahan, Joko Tingkir naik rakit bersama tiga abdinya (Willa, Wuragil, Manca) dikawal buaya, serta Panembahan Senopati.
Lalu ada silsilah Hadiwijaya, dimulai dari Brawijaya V, berputri Ratu Pembayun yang menikah dengan Sri Makurung Prabu Handayaningrat (Ki Ageng Pengging Sepuh) dan berputra Kebo Kanigara, Kebo Kenanga dan Kebo Amiluhur, sebagaimana saya lihat di Makam Ki Ageng Pengging Sepuh. Kebo Kenanga menurunkan Mas Karebet yang kemudian menjadi Sultan Pajang. Silsilah itu berakhir pada Amangkurat Jawa yang berputra PB II, HB I, dan Mangkunegara. Salah satu putera Hadiwijaya yaitu Pangeran Benawa menurunkan R Ng Yosodipuro, Yosodipuro II, Yosodipuro Sastronagoro dan Ronggowarsito.
Gapura candi bentar kedua serta sepasang arca Dwarapala di Petilasan Keraton Pajang Sukoharjo. Sebuah patung rajawali bertengger di atas tiang menggenggam sebilah keris telanjang. Di belakang gapura terdapat pohon beringin rimbun dengan sulur lebat serta patung seekor harimau putih. Seorang pria bernama R. Dimas Katja menemui saya di pendopo, dan lalu pindah ke warung sambil minum teh. Menurutnya perang Pajang - Mataram tak pernah terjadi karena berhasil dicegah. Namun sesampainya di Prambanan, Sultan Hadiwijaya yang sedang sakit tiba-tiba jatuh dari gajah, dan akhirnya wafat setiba di Pajang.
Ini mengingatkan saya pada Petilasan Joko Tingkir di Sangiran yang kemungkinan tempat singgah prajurit Pajang sekembalinya dari perang. Menurut Dimas, Arya Penangsang dibunuh oleh Hadiwijaya karena saat itu Sutawijaya berusia 10 tahun sedangkan Arya Penangsang 26 tahun, sedang gagah-gagahnya. Hadiwijaya meminta kepada Ki Pemanahan dan Ki Penjawi, bahwa jika Arya Penangsang keluar dari arena pertempuran, kalau ke Selatan menjadi tugas Ki Pemanahan, jika ke Utara tugas Ki Penjawi. Jika Arya Penangsang tetap di medan pertempuran maka jangan sampai mereka ikut membantu. Cerita Sutawijaya naik kuda betina, dan Aryo Penangsang naik Gagak Rimang, menurutnya hanyalah perlambang bahwa perselisihan Aryo Penangsang dan Hadiwijaya hanya gara-gara perempuan.
Maksudnya atas permintaan Ratu Kalinyamat yang suaminya, Pangeran Hadlirin, dibunuh oleh Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat berjanji barang siapa membunuh Arya Penangsang maka akan ia beri tlatah Kalinyamatan (Jepara) dan Prawoto (Demak), serta bersedia nyuwito atau dijadikan isteri. Karena Hadiwijaya yang membunuh Arya Penangsang sudah memperistri adiknya, Ratu Kalinyamat ingkar janji, meski janji memberi kedua tlatah itu ia penuhi. Oleh sebab itu Hadiwijaya berkata "Oh ya tak tompo, ning eling-elingen, ora enek wong Jeporo sing bakal urip kamulyan sakdurunge nglakoni koyo ngono." yang maksudnya adalah bahwa "Tidak ada orang Jepara yang akan hidup mulia sebelum melakukan seperti itu". "Koyo ngono" itu menurut Dimas maksudnya selingkuh, atau ingkar janji.
Di Petilasan Keraton Pajang Sukoharjo juga ada patung kepala bermakuta, mungkin dimaksudkan sebagai arca Hadiwijaya, dengan mawar melati di atas daun pisang, sebuah gentong dan Yoni di depannya. Menjulang agak tinggi di belakangnya adalah makuta yang hampir menyerupai stupa dengan ornamen susun daun di pangkalnya. Bagian belakang patung kepala terdapat sebuah arca Semar berukuran kecil, serta makuta besar dari batu yang menyerupai bentuk stupa, dan payung kerajaan susun tiga. Tulisan Jawa di bawah arca Semar berbunyi "Patilasan Karaton Kasultanan Pajang".
Pada cungkup di sebelah kanan Petilasan Keraton Pajang Sukoharjo, dikelilingi kaca, adalah kayu tua yang dipercaya merupakan sisa rakit Joko Tigkir. Rakit itu didorong kawanan bajul putih yang ditaklukkannya dan membawanya dari Tingkir menuju ke Demak Bintoro. Rakit Joko Tingkir juga saya lihat di Pesanggrahan Lenganharjo. Jika pun tidak asli, karena rakit biasanya dari ikatan bambu glondongan, maka sisa getek itu bisa diartikan sebagai pengingat.
Ketika membaca lagi sejumlah tulisan tentang kematian Arya Penangsang dan perebutan kekuasaan tahta Demak antara Jipang Panolan dab Pajang, tampaknya kisah itu masih menjadi perdebatan diantara keturunan pihak yang terlibat. Bisa dimaklumi, cerita sejarah memang sering tak lepas dari faktor subyektif dan kepentingan pewartanya.
Menurut versi Dimas, leluhur Joko Tingkir ke atas adalah Kebo Kenongo - Sri Makurung Prabu Handyaningrat (Ki Ageng Pengging Sepuh, menantu Raja Brawijaya V) - Aryo Pandoyo (Aryo Bubaran) - Eyang Sampurno (Bandung Bondowoso) - Angling Driyo - Angling Kusumo - Angling Darmo - Parikesit. Kalau dari ibu ke atas akan berujung pada Ken Arok. Joko Tingir, masih menurut Dimas, tak ada bedanya dengan Jaka Mada (Gajah Mada). Jika Jaka Mada berhasil mempersatukan Nusantara namun tak bisa mempersatukan agama, maka Joko Tingkir tak bisa mempersatukan Nusantara namun ia bisa mempersatukan agama dan budaya. Maka ajaran manunggalnya kawula dan Pangeran ada di Pajang.
Petilasan Keraton Pajang Sukoharjo ini dirintis oleh R. Koesnadi Kusumo Hoeningrat pada Jumat Legi, 3 Desember 1993. Pada 26 Mei 2011 Yayasan Kasultanan Keraton Pajang resmi berdiri berbarengan dengan ritual jumenengan Suradi menjadi Adipati bergelar Kanjeng Raden Adipati Suradi Joyo Negoro, setelah menjalani Ruwatan Sudamala.
Di ujung kunjungan saya sempat bertemu dengan Ki Jasmin (70 tahun), kuncen petilasan ini. Ia mengenakan kaos hitam bergambar Semar. Dimas saya lihat juga memakai kaos hitam bergambar Semar bertulis "Semar the spirit of Djava". Ki Jasmin menyebutkan bahwa kegiatan Petilasan Keraton Pajang ini seluruhnya berasal dari masyarakat dan para tamu.
Setiap malam Jumat Legi di Petilasan Keraton Pajang Sukoharjo ini dilakuan kegiatan tahlil bersama, dengan menyediakan bancakan sego liwet komplit. Konon itu karena wahyu keraton Pajang turun pada hari Jumat Legi. Untuk menghidupkan warisan budaya Pajang juga diadakan Grebeg Agung yang kini telah masuk agenda tahunan Kabupaten Sukoharjo.
Kesultanan Pajang berdiri pada 1549 setelah runtuhnya Jipang Panolan. Karena kadipaten di Jawa Timur melepaskan diri setelah Sultan Trenggana wafat, maka pada 1568 Sunan Prapen mempertemukan Hadiwijaya dengann para adipati Jawa Timur di Giri Kedaton. Pada pertemuan itu para adipati Jawa Timur sepakat mengakui kedaulatan Pajang, dan Panji Wiryakrama dari Surabaya yang memimpin para adipati dinikahkan dengan puteri Hadiwijaya.
Madura juga akhirnya tunduk pada Pajang, ditandai dengan pernikahan Raden Pratanu atau Panembahan Lemah Dhuwur dengan puteri Sultan Hadiwijaya. Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, kejayaan Pajang memudar, meskipun Arya Pangiri dengan dukungan Panembahan Kudus sempat naik takhta pada 1583, menyingkirkan putera mahkota Pangeran Benawa. Pada 1586, Pangeran Benawa yang tersingkir ke Jipang, bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang, berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Arya Pangiri kemudian dikembalikan ke Demak, dan Pangeran Benawa menjadi raja Pajang ketiga. Pemerintahannya berakhir pada 1587, digantikan Gagak Baning dan Pajang menjadi kadipaten dibawah Mataram.
Petilasan Keraton Pajang Sukoharjo
Alamat : Gang Benowo III Sonojiwan, Desa Makamhaji, Kecamatan Kartosuro, Sukoharjo. Lokasi GPS : -7.57253, 110.78229, Waze. Tempat Wisata di Sukoharjo, Peta Wisata Sukoharjo.Kayu tua di Petilasan Keraton Pajang Sukoharjo yang konon merupakan sisa rakit Joko Tingkir yang membawanya dari Tingkir menuju ke Bintoro Demak. Rakit Joko Tingkir juga saya lihat di Pesanggrahan Lenganharjo. Jika pun tidak asli, karena rakit biasanya dari ikatan bambu glondongan, maka sisa getek itu bisa diartikan sebagai pengingat.
Bagian belakang foto sebelumnya dengan patung semar kecil itu. Sisi kanan patung kepala raja, yang memperlihatakan Arca Semar, serta makuta besar dari batu yang menyerupai bentu stupa, dan payung kerajaan susun tiga. Kayu tua di sebelah kiri konon adalah tiang pancang rakit Joko Tingkir. Tulisan Jawa di bawah arca Semar berbunyi "Patilasan Karaton Kasultanan Pajang". Pada cungkup di sebelah kanan, dikelilingi kaca, adalah kayi tua yang dipercaya merupakan sisa rakit Joko Tigkir.
Arca Dwarapala besar diletakkan di depan gapura candi bentar yang pertama. Di belakang gapura ada pekarangan kosong luas, dan di sebelah kanan candi bentar ada jalan sejajar pekarangan yang di ujungnya ada arca Dwarapala dan gapura candi bentar kedua. Saya masuk melewati gapura yang terakhir ini.
Gapura bertiang beton beratap genteng dan pintu kayu di sisi sebelah kiri. Sebuah spanduk bertulis “Yayasan Kasultanan Karaton Pajang” menggantung di bawah atap Gapura Suro Jiwan ini. Di sebelah kiri tulisan ada logo gunungan bermahkota raja diapit sepasang naga dan di tengahnya ada sebilah keris dalam posisi tegak, lambang yayasan.
Poster berisi silsilah Sultan Hadiwijaya, pendiri Kesultanan Pajang. Silsilah dimulai dari Brawijaya V, berputri Ratu Pembayun yang menikah dengan Sri Makurung Prabu Handayaningrat (Jaka Sengara / Ki Ageng Pengging Sepuh) dan berputra Kebo Kanigara, Kebo Kenanga dan Kebo Amiluhur. Silsilah ini sama seperti yang saya lihat di Makam Ki Ageng Pengging Sepuh.
Sebuah poster berisi Silsilah Soewondo Sastrodiredjo, pensiun Wedono distrik Ungaran (1857 - 1948) yang menurunkan Prof. DR. Ibnu Sutowo, petinggi Pertamina di jaman pemerintahan Orde Baru.
Patung harimau putih di dekat pohon beringin lebat yang posisinya ada di belakang gapura candi bentar yang kedua.
Pendopo berukuran sedang dimana saya bertemu dengan orang tua berjanggut putih yang kedua belah matanya putih terkena penyakit katarak. Tampaknya ia peziarah yang tinggal selama beberapa lama di petilasan. Belakangan ketika pulang ia menunggu saya di depan gapura untuk meminta derma. Pada risplang terdapat spanduk memanjang bertulis "Arum kuncaraning bongso dumunung haneng luhuring budoyo" yang artinya harum terkenalnya bangsa ada dalam tingginya budaya.
Pada salah satu blandar pendopo terdapat lukisan Ki Ageng Giring di ujung kiri, lukisan Mas Karebet bertarung dengan banteng di tengah, serta lukisan Kanjeng Sunan Kalijaga di ujung kanan. Sunan Kalijaga adalah guru Ki Ageng Giring, Ki Ageng Pemanahan, dan juga guru Mas Karebet. Keturunan Ki Ageng Giring yaitu Paku Buwono I akhirnya menjadi Raja Jawa setelah keturunan ketujuh Ki Ageng Pemanahan turun tahta, sesuai permintaan Ki Ageng Giring saat Ki Ageng Pemanahan secara tak sengaja meminum air degan yang berisi wahyu keraton yang mestinya ia minum.
Pada blandar pendopo di sisi lainnya ada lukisan Ki Ageng Pemanahan, Joko Tingkir naik rakit bersama tiga abdinya (Willa, Wuragil, Manca) dikawal buaya, serta Kanjeng Panembahan Senopati Mataram. Kayu tua yang konon adalah sisa rakit Joko Tingkir bisa dijumpai di Petilasan Keraton Pajang. Sutawijaya atau Panembahan Senapati adalah anak angkat Sultan Hadiwijaya yang dalam versi resmi berhasil membunuh Arya Penangsang dan kemudian mendapat hadiah Alas Mentaok. Mentaok lalu berkembang pesat menjadi kekuatan baru, yaitu Mataram.
Sebuah prasasti menyebutkan bahwa Patilasan Kasultanan Karaton Pajang ini dirintis oleh R. Koesnadi Kusumo Hoeningrat pada Jumat Leg, 3 Desember 1993. Pada 26 Mei 2011 Yayasan Kasultanan Keraton Pajang resmi berdiri berbarengan dengan ritual jumenengan Suradi menjadi Adipati dengan gelar Kanjeng Raden Adipati Suradi Joyo Negoro, setelah sebelumnya menjalani Ruwatan Sudamala.
R. Dimas Katja, salah satu pengurus Petilasan Keraton Pajang, yang menurut pengakuannya adalah seorang budayawan yang masih keturunan PB II, berlatar pendidikan hukum dan pernah belajar di Leiden.
Sebanyak delapan buah bata merah berukuran cukup besar yang ditanam pada adukan semen dipercayai sebagai sisa bangunan Keraton Pajang yang masih tersisa.
Adanya sebuah Yoni di Petilasan Keraton Panjang memunculkan pertanyaan apakah ada hubungan antara Pajang dengan kebudayaan Hindu. Mungkin saja tidak langsung. Ayah Karebet, Ki Ageng Pengging, adalah pengikut Syekh Siti Jenar, namun ketika Ki Ageng Pengging dihukum mati oleh Demak karena dianggap memberontak, Karebet masih kecil. Karebet adalah juga murid Sunan Kalijaga. Mungkin karena meskipun Pajang adalah sebuah Kesultanan Islam, namun Hadiwijaya tetap menjaga dan menghormati kebudayaan Jawa, termasuk peninggalan kebudayaan Hindu itu.
Dua buah batu kuno yang sebagian badannya telah rusak. Di sebelah kiri tampaknya adalah bekas Yoni yang rompal di bagian ceratnya. Sedangkan di sebelah kanan merupakan batu dengan dua lubang bundar yang terhubung oleh saluran mendatar.
Tempayan kuno yang konon peninggalan dari jaman Dinasti Ming, lumpang batu, dan beberapa peninggalan batu lainnya yang disimpan di sekitar area Petilasan Keraton Pajang.
Sebuah sendang dengan air jernih yang biasa digunakan peziarah untuk membersihkan muka dan kaki. Namun ada pula yang percaya bahwa air sendang itu mengandung khasiat.
Ki Jasmin menyebutkan bahwa kegiatan Petilasan Keraton Pajang ini seluruhnya berasal dari masyarakat dan para tamu. Setiap malam Jumat Legi di tempat ini dilakuan tahlil, dengan menyediakan bancakan sego liwet komplit. Konon wahyu keraton Pajang turun pada hari Jumat Legi. Untuk menghidupkan warisan budaya Pajang maka diadakan Grebeg Agung yang kini telah masuk agenda tahunan Kabupaten Sukoharjo.
Pandangan dekat pada bagian belakang arca kepala raja, memperlihatkan patung Semar kecil dan tulisan di bawahnya.
Diubah: Desember 18, 2024.
Label: Jawa Tengah, Pajang, Pengging, Petilasan, Sukoharjo, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.