Yang kemudian membuat saya tertarik untuk turun setelah Kasmudi menepikan kendaraan adalah karena bendungan yang di atasnya ada jalan yang bisa dilewati sepeda motor ini merupakan sebuah bangunan peninggalan Belanda. Berharap melihat sesuatu yang menarik di sana, sebagaimana yang saya lihat di Bendungan Pice, dan Bendungan Pintu Air Sepuluh yang kondisinya masih lumayan baik.
Setelah berjalan sekitar 90 meter dari tepi jalan (karena saat itu jalan yang bisa dilewati mobil sedang ditutup), sampailah saya di tepi Bendungan Jembatan Tambak Lulang Ploso. Kesan pertama ketika melihatnya adalah bahwa bendungan ini kondisinya tidak sebaik kedua bendung yang saya sebut di atas. Selain debit air sungainya yang saat itu sangat kecil, bendung ini juga sudah memerlukan perawatan.
Pemandangan pada bagian bawah Bendungan Jembatan Tambak Lulang Ploso Kudus dengan air yang nyaris kering di bentang badan Kali Gelis yang cukup lebar ini. Saat itu musim penghujan memang belum tiba, dan air yang sedikit itu dialirkan ke saluran irigasi secara bergilir agar semua sawah dan ladang bisa kebagian.
Peran bendungan di musim kering, sepanjang masih ada aliran air, bisa lebih merepotkan dibandingkan ketika musim hujan tiba, dan bisa menjadi pemicu sengketa diantara para pemilik lahan pertanian jika saja dikelola dengan buruk.
Setidaknya ada empat pilar kokoh yang selain menjadi tulang punggung beton bendung juga menjadi penyangga jembatan yang menjadi lalu lalang sepeda motor, sepeda onthel dan lintasan orang berjalan kaki. Padatnya rumah penduduk di sekitar bendung membuat area ini terasa sumpek, meskipun jika melihat ke arah hilir masih lumayan hijau pemandangannya.
Tujuan pemerintah Kolonial Belanda membangun dan memperbaiki pengairan dan bendungan sebenarnya merupakan bagian dari Politik Etis. Namun pada kenyataanya banyak terjadi penyimpangan, karena saluran irigasi itu hanya ditujukan kepada tanah-tanah subur milik perkebunan swasta Belanda.
Pemandangan di bagian atas Bendungan Jembatan Tambak Lulang Ploso Kudus saat tiga pengendara sepeda motor dan seorang pengendara sepeda onthel di belakang sana tengah melintas. Jalan yang sempit di atas bendung ini membuat orang harus bergantian melintas ketika menyeberang karena tak ada ruang cukup untuk berpapasan.
Hal itu bukannya tidak sengaja dilakukan, karena selain bisa menghemat anggaran dalam pembangunan bendungan, jalan yang sempit juga dimaksudkan untuk membatasi beban total dalam waktu bersamaan yang harus dipikul oleh badan bendungan ketika kendaran dan orang lewat di atasnya.
Endapan tanah di bagian atas bendungan tampak sudah hampir sama dengan tinggi bendungan. Kedalaman air di atas bendungan ini mestinya sama dengan yang ada di bawahnya. Jika pun ditinggikan dasarnya maka mestinya tidak akan setinggi beton bendung. Kondisi seperti ini bisa menjadi indikasi kurangnya perhatian pemerintah setempat dalam memelihara sistem irigasi.
Menurut catatan, Bendungan Jembatan Tambak Lulang Ploso Kudus ini dibangun pada tahun 1919, dan ketika itu dikenal sebagai Stuw Ploso atau Pintu Air Ploso. Penamaan itu selain soal bahasa kolonial yang lazim dipakai saat itu tentu mengacu pula pada lokasi dimana bendungan dibangun, untuk memudahkan dalam penyimpanan di ingatan.
Konon dahulu masyarakat yang tinggal di sekitar bendungan banyak yang bekerja sebagai jagal kerbau, karenanya mereka sering yang membakar kulit kerbau (lulang) di sana. Oleh sebab itulah Pintu Air Ploso kemudian lebih dikenal sebagai Bendungan Jembatan Tambak Lulang Ploso. Jembatan yang sebelumnya dari kayu kabarnya baru dicor pada tahun 1996.
Dua pengendara sepeda motor yang sebelumnya menunggu giliran, tampak tengah menyeberang di atas jembatan. Di ujung kiri terlihat struktur beton pintu air dengan roda-roda gigi di atasnya. Dengan penampakannya yang tak begitu meyakinkan, saya tak ingat benar apakah pintu air itu masih bekerja dengan baik.
Sebuah foto sempat saya ambil yang memberi pandangan pada pintu air di bagian atas dan genangan air pada saluran irigasi di bawahnya dimana air dialirkan menuju ke persawahan dan ladang milik penduduk. Sayang sampah kayu dan besi yang ada di sebelah kanan menambah parah pemandangan karena rumput gersang musim kemarau dan tidak adanya kepedulian untuk merawat lingkungan.
Sekitar 25 meter di atas bendung ini ada jembatan yang bisa dilalui oleh kendaraan besar. Namun jembatan yang dibangun pada tahun 1970 rontok bagian ujungnya akibat dihantam banjir pada tahun 2014, sementara jembatan buatan Belanda itu masih kokoh berdiri. Pada pertengahan tahun 2015 jembatan itu dibongkar dan digantikan jembatan baru yang selesai dikerjakan dan digunakan pada bulan Desember tahun yang sama.
Revitalisasi Bendungan Jembatan Tambak Lulang Ploso Kudus tampaknya sudah harus dilakukan, dengan mengeruk endapan tanah di bagian atas bendungan, memperbaiki tebing sungai yang rusak, merawat pintu-pintu air, dan menata lingkungan di sekitar bendungan agar menjadi cantik dan layak kunjung bagi penggemar bangunan lama.
Bendungan Jembatan Tambak Lulang Ploso Kudus
Alamat : Desa Ploso, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus. Lokasi GPS : -6.8190839, 110.8312744, Waze ( smartphone Android dan iOS ). Hotel di Kudus, Hotel Murah di Kudus, Peta Wisata Kudus, Tempat Wisata di Kudus.Diubah: November 16, 2019.Label: Bendungan, Jawa Tengah, Kudus, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.