Perjalanan menarik di sore hari itu ke Pertapaan Begawan Eyang Sakri Rahtawu Kudus boleh dibilang tak begitu lama, setidaknya untuk ukuran luar kota Jakarta yang mulai terkena penyakit macet. Jika berkendara di Jakarta kadang orang butuh waktu 1 jam untuk jarak 1 km, maka hari itu kami butuh kurang dari sejam untuk jarak sekira 20 km.
Kami berkendara dari Colo, setelah sebelumnya berkunjung ke Air Tiga Rasa Rejenu, lewat Jalan Raya Jurang mengarah ke selatan. Sebelum sampai ke Kota Kudus kami belok ke arah barat hingga bertemu Jl Raya Rahtawu dan lalu belok kanan naik lagi ke utara memanjat jalan menuju arah Gunung Wukir Rahtawu dengan titik tertingginya Puncak Songolikur atau Puncak Saptorenggo.
Rahtawu adalah kawasan yang berada di ketinggian sekitar 1.630 mdpl, dengan panorama alam pegunungan yang elok dan udara segar. Bukan hanya itu, Rahtawu juga sangat kaya dengan pertapaan atau petilasan yang mengambil nama tokoh pewayangan, salah satunya adalah Pertapaan Begawan Eyang Sakri ini. Di desa itu juga ada mata air cukup besar, awal dari Kali Gelis.
Pandang samping pada cungkup Pertapaan Begawan Eyang Sakri Rahtawu. Di luar tembok sebelah kanan adalah jalan desa yang semeteran lebih rendah dari cungkup ini. Lokasi cungkup dicapai lewat jalan simpang berkelok menurun keluar ke kanan sekira 100 meter dari jalan utama Rahtawu. Jalan simpang itu berada 40 meter sebelum Balai Desa Rahtawu.
Masyarakat Rahtawu mempercayai bahwa Begawan Eyang Sakri adalah seorang tokoh Jawa kuno yang babat alas atau membuka permukiman pertama kali di wilayah itu dan hidup sebelum Pendawa Lima. Dalam kisah pewayangan, Begawan atau Betara Sakri adalah keturunan keluarga Sapta Arga yang menikah dengan Dewi Sati dari keturunan Arjuna Sasrabahu, dan kemudian menurunkan Pandawa dan Kurawa.
Kisah dalam pewayangan Jawa yang diadaptasi dari cerita Mahabharata dan Ramayana memang pernah sangat lekat dengan kehidupan orang Jawa, dan keberadaan Pertapaan Begawan Eyang Sakri di Rahtawu Kudus ini menjadi salah satu bukti pembumian kisah klasik itu dalam kehidupan keseharian masyarakat, khususnya di daerah Rahtawu dan Kudus pada umumnya.
Ada ruangan di dalam petilasan pertapaan Pertapaan Begawan Eyang Sakri Rahtawu yang sempat saya ambil fotonya. Tulisan pada papan di dekat pintu adalah tata tertib bagi pengunjung, diantaranya mendaftar dan mengisi kas, lapor kepala desa jika tinggal lebih dari 24 jam, tidak berjualan, menjaga kesopanan, dan mengikuti petunjuk juru kunci. Ada pula peringatan untuk menjaga diri dan barang yang dibawa.
Di dalam cungkup petilasan Pertapaan Begawan Eyang Sakri Rahtawu terdapat tempat memanjang di bawah cerobong besar yang dipergunakan khusus untuk membakar dupa dan menyan. Bagian ritual dalam tradisi Jawa ini menghasilkan bau khas untuk membantu menciptakan suasana sakral di tempat olah jiwa seperti ini.
Silsilah Begawan Sakri adalah bermula dari Brahma yang menurunkan Brahmanaraja -> Tritrustra -> Parikenan -> Resi Manumanasa. Yang disebut terakhir menikah dengan Dewi Retnawati yang menurunkan Satrukem (Sakutrem). Selanjutnya Resi Satrukem menikahi Dewi Nilawati dan menurunkan Sakri.
Akan halnya silsilah Dewi Satika, isteri Begawan Sakri, bermula dari Prabu Arjuna Sasrabahu -> Prabu Rurya -> Prabu Partawirya -> Prabu Partanadi -> Prabu Sandela -> Prabu Partawijaya, yang menikah dengan Dewi Sruti menurunkan Dewi Sati dan Partana. Dalam pewayangan, Arjuna Sasrabahu adalah raja Maespati dan dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu.
Kakek Arjuna (Harjuna) Sasrabahu adalah Prabu Heriya, pendiri Kerajaan Maespati. Heriya memiliki adik bernama Resi Wisanggeni yang berputra Suwandagni dan Jamadagni. Suwandagni berputra Sumantri dan Sukasrana (Sukrasana), sedangkan Jamadagni berputra Ramabargawa atau Parasurama. Sumantri kemudian menjadi patih Arjuna Sasrabahu, sepupunya sendiri, dan bergelar Patih Suwanda.
Sukrasana, yang berujud raksasa kerdil, tewas oleh panah yang terlepas secara tak sengaja dari gendewa Sumantri, kakangnya sendiri, yang malu membawanya ke Maespati. Padahal Sukrasana, dengan kesaktiannya, telah memindahkan taman Sriwedari ke Maespati yang membuat Sumantri diterima pengabdiannya oleh Arjuna Sasrabahu. Kelak Sukrasana menjemput kakangnya dengan masuk ke gigi Dasamuka dan menggigit putus leher Sumantri hingga tewas.
Di salah satu ruangan lainnya di dalam cungkup petilasan terdapat sebuah meja rendah dengan buku tamu di atasnya, tikar yang menjadi duduk dan tidur kuncen, serta kotak sumbangan. Untuk tempat seperti ini jauh lebih mudah menemui kuncen pada malam hingga subuh ketimbang pada pagi hari.
Alkisah Sakri memperoleh gelar Batara dari Dewa Indra setelah berjasa menjadi jago kahyangan dan berhasil menumpas Prabu Kunjanakresna dari Manimantaka. Namun ia menolak menikah dengan bidadari mengikuti ayah dan kakek-kakeknya sehingga membuat marah Resi Satrukem, ayahnya.
Sakri diusir dari Padepokan Paremana di salah satu puncak Gunung Sapta Arga. Batari Sakri kemudian menikah dengan Dewi Sati, puteri Prabu Partawijaya dari Kerajaan Gujulaha, setelah dengan senjatanya yang bernama Brahmakadali berhasil membunuh Prabu Sasrasudiki, raja Parangrukma yang marah besar lantaran lamarannya untuk memperisteri Dewi Sati ditolak, dan dengan pasukannya kemudian menyerbu dan mengepung Gujulaha.
Sebelum menjadi kerajaan, Gujulaha adalah pertapaan Resi Wasusarma, orang yang berjasa menyembuhkan kemandulan ayah Prabu Partawijaya sehingga ia bisa lahir ke dunia. Sebelumnya lagi, Prabu Partawirya (kakek buyut Prabu Partawijaya) memindahkan pusat Kerajaan Maespati ke Taman Sriwedari dan menjadi Kerajaan Sriwedari, sebelum akhirnya dipindah ke Gujulaha. Perkawinan Batara Sakri dan Dewi Sati melahirkan Palasara. Palasara menikahi Dewi Durgandini setelah menghilangkan bau amisnya dan memberinya nama Dewi Setyawati.
Setelah Abiyasa lahir, Palasara meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi begawan di Rahtawu, di pegunungan Sapta Arga. Abiyasa mengikuti ayahnya ke Rahtawu, sedangkan Dewi Setyawati menikah lagi dengan Prabu Sentanu, raja Astinapura. Karena matinya Citranggada dan Citrawirya, anak Setyawati dengan Sentanu, Setyawati meminta Abiyasa menikahi janda anaknya, dan lahirlah Destarata yang buta dari Dewi Ambika, dan Pandu yang cacat leher dan bule dari Dewi Ambalika.
Lahir pula Yamawidura yang kakinya timpang dari Datri, seorang dayang. Pandu-lah yang kemudian menggantikan Abiyasa menjadi raja Astina. Pandu menurunkan tiga putra dari Kunti, yaitu Yudistira, Bima, dan Arjuna, dan anak kembar yaitu Nakula dan Sadewa dari Madrim, isteri keduanya. Kelima anaknya dikenal sebagai Pandawa.
Selain Pertapaan Begawan Eyang Sakri, di Rahtawu ada petilasan Narada dan Batara Guru di Jonggring Salaka. Lalu ada petilasan Abiyasa dan Begawan Palasara di Puncak Abiyasa. Petilasan Begawan Manumayasa, Puntadewa, Nakula - Sadewa ada di lereng Puncak Songolikur, dan pertapaan Sang Hyang Wenang ada di puncaknya. Pertapaan Panembahan Ismaya sedikit di bawah puncak. Petilasan Eyang Sakutrem (Satrukem) ada di sendang di kaki sebelah timur Puncak Sangalikur.
Alamat Pertapaan Begawan Eyang Sakri Rahtawu Kudus: Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus. Lokasi GPS : -6.6556508, 110.8637747, Waze ( smartphone Android dan iOS ). Jam buka : sepanjang waktu. Harga tiket masuk : gratis, sumbangan diharapkan. Info Wisata Kudus: Hotel di Kudus, Hotel Murah di Kudus, Peta Wisata Kudus, Tempat Wisata di Kudus.Diubah: November 15, 2019.
Label:
Jawa Tengah,
Kudus,
Petilasan,
Rahtawu,
Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.