Adalah tengara di perempatan jalan Kampung Laweyan yang menuntun kami. Tengara itu tak lepas dari upaya warga Laweyan menghidupkan wisata heritage, selain menghidupkan industri Batik Laweyan, yang didukung penuh oleh pemkot Solo di bawah pemerintahan Jokowi ketika itu.
Kendaraan roda empat harus diparkir di tanah lapang sebelum jembatan, di sebelah kanan sebuah warung sederhana yang menyediakan minuman kopi panas dan berbagai gorengan. Warung ini tampaknya biasa menjadi tempat nongkrong warga. Makam Kyai Ageng Henis ada di seberang jembatan, dicapai dengan melewati halaman Masjid Laweyan.
Kuncen bernama Abdul Azis (58 tahun) yang bertugas sejak 1986 menyapa kami di pendopo. Menurut penuturannya pendopo ini dibangun pada 1745 dan masih dalam kondisi asli. Setelah berbincang sejenak, ia mengantar kami masuk ke area makam, melewati gapura paduraksa ketiga, sampai ke lokasi paling ujung dimana Makam Kyai Ageng Henis berada.
Gapura paduraksa Makam Kyai Ageng Henis Laweyan, dengan tengara nama tempat dan tengara Cagar Budaya yang menempel pada dinding tembok cukup tinggi. Di dalam tembok luar itu terdapat sebuah pendopo dengan beberapa makam di depannya, bersebelahan dengan gapura paduraksa kedua yang memisahkan pendopo dengan area kubur yang luas. | Suwito di samping Makam Kyai Ageng Henis. Suwito adalah suami Aniek Martani, yang berziarah bersama kedua anaknya, dan bertemu kami di makam. Aniek menuturkan bahwa ia berziarah ke makam ini sudah sejak kecil, dibawa neneknya yang masih kerabat keraton. Anak di Jawa umumnya memang diperkenalkan dengan kubur sejak kecil, dan kebiasaan itu dilestarikan. |
Pandangan ke arah Makam Kyai Ageng Henis di ujung kompleks. Ada tiga deret makam yang bentuk jirat kuburnya berbeda dengan makam lain, yang ada di bawah Pohon Nogosari berusia 500 tahun. | Makam bukan hanya tempat peristirahatan terakhir, atau tempat yang masih hidup memberi penghormatan pada yang mati, namun juga menjadi tempat pertemuan saudara dekat dan jauh. |
Pandangan kompleks area kubur dibalik gapura paduraksa ketiga dari sisi Makam Kyai Ageng Henis. Sebelah kiri berwarna keputihan adalah Makam Pangeran Widjil I Kadilangu. Banyak diantara makam ini tak bernama, atau tulisannya sudah tidak terbaca. | Tiga deret makam di bawah Pohon Nogosari, dari kiri ke kanan adalah Makam Nyai Ageng Pandaran isteri pertama Sunan Tembayat, Makam Kyai Ageng Henis, dan Makam Nyai Ageng Pati. Kubur putih di bawahnya adalah Makam GPH Prabuwinoto yang adalah putera bungsu PB IX. |
Makam KGPH Prabuwidjojo, putera sulung PB IX, yang semasa hidupnya rajin bersembahyang Jumat di masjid yang berbeda-beda. Meski tengara bagian atas ditulis dengan aksara Latin namun sudah agak sulit dibaca, sementara di bawahnya ada aksara Jawa yang dimakan cuaca . | Makam KGPH Mangkubumi I. Kubur ini tampak sederhana meski telah berpagar besi. Saya tak faham tentang makam ini. Jika yang dimaksud adalah Pangeran Mangkubumi I adik PB II yang kemudian menjadi Sultan HB I maka makamnya ada di Makam Raja-Raja Mataram Imogiri. |
Makam tanpa keterangan pada nisan ini menarik perhatian lantaran ada tanda seperti bulan sabit berwarna keemasan, yang mungkin adalah tanda permaisuri. Entahlah jika ini yang disebut sebagai Makam Permaisuri PB V. | Tengara di bawah Makam Kyai Ageng Henis tentang pendana perbaikan ketiga makam ini, yaitu KRMH Indro Hadi Ningrat, yang dilakukan pada 26 September 1980. Tempayan batu dan dua buah lingga tampak ada di samping makam. |
Deretan makam tua di luar kompleks utama Makam Kyai Ageng Henis yang kebanyakan tanpa nama, ditumbuhi rerumputan liar. Hanya sedikit makam yang bertahan ratusan tahun. | Kijing dengan nisa bertuliskan aksara Jawa yang merupakan Makam Nyai Ageng Pandanaran. Nama Pandaranan umumnya terdengar merdu dan beraura di telinga orang Jawa. |
Tak ingat benar apa fungsi gentong kecil dan bumbung di sebelahnya. Boleh jadi gentong itu diisi air mawar. Bumbung mungkin untuk menancapkan obor. | Pandangan dekat pada tulisan yang ditoreh di badan kijing Pangeran Widjil I Kadilangu, yang merupakan Pujangga Dhalem PB II - PB III, Surakarta. |
Kyai Ageng Henis adalah putera Ki Ageng Sela, keturunan langsung Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Saking saktinya konon Ki Ageng Sela bisa menangkap petir, yang boleh jadi sebuah kiasan. Menurut Babad Jawa versi Mangkunegaran, Ki Ageng Sela menikah dengan Nyai Bicak putri Ki Ageng Ngerang dan memiliki 6 puteri serta satu putera bungsunya, yaitu Kyai Ageng Henis.
Semasa hidupnya, Kyai Ageng Henis memiliki dua putera yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Karatongan. Pemanahan menikah dengan sepupunya bernama Nyai Sabinah (adik Ki Juru Martani) dan mempunyai 26 putra-putri. Sulungnya bernama Adipati Manduranegara, dan putera kedua adalah Sutawijaya yang kemudian menjadi Raja Mataram pertama bergelar Panembahan Senopati.
Dalam kisah fiksi berlatar sejarah 'Nagasasra dan Sabuk Inten' karya SH Mintardja, diceritakan bahwa masa kecil Mahesa Jenar dilalui sebagai teman bermain Nis atau Ki Ageng Sela Enom. Nis itu kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Ngenis atau Henis. Mahesa Jenar kemudian mendapatkan bisa ular Gundala Seta dari Ki Ageng Sela, ayah Ki Ageng Henis, yang membuatnya kebal terhadap segala macam racun.
Diantara makam tua di kompleks Makam Kyai Ageng Henis ada Makam Pangeran Widjil I Kadilangu, Pujangga Dalem Susuhunan Pakubuwana (PB) II - PB III yang disebut memprakarsai pindahnya Keraton Kartasura ke Surakarta setelah peristiwa Geger Pecinan yang dipimpin Raden Mas Garendhi atau Sunan Kuning dan mengakibatkan hancurnya bangunan Keraton Kartasura.
Di sebelah kiri jirat kubur Ki Ageng Henis adalah Makam Nyai Ageng Pandaran (Nyai Ageng Rakitan), isteri pertama Ki Ageng Pandanaran (Sunan Tembayat). Sedangkan di sebelah kanannya adalah Makam Nyai Ageng Pati, isteri Ki Penjawi. Ki Panjawi adalah keturunan ke-5 dari Bhre Kertabhumi. Kubur putih di sebelah kanannya lagi adalah Makam GPH Prabuwinoto, putera bungsu PB IX. Ki Ageng Pemanahan, Ki Juru Martani dan Ki Penjawi berperan penting dalam meneguhkan kekuasaan Sultan Hadiwijaya di Pajang, dan kemudian membuka jalan bagi berdirinya Mataram di bawah Panembahan Senopati.
Panembahan Senopati menikahi 3 istri yang melahirkan 14 anak, yaitu Ratu Pambayun, Pangeran Ronggo Samudra (Adipati Pati), Pangeran Puger (Adipati Demak), Pangeran Teposono, Pangeran Purbaya, Pangeran Rio Manggala, Pangeran Adipati Jayaraga, Panembahan Seda ing Krapyak (Sultan Mataram ke 2, 1601-1613), Gusti Raden Ayu Demang Tanpa Nangkil, Gusti Raden Ayu Wiramantri, Pangeran Adipati Pringgoloyo I (Bupati Madiun, 1595-1601), Pangeran Djuminah (Bupati Madiun, 1601-1613), Pangeran Adipati Martoloyo (Bupati Madiun 1613-1645), dan Pangeran Tanpa Nangkil.
Sedikit jauh di sebelah kanan lagi ada Makam KGPH Prabuwidjojo (sulung PB IX), dan Makam KGPH Mangkubumi I. Makam lainnya adalah Makam PB II, Makam Permaisuri PB V, Makam Dalang Keraton Kasunanan Surakarta yang konon pernah diundang oleh Nyi Roro Kidul, dan Makam Kyai Ageng Proboyekso yang konon adalah jin dari Laut Utara.
Sebenarnya Ki Ageng Henis masih terbilang leluhur dari pihak ayah. Silsilah yang dibuat ayah saat masih sebagai pegawai menengah Kantor Asisten Wedana Gebang pada 1946, menjadikan ayah adalah keturunan ke-12 dari Ki Ageng Henis, melalui Ki Ageng Pemanahan -> Panembahan Senapati -> Panembahan Seda ing Krapyak -> Pangeran Bumidirjo -> Kyai Bekel (Lurah Lundong Kebumen) -> Kyai Ragil -> Kyai Hanggayuda (Demang Kutowinagun Kebumen) -> KRT Aroeng Binang I (Kentol Soerawidjaja) -> RB Wangsadikrama (Penewu Surakarta) -> RB Soemodiwirjo -> R. Hoedawikarta (Penatus Masaran).
Tak jelas apakah faktor keturunan itu, selain pendidikannya, yang membuat ayah yang lahir di Masaran pada tahun 1910 itu kemudian menjadi Asisten Wedana (Camat) di Pagentan, Asisten Wedana di Purwonegoro, Asisten Wedana di Klampok, dan terakhir sebagai Wedana di Jatinom Klaten sebelum pensiun pada 1967 yang membuat kami semua pindah ke Purwokerto.
Duduk ndeprok di area dekat Makam Kyai Ageng Henis Laweyan ini terasa ada keteduhan dan kenyamanan. Semua makam di balik gapura ketiga adalah para kerabat dekat Keraton Kasunanan Solo. Dulu, menurut kuncen, untuk melewati gapura ke-2 para peziarah harus mencuci kaki. Ada baiknya kebiasaan itu dihidupkan kembali untuk menghargai leluhur.
Baik pula jika peziarah mengenakan kain batik, dipakai seperti sarung, yang disediakan kuncen. Para pengrajin Kampung Batik Laweyan bisa bergotong royong untuk merancang dan menyediakannya, dan diganti setiap 4 tahun bersamaan dengan perayaan bersih-bersih. Dengan demikian selain sebagai penghormatan, budaya Jawa juga bisa dihidupkan.
Makam Kyai Ageng Henis
Dusun Belukan, Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, Solo. Lokasi GPS : -7.57149, 110.79231, Waze. Rujukan : Hotel di Solo, Tempat Wisata di Solo, Peta Wisata Solo.Diubah: Desember 05, 2024.Label: Jawa Tengah, Laweyan, Makam, Solo, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.