Makam Pangeran Bumidirjo Kebumen

Gang masuk ke Makam Pangeran Bumidirjo berada di Jl Raya Lundong, Kutowinangun. Sangat dekat dengan Makam Aroeng Binang, tak lebih dari 750 meter. Namun karena waktu sudah menunjukkan hampir maghrib saat meninggalkan Makam Aroeng Binang, maka makam Makam Pangeran Bumidirjo ini baru saya kunjungi pada pagi berikutnya.

Di pertigaan Tugu Kutowinangun kami membelokkan kendaraan ke arah sebelah kiri jalan, dan lalu belok kanan di pertigaan selewat sebuah masjid, dan saat bertemu sebuah perempatan kami berbelok ke arah kiri lagi. Setelah belakangan melihat peta, sebenarnya lebih sederhana baru belok ke kiri pada pertigaan setelah Tugu Kutowinangun, lalu tinggal lurus saja. Beberapa saat kemudian kami menyeberang rel kereta api selewat SMK Muhammadiyah Kutowinangun, dan 150 meter kemudian mengikuti jalan menyerong ke kanan dan lanjut jalan sejajar sungai. Gang masuk kiri ke Makam Pangeran Bumidirjo berada 150 meter setelah MAN Kutowinangun, dengan papan petunjuk di tepi jalan.

Masuk ke dalam gang sekitar 150 meter sampailah kami ke tempat parkir Makam Pangeran Bumidirjo, di depan sebuah musholla berukuran 5 x 7,5 meter yang dibangun pada 2012 oleh prajurit TNI dari Kodim 0709 Kebumen bersama masyarakat setempat. Musholla dibangun di atas tanah wakaf Arif Ruslan, dan atas inisiatif Komandan Kodim 0709 Kebumen, Letkol Inf Dany Rakca Andalasawan SAP.

makam pangeran bumidirjo

Cungkup Makam Pangeran Bumidirjo terlihat di ujung jalan semen yang berawal di area parkir kendaraan yang berada di depan sebuah musholla. Di awal jalan ini terdapat tengara Benda Cagar Budaya Makam Bumidirjo yang dibuat sebuah dinas di Pemerintah Kabupaten Kebumen.

Makam Pangeran Bumidirjo setiap bulan Januari diziarahi oleh jajaran Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen. Selain karena menjadi leluhur bupati pertama Kabupaten Kebumen hingga bupati berikutnya sampai Jepang datang, nama Kebumen juga berasal dari Kebumian, area yang menjadi tempat tinggal Kyai Bumi atau Pangeran Bumidirjo.


Selagi Bambang Supriadi (081932500909) dari Alif Trans Kebumen berjalan kaki mencoba peruntungan untuk mencari lokasi rumah kuncen, saya berjalan menuju ke arah cungkup makam, melewati sejumlah kubur yang kelihatan sudah berumur tua. Pepohonan perdu yang ditanam di kiri kanan jalan memberi pemandangan lumayan asri.

Di bagian depan cungkup terdapat teras beratap cukup bersih dan lumayan enak untuk duduk selagi saya menunggu kedatangan kuncen makam. Tak lama kemudian datanglah Munasir (56 tahun), kuncen makam yang bertubuh tambun. Setelah pintu makam dibuka olehnya, saya pun masuk ke ruang makam.

Pangeran Bumidirjo adalah putera ke-5 Panembahan Sedakrapyak, raja kedua Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1601-1613. Panembahan Sedakrapyak adalah anak sulung Panembahan Senopati. Sedangkan Aroeng Binang I atau Joko Sangkrib adalah cucu canggah Pangeran Bumidirjo.

Jalan setapak di depan makam dibuat pada jaman Amin Sudibyo, sebelum Rustriningsih. Sedangkan yang melapis aspal pada gang masuk adalah dari Pemda yang sekarang, baru dilakukan bulan puasa yang lalu. Selesai dikerjakan dalam waktu hanya setengah hari. Nasir mengaku hanya sekali ia mendapatkan honor Rp. 400.000 dari dinas pariwisata / purbakala Jawa Tengah, selebihnya hanya bergantung pada pemberian sukarela para peziarah.

makam pangeran bumidirjo

Kijing Makam Pangeran Bumidirjo kakung putri terletak bersebelahan di sudut kiri ruangan. Foto ini saya ambil setelah terlebih dahulu membersihkan kijing yang berdebu tebal, serta menyapu lantainya yang kotor. Munasir beralasan bahwa ia takut salah jika membersihkan kijing.

Menjadi kuncen perlu pengabdian, yang dengan itu akan membuat kaki tangan terasa ringan buat menjaga dan merawat makam agar tetap bersih, meski tanpa imbalan pantas. Tanpa pengabdian maka hanya uang dan pengawasan yang bisa membuat kuncen bekerja baik. Untuk memperingan perawatan, baiknya dinding cungkup separuh ke atas ditutup kaca, agar debu tidak masuk dan cahaya ke dalam ruangan tetap melimpah.

Tulisan pada permukaan kijing sebelah kiri berbunyi "K.P.A. Bumidirdjo, Mangkubumi II" dan tulisan pada kijing di sebelahnya berbunyi sama hanya kedua baris tulisannya dibuat mendatar. Lupa tak saya tanyakan kenapa tak ada tambahan huruf Nyai di sana.

Dekat pintu terdapat lukisan foto Pangeran Bumidirjo dengan ubengan putih, berjenggot, dan berpakaian putih. Menurut Nasir yang membawa lukisan itu adalah adik HB X yang berbadan besar kehitaman, dan wafat belum lama ini. Yang dimaksud Nasir tampaknya GBPH Joyokusumo, yang wafat pada 31 Desember 2013 lalu. Gusti Joyo dikenal sebagai ningrat yang dekat dengan rakyat dan hidup sederhana.

Makam Pangeran Bumidirjo mulai dipugar pada 1985, sewaktu kuncennya mbah Puji, sepupu kakeknya Munasir. Semula hanya dikelilingi pagar bambu, belum ada cungkup. Pembuatan teras dan cungkup dilakukan pada jaman Rustiriningsih karena kebetulan saat ia berziarah hujan gerimis turun dan tak ada tempat berteduh. Pemugaran dilakukan pada 2003, selesai 2004, dengan tenaga sukarela dan semua bahan berasal dari sumbangan masyarakat, termasuk bahan pangan untuk keperluan selamatan.
Ada tiga makam lainnya di dalam cungkup. Ketiga kijing makam pengikut Pangeran Bumidirjo ini letaknya berdekatan, berjejer dekat tembok depan cungkup, terpisah agak jauh dari kijing Makam Pangeran Bumidirjo.

Di samping belakang kanan terdapat dua makam berjejer bertulis Ki Bumi dan Nyi Lundong, yang menurut Nasir adalah makam orang yang membabat alas Lundong. Menurut Munasir di halaman makam dulu ada pohon Trembesi yang batangnya sepelukan 3 orang, ada pula Pohon Aga yang besar batangnya sepelukan empat orang. Dulu tempat ini juga sangat wingit dan angker. Penghuninya ada macan loreng, macan putih, kutut Majapahit, kera putih, ada ada pula dua naga.

Babad Aroeng Binang menceritakan bahwa setelah Sultan Agung Hanyokrokusuma lengser, putranya yaitu Pangeran Adipati Anom naik tahta bergelar Sinuhun Mangkurat (Amangkurat I). Dikisahkan bahwa cara memerintahnya tidak lurus, memberikan hukuman kurang adil. Banyak rakyat menerima hukuman tidak sepadan dengan dosanya.

Pamannya, Pangeran Bumidirjo, yang berkehendak menjaga keluhuran raja dan terdorong oleh rasa kasihannya kepada rakyat jelata kerap mengingatkan Sinuhun, namun tidak didengar, dan bahkan membuat raja marah. Karena tidak ingin lebih lama lagi melihat perbuatan raja yang tidak sesuai dengan hati dan pikirannya, maka pada suatu malam dengan hanya ditemani oleh sang istri, Pangeran Bumidirjo pergi meninggalkan keraton.

Sesampainya di Bagelen ia bertemu begal bernama Jasamudra dan Trunasamudra. Pangeran Bumidirjo memberikan uang dua semat (ringgit), namun mereka memaksa meminta semua yang dibawa, sehingga terjadi pertempuran. Kedua begal dapat dikalahkan Pangeran Bumidirjo. Mereka meminta maaf dan berjanji untuk tidak membegal lagi.

Bumidirjo melanjutkan perjalanan hingga sampai ke suatu tempat di wilayah Dusun Panjer. Tanah di sekitarnya bagus dan airnya berlimpah. Dari mulai sedikit, grumbul hutan dibuka dan dijadikan tegalan serta sawah. Banyak orang di sekitarnya kemudian ikut membabad alas sehingga tidak sampai tahunan tempat itu telah menjadi ramai. Agar mudah bergaul dengan masyarakat maka Pangeran Bumidirjo meninggalkan gelar dan nama aslinya, dan menggunakan nama Kyai Bumi. Namun di sana waktu itu orang-orang kecil masih takut dan rikuh, tidak mau duduk berdekatan.

Karena khawatir terbuka rahasianya, pada suatu malam Bumidirjo dan istrinya pergi lagi tanpa tujuan pasti hingga sampai ke Dusun Lerep, dan melihat tanah di sana bagus, imbang dengan yang ada di Panjer. Setelah tinggal di sana, sebentar saja tempat itu menjadi ramai, karena orang-orang dari pedusunan yang jauh memerlukan pindah karena mendengar kabar bahwa di Lerep ada orang yang mumpuni.

Hal itu malah tidak membuat nyaman Kyai Bumi karena khawatir beritanya sampai ke Mataram. Karena itu suatu malam ia pergi lagi mencari tempat yang orang-orangnya kurang mengindahkan tatakrama dan senang bergaul. Akhirnya ia menemukan Dusun Karang yang orang-orangnya memiliki watak seperti yang ia inginkan, ditandai dengan sebutan "dhi" (Adhi, Adik), "kang", dan seterusnya.

Di sana pikiran Kyai Bumi baru tenteram, dan seterusnya menjalani hidup sebagai petani biasa. Saat siang ia bekerja di tegalan dan sawah, bila malam mendekatkan diri pada yang Mahakuasa agar mendapatkan kebaikan dengan hidup yang dijalaninya.

Kerajaan Mataram sepeninggal Pangeran Bumidirjo terlihat suram. Kawula besar dan kecil merasa bingung, seperti naik kapal kehilangan jurumudi. Yang demikian itu diketahui sang Prabu, sehingga lalu mengirimkan utusan bernama Wirasasri dan Wirayuda mencari sang paman, dan memintanya pulang.

Setelah berbulan-bulan mencari sampailah mereka di tanah Bagelen, niatnya mau istirahat sebentar. Melihat orang sedang duduk-duduk merokok, mereka mendekat untuk meminta api. Ketika ditanya, orang desa menjawab bahwa tempat itu bernama Karang Kebumen dan dibuka oleh orang yang bicaranya bandhek yang mereka duga asal Mataram. (Bahasa Jawa Kebumen sama dengan bahasa Jawa Banyumas, ngapak).

Singkat cerita kedua utusan diantar ke rumah Kyai Bumi. Saat itu Kyai Bumi sedang dikerumuni tetangga sekitar. Setelah melihat bahwa benar itu gustinya, tak sabar utusan itupun menyibak kerumunan orang dan langsung memeluk kaki Kyai Bumi sambil menangis. Orang-orang dusun melongo setengah takut, dan satu persatu pergi.

Setelah tenang kedua utusan menyampaikan maksud kedatangannya, namun Pangeran Bumidirjo tak mau kembali ke keraton, sehingga akhirnya kedua utusan memilih menetap di dukuh itu, karena jika pulang ke Mataram pun akan dihukum. Sebelum utusan datang, orang-orang di Karang Kebumen dan di kanan kirinya sudah menghormati Kyai Bumi, malah dibuatkan rumah besar. Banyak yang mengirim hasil bumi kepadanya, namun ditolaknya. Ia terus melakukan tirakat, dan meminta jika wafat dimakamkan di Dusun Lundong, dan kedua utusan juga meminta dikubur kumpul disana.

Saat itu Kyai Bumi sudah berputra empat bernama Kyai Gusti (RT Wongsodirdjo), Kyai Bagus (R. Lurah Wirobumi), Nyai Ageng (menjadi isteri Kyai Wergonoyo di Wawar), dan Kyai Bekel (Kyai Panji Prawirobumi). Namun semuanya sudah menanggalkan kewibawaan keraton dan hidup biasa secara orang dusun. Pesan Kyai Bumi kepada putra-putranya adalah tidak boleh menyebut nama sebenarnya dengan Raden Mas atau Raden. Lebih baik dipanggil kyai saja.

Catatan dari mbak Emma Mastoeti, Kyai Bekel mempunyau putera Kyai Wuragil (Kyai Ragil, Kyai Kenthol Wuragil) yang dimakamkan di Bayat Klaten, Kyai Tumenggung Jayanegara (Puspanegara), Nyai Wirotanu (Wongsodjojo I, Wonoyudo Hinggil, menurunkan keluarga Wonoyudo), dan RM Bumidirdjo yang menurunkan R Tumenggung Jayasundarga I dst.

Sinuhun akhirnya mendengar bahwa kedua utusan dan sang paman sudah tinggal di Dusun Karang Kebumen dan menjalani hidup sebagai petani. Lalu mengutus abdi bernama Udakara dan Surakarti mengantarkan jemputan yang dipanggul oleh enam orang. Namun Pangeran Bumidirjo tetap tidak mau. Udakara dan Surakarti pun tidak mau kembali lagi ke Mataram, hanya kuda serta tandu yang kembali ke Mataram.

Kyai Bumi tetap tinggal di Dusun Karang Kebumen sampai wafatnya, dan dimakamkan di Dusun Lundong. Kehidupan orang di tempat itu tidak berubah seperti sewaktu Kyai Bumi masih hidup. Setelah wafatnya Kyai Bumi, yang mengganti menjadi sesepuh dusun adalah Kyai Bekel. Setelah Kyai Bekel wafat, Kyai Ragil menggantikannya. Kyai Ragil adalah sesepuh terakhir di Karang Kebumen, karena putranya yang bernama Kyai Hanggayuda menjadi demang di Kutowinangun.

Cerita di dalam Babad Aroeng Binang kemudian berlanjut pada kehidupan anak Kyai Hanggayuda bernama Joko Sangkrib, nama muda Aroeng Binang I, yang bisa dibaca dalam tulisan Makam Aroeng Binang.


Makam Pangeran Bumidirjo Kutowinangun Kebumen

Alamat: Desa Karangrejo, Kecamatan Kutowinangun, Kebumen. Lokasi GPS : -7.71296, 109.73854, Waze. Hotel di Kebumen, Tempat Wisata di Kebumen, Peta Wisata Kebumen.

Diubah: Desember 30, 2019.
Label: Aroeng Binang, Jawa Tengah, Kebumen, Makam, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.

aroengbinang,
seorang penyusur jalan.
Traktir BA? Scan GoPay, atau via Paypal. GBU.
« Baru© 2004 - IkutiLama »