Letak dukuh Kedung Paruk sekitar 4-5 meter lebih tinggi dari Desa Mersi, sehingga untuk mencapainya orang harus melewati tanjakan tajam selewat jembatan Kali Wetan, kali selebar 3 meter yang ketika masih di SD saya sering nyebur ke dalamnya untuk bermain kunclungan. Kunclungan dilakukan dengan berdiri melawan arus sungai, menyorongkan tangan kanan dengan telapak telentang dan memutarnya secara cepat ketika masuk ke dalam air menciptakan bunyi "clung", dan lalu menepuk permukaan air dengan tangan kanan tengkurap membuat bunyi "plak".
Selanjutnya tangan kanan dan kiri secara bersamaan menyapu menyilang di dalam air dengan tangan kanan berada sedikit di atas tangan kiri, menciptakan bunyi berat "bleng". Bunyi ritmis "clung plak clung bleng" itu kemudian ditimpa oleh bunyi kunclungan yang diciptakan orang kedua dan ketiga sehingga menjadi orkestra air yang sedap didengar. "Clung plak clung bleng, clung plak clung bleng, plak kunclung plak blang kunclung bleng bleng, kunclung gumak kubleng kubleng...".
mBah Dul Malik, demikian kami menyebutnya, adalah pakde mendiang Ibu saya, atau abang seayah dan seibu mBah Dul Jamil putri. Meskipun lebih tua, namun mbah Dul Malik berumur jauh lebih panjang, mencapai 100 tahun, sehingga saya masih cukup sering bertemu dengannya, terutama saat berlebaran.
Makam mas Said dan makam mas Dul Qodir yang berada di sisi depan cungkup makam Makam Kyai Haji Abdul Malik Kedung Paruk. Setelah mBah Malik meninggal pada 17 April 1980 dalam usia 99 tahun, yang meneruskan menjadi kyai di Kedung Paruk adalah mas Dul Qadir (KH Abdul Qadir, cucu laki-laki tertua).
Ketika mas Dul Qadir meninggal pada 19 Maret 2002 dalam usia 60 tahun, tanggung jawab pondok dilanjutkan oleh mas Said (KH Said Alatas, adik mas Dul Qadir) namun hanya berlangsung 2 tahun karena ia meninggal pada 3 Juli 2004 dalam usia 53 tahun.
Sejak saat itulah KH Muhammad Ilyas Noor (mas Muh, adik mas Said) yang memegang pimpinan pondok, sampai ia wafat beberapa tahun lalu, hanya beberapa hari setelah saya secara kebetulan bertemu dengannya di Kedung Paruk saat saya ziarah ke kubur ibu dan ia bersama Yu Min, isterinya, sudah hendak naik mobil untuk pergi ke Jakarta.
Semula mas Muh akan dimakamkan diantara mas Said dan mas Dul Qadir, namun atas petunjuk Habib Luthfi Pekalongan maka jasad Mas Muh akhirnya dikubur di ruangan utama bagian dalam bersama mbah Malik, mbah Malik putri, dan bude Chaeriyah ibundanya. Habib Luthfi pula yang ditunggu petunjuknya oleh keluarga dalam menentukan siapa yang menjadi pengganti mas Muh untuk memimpin Pesantren Bani Malik Kedung Paruk.
Semasa mudanya mas Said adalah teman karib mas Bambang Sumitro, abang kandung saya. Mas Said bukanlah orang yang mudah, namun sependek ingatan ia sangat menaruh hormat pada mendiang ayah saya dan sering datang ke rumah kami untuk berdiskusi. Sementara saya lebih dekat dengan mas Muh yang seumuran mas Bambang, dan saya sering dibonceng naik sepeda ketika ia mendekor janur untuk acara kawinan di kampung sebelah.
Ketika saya sunat, mas Muh pula yang mengajak teman-temannya untuk bermain band di rumah kami, menggunakan aki karena saat itu listrik belum masuk ke kampung kami. Satu tontonan yang masih langka saat itu. Setelah lulus kuliah dan pindah ke Jakarta di akhir tahun 1985 untuk mencari kerja, di rumah mas Muh pula saya tinggal selama beberapa bulan sebelum ngekost setelah bekerja.
Roni, salah satu keponakan saya tengah duduk berkhidmat di depan Makam mbah Malik yang dibungkus marmar dua tingkat dan nisannya dibungkus kain mori putih. Di dalam ruang yang sama ada makam mBah Malik putri, serta makam bude Chaeriyah, anak satu-satunya mbah Malik. Saya lebih sering ke rumah bude Chaeriyah untuk berbagai keperluan ketimbang ke Kedung Paruk untuk bertemu mbah Malik. Jika ke rumah bude Chaeriyah saya sering pergi sendirian, namun ke mbah Malik hampir selalu bersama mendiang ibu.
Suguhan teh dan gula batu dalam gelas-gelas kecil merupakan kenangan berkesan ketika kami sowan ke mbah Malik, selain suguhan tawa dan senyum yang nyaris tak pernah lepas dari wajahnya. Tradisi itu diteruskan sampai sekarang.
KH Abdul Malik adalah keturunan Pangeran Diponegoro, melalui KH Muhammad Ilyas, KH RM Ali Dipawangsa, dan Pengeran Diponegoro II. Ia lahir di Kedung Paruk pada 3 Rajab 1294 H dengan nama Ash’ad, dan menjadi Muhammad Abdul Malik setelah sepulang haji pertama. Kelahiran itu konversinya ke tahun Masehi adalah Sabtu Legi 14 Juli 1877 (bukan Jumat 1881), yang artinya ia meninggal dalam usia 103 tahun.
Saya sempat mengambil foto lain di ruang utama Makam Kyai Haji Abdul Malik Kedung Paruk yang memperlihatkan jirat kubur mbah Malik putri dan jirat kubur Bude Chairiyah. Foto ini diambil beberapa tahun sebelum mas Muh atau KH Muhammad Ilyas Noor wafat. Makam mas Muh berada diantara makam mendiang ibunda dan neneknya itu.
Sejumlah tulisan menempel pada dinding luar cungkup Makam Kyai Haji Abdul Malik. Di samping kanannya adalah tempat masuk ke makam yang dikhususkan untuk pria, hanya jika banyak peziarah datang pada saat yang bersamaan. Di sebelah kiri adalah area terbuka dengan beberapa makam keluarga, termasuk makam ibu saya ada di sana.
Maklumat yang ditulis dengan huruf warna putih pada dasar hitam itu menyebutkan agar orang tidak berziarah ke makam pada waktu awal shalat-shalat fardhu. Tidak juga diperbolehkan berziarah antara Maghrib dan 'Isya, atau hari Selasa dan Jumat pukul 12.00 s/d 13.00 ketika di masjid sedang berlangsung tawajjuhan.
Peziarah juga tidak diperbolehkan shalat di makam, tidur di makam, atau berlama-lama di makam. Selain diminta untuk menjaga kebersihan, peziarah juga diminta untuk tidak mengambil apa pun yang ada di makam, termasuk kerikil atau benda lainnya.
Sedangkan tulisan di sebelah kiri adalah ajakan dari mendiang Kyai Haji Muhammad Ilyas Noor kepada peziarah untuk ambil bagian dalam "Proyek Aku Melu", untuk ikut menyumbang dalam pembangunan gedung Madrasah Ibtidaiyyah dan Tsanawiyyah yang dibangun di atas tanah seluas 1400 m2 di sebelah timur pondok.
mBah Dul Malik yang saya kenal adalah pribadi sangat ramah dan bukan hanya senang menerima tamu dan murid-muridnya di rumahnya di Kedung Paruk, namun meski sudah mulai sepuh ia masih sering bepergian dengan naik sepeda untuk berkunjung menemui orang-orang, termasuk cukup sering mampir ke rumah saya untuk berbincang dengan mendiang ayah.
Sebelum berangkat ke Mekah pada usia 18 tahun, mBah Dul Malik berguru kepada KH Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas), Kyai Muhammad Sholeh bin Umar Darat Semarang, Sayyid Habib Ahmad Fad'aq, Habib 'Aththas Abu Bakar al-Atthas, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi Surabaya, dan Sayyid Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas Bogor.
Di Mekah ia belajar berbagai ilmu agama dan tasawuf, diantaranya ke Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-Tirmisi al-Jawi, Umar as-Syatha' dan Muhammad Syatha' yaitu ulama besar di Mekah dan Imam Masjidil Haram, serta kepada Alwi Syihab bin Shalih bin Aqil bin Yahya. Di Madinah mBah Malik belajar kepada Sayid Ahmad bin Muhammad Amin Ridwan, Sayid Abbas bin Muhammad Amin Ridwan, Sayid Abbas Al Maliki Al-Hasani (kakek Sayid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al-Hasani), Sayid Ahmad An-Nahrawi Al Makki, serta Sayid Ali Ridha.
Sesudah 15 tahun mukim di Mekah mBah Malik pulang ke Sokaraja, lima tahun sebelum sang ayah KH RM Muhammad Ilyas wafat. Dari sang ayah ia mendapat sanad Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah, sedangkan sanad Thoriqah Sadzaliyah ia peroleh dari Sayyid Ahmad Nahrawi Al-Makki di Mekkah. Kabarnya mBah Malik mengamalkan lebih dari 12 thariqah, namun hanya 4 yang diturunkan, yaitu naqsyabandi al-khalidi, syadziliyah, qairiyah naqsyabandiyah dan alawiyah.
Setelah sempat berkeliling ke Semarang, Pekalongan, dan Yogyakarta dengan berjalan kaki yang selesai pada seratus hari peringatan wafatnya sang ayah, ia kemudian menetap di Kedung Paruk bersama sang ibu, Siti Zaenab binti Maseh bin KH Abdussamad (Mbah Jombor). Hanya saja sepertinya saya tak sempat mengenal mBah buyut Zainab ini.
Ketika tinggal di Mekah, KH Abdul Malik diangkat oleh pemerintah Arab Saudi sebagai Wakil Mufti Madzhab Syafi'i, dan mendapat kesempatan mengajar berbagai ilmu agama seperti tafsir dan qira'ah sab'ah. Ia juga disediakan rumah tinggal di sekitar Masjidil Haram, dekat Jabal Qubes.
Makam Kyai Haji Abdul Malik Kedung Paruk
Alamat : Dukuh Kedung Paruk, Desa Ledug, Kecamatan Kembaran, Banyumas. Lokasi GPS : -7.422706, 109.268098, Waze. Hotel di Purwokerto, Hotel di Baturraden, Tempat Wisata di Banyumas, Tempat Wisata Kuliner Banyumas, Peta Wisata Banyumas.Sejumlah tulisan menempel pada dinding luar cungkup Makam Kyai Haji Abdul Malik. Di samping kanannya adalah tempat masuk ke makam yang dikhususkan untuk pria, hanya jika banyak peziarah datang pada saat yang bersamaan. Di sebelah kiri adalah area terbuka dengan beberapa makam keluarga, termasuk makam ibu saya ada di sana.
Pandangan ke arah cungkup Makam mBah Malik dari lokasi yang berada tepat di sebelah makam ibu saya.
Ruang Makam mBah Malik dimana juga terdapat makam mBah Malik putri, serta Makam bude Chaeriyah, puteri dan anak mBah Malik satu-satunya. Sejak kami pindah ke Mersi, saya hanya mengenal bude Chaeriyah karena suaminya (pakde Ilyas Noor) sudah lama meninggal dunia.
Sudut pandang lainnya pada makam Mbahk Malik, dengan makam mbah putri berada di sebelah kanannya. Berbeda dengan mbah Malik yang sangat ramah ketika kami berkunjung, mbah putri lebih sering serius dan tak banyak menebar senyum sebagaimana senyum yang selalu menghias wajah mbah Malik.
Diubah: Desember 18, 2024.
Label: Banyumas, Jawa Tengah, Kedung Paruk, Kembaran, Makam, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.