H. Muhammad Ilyas Noor, sepupu saya yang menjadi pemimpin Masjid Kedung Paruk (wafat jelang puasa 2016), mengatakan bahwa masjid yang sekarang ini didirikan KH Abdul Malik, kakeknya, sekitar tahun 1960-an, pindahan dari masjid asli yang didirikan mbah buyut KH Muhammad Ilyas pada 1864.
Masjid dan rumah asli yang letaknya beberapa puluh meter dari masjid yang sekarang telah lama hanyut tergerus oleh hempasan arus Kali Pelus yang dahsyat selama bertahun-tahun. Menurut catatan, KH Muhammad Ilyas sudah menyebarkan ajaran tarekatnya sejak tahun 1880 dari langgarnya di Kedung Paruk yang kini telah lenyap itu.
Ruang utama Masjid Kedung Paruk diberi sekat bercat hijau pupus tepat pada deret tiang-tiang kayunya, memisahkannya dengan ruang samping yang diperuntukkan bagi jamaah wanita. Di sisi sebelah kiri masjid ada pondokan dan tempat mengambil air wudlu di ujung kiri sini.
Dulu sewaktu kecil saya sering mengantar makanan jika ibu sedang mondok di tempat itu yang biasanya berlangsung selama beberapa hari dalam bulan Ramnadhan, meskipun tidak setiap tahun ibu mondok di sana. Jalan ke Makam mbah Malik adalah melalui lorong diantara masjid dan pondok ini.
Bangunan Masjid Kedung Paruk memiliki atap limasan tumpang khas masjid Jawa. Di akhir tahun 60-an, saat kami baru saja pindah ke Mersi dari Jatinom - Klaten, Masjid Kedung Paruk seingat saya sudah sebesar masjid yang ada sekarang ini. Benda peninggalan masjid lama yang masih ada di Masjid Kedung Paruk adalah mustaka, seng menara, dan bedug, keduanya dibuat pada 1864.
Tampak luar Masjid Kedung Paruk dengan atap limasan tumpang khas masjid Jawa. Di sebelah kanan adalah rumah yang secara estafet dihuni oleh kyai penanggung jawab pondok dan masjid, dan saat ini menjadi tempat tinggal KH Muhammad Ilyas Noor, meski ia juga punya rumah dan lembaga pendidikan Islam di Jakarta.
Awalnya rumah yang ditempati oleh mursyid Masjid Kedung Paruk sekarang ini dulunya adalah tempat tinggal Habib Idrus, yang menurut cerita kemudian dihadiahkan kepada Bude Chairiyah, putri dan anak satu-satunya mbah KH Abdul Malik. Barangkali itu adalah sebuah cara bagi sang habib agar membuat nyaman mbah Dul Malik untuk tinggal di sana.
Sebagaimana umumnya masjid jaman dahulu, bentuk bangunannya bisa dikatakan standar, namun tidak bisa disebut sederhana karena sudah menggunakan bahan bangunan yang relatif awet. Luasnya cukup untuk memenuhi kebutuhan jamaah masjid, terutama untuk menampung orang-orang ketika shalat Jumat, dimana lebih banyak orang datang ketimbang di waktu-waktu yang lain.
Sebuah bedug berukuran sedang, serta kentongan yang terbuat dari bambu diletakkan di dalam serambi masjid. Adanya bedug di sebuah masjid bisa memberi petunjuk bahwa pengurus masjid adalah pengikut Sunan Kalijaga, atau setidaknya masih menghargai budaya lokal, tidak meniru mati budaya luar.
Nama resmi Masjid Kedung Paruk adalah Masjid Bahaaul-Haq wa Dhiyaa-ud-Dien, nama yang saya sendiri tak pernah memperhatikannya apalagi mengingatnya. Menyebut Masjid Kedung Paruk jauh lebih sederhana dan mudah. Tidak lama setelah mas Muh (KH Muhammad Ilyas Noor) menggantikan mas Said (KH Said Alatas) sebagai pimpinan di Kedung Paruk, pada 2004 dilakukan renovasi total Masjid Kedung Paruk ini.
Sependek ingatan, sangat jarang jika tak hendak mengakatak hampir tak pernah saya sembahyang di Masjid Kedung Paruk, oleh karena setiap kunjungan ke sana biasanya relatif sangat singkat, dan tidak pernah berbarengan dengan waktu shalat. Lagipula jarak ke rumah sangat dekat, yang ke masjid mbah Dul Jamil hanya berjarak beberapa langkah saja.
Di sebelah kiri masjid adalah pondok yang biasa digunakan oleh santri atau pun jamaah untuk suluk. Suluk atau mondok lazimnya dilakukan pada waktu bulan puasa, hingga sebelum lebaran. Namun bisa juga dilakukan pada hari-hari lainnya.
Selain memperbaiki masjid dan pondok yang berada di sisi kiri masjid, dibangun pula PAUD di seberang kanan masjid, lengkap dengan area bermain anak. Geliat gerak kegiatan Masjid Kedung Paruk memang mulai terlihat lebih cepat setelah dipegang oleh mas Muh.
Saat itu sejumlah santri tampak tengah melakukan wirid setelah selesai sholat maghrib berjamaah. Perputaran udara di dalam ruangan dibantu dengan sepasang kipas angin yang menempel di kiri kanan sekat, serta sebuah lagi di ruang imam. Mimbar untuk khotbah khatib berada di sisi kanan dalam ruang imam yang cukup lebar. Selain tulisan dalam huruf Arab berisi petikan ayat suci, ada ornamen cukup besar pada mimbar yang bentuknya menyerupai lambang kerajaan atau mahkota.
Dalam riwayat disebutkan bahwa seratus hari setelah wafatnya sang ayah, KH Muhammad Ilyas pada 29 Shafar 1334 H (4 Januari 1916), KH Abdul Malik mulai menetap di Kedung Paruk. Namun catatan keluarga menyebutkan bahwa KH Abdul Malik telah memegang kemursyidan sejak empat tahun sebelumnya, yaitu tahun 1912, hingga beliau wafatnya pada 1980.
Masjid Kedung Paruk
Alamat : Dukuh Kedung Paruk, Desa Ledug, Kecamatan Kembaran, Banyumas. Lokasi GPS : -7.422731, 109.268283, Waze. Hotel di Purwokerto, Hotel di Baturraden, Tempat Wisata di Banyumas, Tempat Wisata Kuliner Banyumas, Peta Wisata Banyumas.Tampak luar Masjid Kedung Paruk dengan atap limasan tumpang khas masjid Jawa. Di sebelah kanan adalah rumah yang secara estafet dihuni oleh kyai penanggung jawab pondok dan masjid, dan saat ini menjadi tempat tinggal KH Muhammad Ilyas Noor, meski ia juga punya rumah dan lembaga pendidikan Islam di Jakarta.
Di sebelah kiri masjid adalah pondok yang biasa digunakan oleh santri atau pun jamaah untuk suluk. Suluk atau mondok lazimnya dilakukan pada waktu bulan puasa, hingga sebelum lebaran. Namun bisa juga dilakukan pada hari-hari lainnya.
Bangunan PAUD yang berada di kanan depan Masjid Kedung Paruk, dibangun semasa KH Muhammad Ilyas Noor memimpin masjid ini. Saat ini ia tengah membangun gedung Madrasah Ibtidaiyyah dan Tsanawiyyah di atas tanah seluas 1400 m2 di sebelah timur pondok.
Diubah: Desember 18, 2024.
Label: Banyumas, Jawa Tengah, Kedung Paruk, Kembaran, Masjid, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.