Begitupun saya berterima kasih, dan setuju untuk berkunjung ke tempat itu. Setidaknya ada nama Joko Tingkir, dan siapa tahu akan menarik. Ancar-ancar tempat sudah diperoleh Pak Jum, dan kami menuju ke arah timur setelah keluar di perempatan jalan utama Sangiran.
Beberapa saat kemudian kami belok ke kanan, dan di ujung pengkolan saya turun untuk bertanya arah. Akses ke petilasan rupanya ada di samping rumah orang yang saya tanyai itu, dengan melompat naik ke tanah pekarangan setinggi paha.
Jalan setapak menembus pekarangan itu nyaris tak terlihat, menandakan sudah lama orang tidak melewatinya. Namun saya terus mengayun langkah meski sendirian, karena seperti biasa Pak Jum memilih menunggu di kendaraan.
"Jalan" seperti ini yang saya lewati untuk ke Petilasan Joko Tingkir Sangiran. Jalan setapaknya sudah sangat samar, tertutup alang-alang. Menginjak alang-alang saya tak keberatan, asal tidak bertemu ular. Moga-moga mereka kabur mendengar gemeretak ranting yang saya injak.
Saya melangkah dengan kecepatan lumayan tinggi. Di beberapa bagian jalan hanya ada alang-alang, tak ada lagi yang namanya "jalan setapak". Setelah beberapa menit, akhirnya saya sampai di tanjakan ke puncak bukit. Jika lurus ada tanjakan tajam tanpa undakan, dan jika ke kanan tanjakannya agak landai. Saya memilih yang ke kanan.
Sesampainya di atas bukit, ada sepetak dataran sempit. Tidak ada apa pun di sana kecuali sebatang bambu dengan bendera Merah Putih bertengger di puncaknya. Melihat bendera itu hati saya senang, karena pasti dipasang sebagai penanda tempat. Saya tak tersesat.
Bendera Merah Putih itu, yang merupakan satu-satunya benda menarik di dataran di puncak bukit. Ukuran bendera yang lumayan besar itu diikat pada sebatang bambu yang ukurannya relatif kecil, dengan landasan yang saya kira tak begitu kuat. Meski di atas bukit biasanya mendapat terpaan angin yang lumayan besar, namun bendera itu masih saja tegak dengan megahnya.
Entah siapa yang memasang Bendera Merah Putih itu di sana, karena melihat ukuran benderanya tentulah ia memang punya niat yang bukan ala kadarnya. Tak jelas pula apakah pemasangannya juga terkait dengan keberadaan Petilasan Joko Tingkir. Jika demikian maka mungkin dimaksudkan sebagai tengara. Sejenak melihat berkeliling, saya lalu menengarai ada sebatang pohon tua di bukit yang posisinya lebih tinggi dari dataran dimana bendera berada.
Setelah mendaki bukit yang tak begitu tinggi, saya melihat adanya sebuah reruntuhan batu di dasar pohon yang sebagian permukaannya tertutup oleh akar yang cukup banyak. Agak sulit bagi saya mendekati reruntuhan itu, karena lokasi pohon di bibir tebing, serta adanya penghalang yang saya mengambil foto dari jarak yang agak jauh.
Dari tempat saya berdiri waktu itu mestinya pemandangannya sangat indah ke arah lembah Sangiran, karena berada di tempat yang cukup tinggi. Sayang sekali gerumbul pepohonan yang rapat di tepian tebing menghalangi pandangan sehingga terpaksa harus gigit jari. Selain sangat sulit bagi orang untuk menebang pepohonan itu, keberadaan akarnya juga diperlukan agar tebing tak mudah longsor.
Akhirnya saya bisa juga melihat bahwa reruntuhan itu yang ternyata adalah batu-batu kubur, karena terlihat ada batu nisan di sana dalam posisi yang tak lagi rapih. Namun sampai saat itu masih gelap tentang kaitan antara kubur dengan Joko Tingkir.
Lantaran tak ada benda menarik lainnya di sana, dan ada perasaan tak enak berada sendirian di puncak perbukitan di dekat reruntuhan kubur, saya pun beranjak untuk menembus semak-semak lagi sambil berharap binatang-binatang melata masih menyingkir jauh dari jalan yang akan saya lewati.
Namun kaki kiri saya tiba-tiba menginjak bambu kecil sampai tembus ke telapak kaki hingga berdarah. Setelah mencabut bambu, dengan terpincang saya meneruskan langkah sampai ujung pekarangan dan melompat turun ke halaman rumah penduduk. Di rumah itu saya membersihkan luka dengan air bersih, sayang tak ada obat merah di sana.
Setelah naik ke mobil, kami meneruskan perjalanan sambil mencari warung untuk membeli obat merah dan band-aid. Beberapa warung kecil di jalan utama Sangiran kami lewati, sampai akhirnya kami berhenti di warung agak besar dan membeli beberapa lembar band-aid.
Mengetahui kaki saya luka, si ibu pemilik warung memberi minyak tawon untuk dioleskan ke tempat luka. Saya guyur luka dengan minyak tawon sambil bercerita sebab luka itu. Tak dinyana rupanya si ibu yang bernama Nyi Jumini itu adalah istri Ki Suratmo, putra nomor 5 Ki Toto Marsono atau mBah Toto (alm) yang adalah perintis Museum Manusia Purba Sangiran.
Ki Suratmo kebetulan tidak ada di warung. Saya membeli buku Biografi Ki Toto Marsono yang disusun olehnya serta menyimpan nomor HP suami isteri itu. Nyi Jumini bercerita bahwa rumahnya sering dipakai untuk penginapan mahasiswa KKN. Ada yang dari Wonosobo, Surabaya, Jogja, dan beberapa kota lainnya. Para peneliti juga sering menginap di rumahnya. Mahasiswa cukup membayar Rp. 35.000 semalam, plus Rp.15.000 sekali makan. Dengan gelaran, rumahnya bisa menampung 100 mahasiswa, dan bahkan ia pernah menerima 200 mahasiswa dengan menyebar sebagian mereka ke rumah tetangganya.
Ketika akan menulis Petilasan Joko Tingkir Sangiran inilah saya teringat Nyi Jumini, dan lalu meneleponnya untuk meminta keterangan. Pada telepon yang kedua saya disambungkan dengan Ki Suratmo yang usianya kini telah mencapai 64 tahun (lahir 1950), dan mendapat cerita yang menarik. Menurut orang-orang tua, ada sejumlah pengikut Joko Tingkir yang hendak pergi ke Desa mButuh dimana ada lokasi getek untuk menyeberangi Bengawan Solo. Belum sampai ke mButuh mereka beristirahat di puncak bukit Petilasan Joko Tingkir itu.
Tidak jelas apakah sakit, atau akibat luka di peperangan, dua orang diantara mereka meninggal dan dikebumikan di sana. Dulu akar pohon masih belum menutupi batu kubur, dan memang benar ada dua makam. Nisan kuburnya berupa batu bata sepanjang setengah meter dengan garis lurus di pinggirannya seperti garis di bibir pintu (sponneng). Kedua makam itu bentuknya sama, membujur ke Utara. Di bawah pohon agak ke kanan, sekitar 25 meter, ada pohon dan kubur lagi di tanah rata hanya saja tak seluas yang di atas. Namun yang di bawah itu kubur berikut pohonnya sudah tidak ada, terbawa longsor.
Dulu Petilasan Joko Tingkir bagus, masih asli dan panorama alamnya indah. Karena terkikis oleh perubahan dari jaman ke jaman maka keadaannya menjadi seperti sekarang ini. Gunung-gunung kecil di sebelah utara dulu ada dua, agak tinggi, dan di sebelah selatan ada dua batang pohon yang masih bagus.
Ketika Ki Suratmo masih di kelas V SD, sekitar tahun 1955, ada Kiai dari Pajang yag menyepi di Petilasan Joko Tingkir. Di bukit sebelah utara ia buat gubug kecil dari alang-alang, tiangnya dari bambu kuning. Kalau sore Ki Suratmo kecil, ayahnya, dan warga Sangiran sering main ke tempat itu karena pemandangannya indah, dan bisa mendengar suara gamelan dari perkampungan. Kiai Pajang itu sering datang untuk melakukan tirakat atau ritual dan tinggal selama beberapa hari di gubug. Dulu pinggir bukit dibuat pagar dari anyaman bambu yang rapi. Ki Suratmo ingat betul tempat itu, karena pernah berkemah bersama empat teman lain saat aktif sebagai pandu, dengan membawa drumband, terompet, dan perlengkapan masak lengkap.
Ada tiga cerita misteri terkait Petilasan Joko Tingkir. Menurut mBah Toto (meninggal pada usia 92 tahun) dan para orang tua jaman dulu, ada nisan kubur dari petilasan yang terseret sampai ke Kali Cemoro dan ditemukan anak angon. Ketika nisan dibawa pulang oleh anak itu, tiba-tiba ia kesurupan, badannya panas. Namun setelah nisan dikembalikan ke kali, anak itu sembuh.
Ketika Ki Suratmo masih duduk di bangku SMP, ada anak angon menemukan patung kerbau (Nandi) seukuran kepalan tangan terbuat dari perunggu. Anehnya ekor kerbau itu mengait ke depan dan berada di atas punggung. Oleh penduduk yang gemar benda antik, patung kerbau itu dijual kepada tengkulak. Menurut Ki Suratmo, benda itu harusnya dirawat dulu, dipayuh (ditembung), dilakoni, untuk mendapat tayuh (wirasat) apakah bendanya mau ikut atau tidak. Jika mau syaratnya apa. Namun karena tidak dilakukan, orang itu kemudian jatuh sakit dan meninggal.
Yang ketiga, Kyai dari Pajang itu mengatakan mendapat wirasat (tayuh, sasmita) bahwa Petilasan Joko Tingkir itu sesungguhnya adalah situs keraton. Ada pendopo besar indah yang lampunya terang benderang, kanan kirinya ada lumbung padi, ada gedogan (kandang kuda), tahta kursi raja, dan babut permadani. Tapi anehnya pendopo dan bangunan-bangunan pendukungnya itu kosong, tidak ada penghuninya. Pada malam Jumat Kliwon, atau pada hari-hari tertentu, terdengar suara glodhak-glodhak roda kereta yang ditarik lembu, serta suara cambuk dilecut berbunyi jedhar-jedher. Tetapi kalau orang kampung datang, tempat itu menjadi sepi, tidak ada suara. Kadang terdengar pula suara kuda meringkik.
Begitulah kisah Ki Suratmo tentang Petilasan Joko Tingkir. Bisa jadi pemilik kubur di petilasan adalah prajurit Pajang yang terluka dan terpisah dari pasukannya setelah terjadi perang besar antara Pajang dan Mataram. Dan mungkin mereka pula yang "memasang" bambu kecil penusuk kaki saya itu agar kisah petilasan saya dengar dari Ki Suratmo, untuk saya tulis dan dibaca oleh banyak orang. Wallahua'lam.
Petilasan Joko Tingkir Sangiran
Alamat : Desa Krikilan, Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Ki Suratmo: 0853 8578 1381. Lokasi GPS : -7.45832, 110.84018, Waze. Rujukan : Peta Wisata Sragen, Tempat Wisata di Sragen, Hotel di Solo.Lintasan jalan setapak yang mengarah ke puncak bukit bagian bawah, dimana terdapat bendera Merah Putih yang berkibar di puncak tiang bambu tinggi.
Tiang dengan bendera Merah Putih yang saya lihat waktu itu. Jika saja tak ada bendera ini mungkin semangat saya telah patah untuk mencari petilasan Joko Tingkir.
Di beberapa bagian, bekas jalan setapak menuju ke Petilasan Joko Tingkir masih bisa terlihat cukup baik seperti tampak pada foto di atas. Namun pada bagian lain ada pula yang jalannya sudah tertutup alang-alang sehingga sudah tak terlihat lagi.
Setelah mendaki bukit yang tak begitu tinggi, saya melihat adanya sebuah reruntuhan batu di dasar pohon yang sebagian permukaannya tertutup oleh akar yang cukup banyak. Agak sulit bagi saya mendekati reruntuhan itu, karena lokasi pohon di bibir tebing, serta adanya penghalang yang saya mengambil foto dari jarak yang agak jauh.
Akhirnya saya bisa juga melihat bahwa reruntuhan itu yang ternyata adalah batu-batu kubur, karena terlihat ada batu nisan di sana dalam posisi yang tak lagi rapih. Namun sampai saat itu masih gelap tentang kaitan antara kubur dengan Joko Tingkir. Dari cerita orang tua, rupanya reruntuhan itu sebelumnya adalah makam pengikut Joko Tingkir, yang meninggal di tempat itu entah karena sakit atau karena luka akibat perang. Melihat lokasinya yang terpencil, kemungkinan mereka meninggal akibat luka ketika bersembunyi sebelum menyeberangi Bengawan Solo. Lantaran tak ada benda menarik lainnya di sana, dan ada perasaan tak enak berada sendirian di puncak perbukitan di dekat reruntuhan kubur, saya pun beranjak untuk menembus semak-semak lagi sambil berharap binatang-binatang melata masih menyingkir jauh dari jalan yang akan saya lewati.
Gerumbul di puncak bukit Petilasan Joko Tingkir yang fotonya saya ambil sesaat sebelum meninggalkan tempat itu.
Diubah: Desember 17, 2024.
Label: Jawa Tengah, Petilasan, Sangiran, Sragen, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.