Usia Haris memang sepuh, namun lebih muda dibanding JK yang 72 tahun. JK terlihat sehat bersemangat serta menjadi wapres Jokowi. Namun Haris terlihat lemah, dan gangguan pada mata membuatnya sulit menemani tamu ke petilasan Keraton Kasunanan Kartasura yang tersisa. Begitupun keramahan, kesantunan dan kerendahatian Haris masih tetap terjaga dengan baik. Sebuah karakter yang tampak melekat dalam dirinya. Tidak dibuat-buat.
Adalah Alfandi, pensiunan Kepala Sekolah SD, yang menggantikannya menjadi pendamping tamu yang ingin melihat-lihat Petilasan Keraton Kasunanan Kartasura. Tanpa pendamping memang akan sedikit kesulitan untuk menemukan lokasi petilasan, meski terlihat ada beberapa orang yang sedang duduk-duduk di sebuah pendopo ketika kami lewat saat menuju ke lokasi petilasan ditemani Alfandi, dan mungkin pada mereka bisa bertanya arah.
Makam Raden Ayu Sedah Mirah atau RA Mayangsari yang dimakamkan di kompleks Petilasan Keraton Kasunanan Kartasura pada 1826. Menutut penuturan Haris, Sedah Mirah adalah garwa ampil (selir) Pakubuwana IX. Namun karena konon ia menguasai ilmu persilatan dan pintar bermain pedang maka PB IX memberi gelar adipati kepadanya. Sedah Mirah yang cantik juga dikenal pandai berdiplomasi dan memiliki aji pengasihan.
Entah karena alasan yang mana sehingga Makam Raden Ayu Sedah Mirah menjadi tempat yang paling banyak dikunjungi oleh para peziarah. Namun rupanya ada pula nama Sedah Mirah lain, yaitu yang menjadi permaisuri Sultan Hamengku Buwono II, dan kemudian bergelar Kanjeng Ratu Kencana Woelan atau Kencana Woengoe.
Jika Sedah Mirah permaisuri Sultan HB II itu adalah puteri Ronodigdoyo, seorang yang pernah berjasa besar kepada Pangeran Mangkubumi (HB I) pada saat Perang Suksesi Jawa III (1747-1755), namun tidak ada informasi tentang asal-usul Sedah Mirah yang garwa ampil PB IX ini.
Makam di atas disebut sebagai Makam Cikal Bakal, karena jasad di makam itulah yang pertama kali disemayamkan di tempat ini pada sekitar tahun 1816, atas persetujuan PB IX. Itu adalah tahun berakhirnya kekuasaan Inggris di Tanah Jawa, atau tahun berakhirnya kekuasaan Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur Jenderal yang sudah berlangsung sejak tahun 1811.
Di sebelah makam itu adalah makam dalang Ki Nyoto Carito. Yang pertama kali dimakamkan di tempat ini adalah jasad seorang sesepuh Keraton Surakarta yang bernama Mas Ngabehi Sutorejo, dan sejak saat itulah kompleks Petilasan Keraton Kasunanan Kartasura berubah menjadi area pemakaman kerabat keraton dan pemakaman penduduk setempat.
Ada sepetak lantai dengan dua buah batu besar di bawah pohon rindang yang disebut sebagai satu-satunya peninggalan bangunan Keraton Kasunanan Kartasura yang masih tersisa saat itu. Sisa bangunan yang tak seberapa besar namun kondisinya masih cukup baik itu disebut oleh Haris sebagai Petilasan nDalem Amangkurat II.
Amangkurat II adalah penguasa Mataram yang membangun Keraton Kartasura setelah Keraton Mataram di Plered hancur yang menyebabkan ia dan Amangkurat I harus melarikan diri. Dilihat dari apa yang tersisa, Petilasan Keraton Kasunanan Kartasura masih sedikit lebih baik ketimbang sisa-sisa Keraton Mataram Plered yang ada di Situs Kerto. Setidaknya masih ada tersisa benteng Baluwarti di tempat ini.
Di lokasi yang agak terpisah dari makam lainnya, terdapat cungkup makam KPH Adinegoro yang sempat pula saya kunjungi. Tak saya temukan informasi mengenai sosok ini, yang jika melihat makam dan gelarnya yang merupakan kependekan dari Kanjeng Pangeran Haryo, maka ia tentu termasuk kerabat dekat keraton.
Ada beberapa peninggalan Keraton Kasunanan Kartasura yang tak saya sempat kunjungi waktu itu, diantaranya yaitu bekas alun-alun, kolam segaran yang telah berubah menjadi lapangan, gudang mesiu yang menjadi gedong obat, Sumur Madusaka, gentong batu, Yoni, dan Lingga. Dua yang disebut terakhir mungkin peninggalan dari jaman sebelum Keraton Kartasura berdiri.
Sayang, banyak peninggalan keraton jaman dahulu yang nyaris tak berbekas. Bisa jadi karena sebagian besar penyusun bangunan keraton pada jaman itu terbuat dari kayu maka ketika terjadi perang besar dan keraton diserbu musuh maka seluruh bangunan keraton yang mudah dibakar akan berubah menjadi arang dan debu yang lenyap tak berbekas. Melenyapkan sebuah keraton, setelah merampok semua isinya yang berharga, sepertinya lazim dilakukan ketika terjadi perebutan kekuasaan.
Petilasan Keraton Kasunanan Kartasura
Alamat : Desa Siti Hinggil, Kartasura, Kabupaten Sukoharjo. Lokasi GPS : -7.55737, 110.7394, Waze. Rujukan : Tempat Wisata di Sukoharjo, Peta Wisata Sukoharjo.Sebuah prasasti yang sudah agak sulit dibaca bisa ditemukan di kompleks Petilasan Keraton Kasunanan Kartasura. Prasasti itu berbunyi "Dengan Rahmat Tuhan Yang Mahaesa pada hari Jumat tanggal 11 September 1998 untuk pertama kali diperingati hari lahir Kota Kartasura Kabupaten Dati II Sukoharjo yang telah berusia 318 tahun hari Rebo Pon tanggal 27 Ruwah tahun Alip (1603) bertepatan dengan tanggal 11 September 1680 berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 6 tahun 1997. Sukoharjo, 11 September 1998, Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sukoharjo, Ir Tedjosuminto"
Ukiran pada sisi kanan kubur Sedah Mirah yang ditulisa dengan menggunakan aksara Jawa. Meskipun pernah belajar membaca dan menulisnya, namun tak bisa saya membaca tulisan ini.
Ukiran pada sisi kiri kubur Sedah Mirah yang juga ditulis dengan menggunakan aksara Jawa. Kondisi makam Sedah Mirah di kompleks Petilasan Keraton Kasunanan Kartasura ini terlihat bersih dan terawat dengan baik.
Nisan kubur Sedah Mirah yang terlihat elok dan anggun dengan lambang mahkota raja, lambang kemakmuran padi kapas, serta tulisan yang dibuat dengan menggunakan aksara Arab gundul.
Makam di atas disebut sebagai Makam Cikal Bakal, karena jasad di makam itulah yang pertama kali disemayamkan di Petilasan Keraton Kasunanan Kartasura ini pada sekitar tahun 1816, atas persetujuan PB IX. Di sebelahnya adalah makam dalang Ki Nyoto Carito.
Di latar depan adalah makam Cikal Bakal di kompleks Petilasan Keraton Kasunanan Kartasura, sedangkan cungkup makam Sedah Mirah terlihat ada di latar belakang. Jarak keduanya memang tidak jauh.
Sepetak lantai dengan dua buah batu besar di bawah pohon rindang ini disebut sebagai satu-satunya peninggalan bangunan Keraton Kasunanan Kartasura yang masih tersisa, yang disebut oleh Haris sebagai Petilasan nDalem Amangkurat II. Amangkurat II adalah penguasa Mataram yang membangun Keraton Kartasura setelah Keraton Mataram di Plered hancur.
Dua buah batu besar yang tergeletak di atas lantai di dekat sebuah pohon rimbun menjadi tengara peninggalan Keraton Kasunanan Kartasura yang masih tersisa.
Dudukan lantai Petilasan Ndalem Amangkurat II bisa dilihat dari sisi sebelah kanan. Posisi memotret ini adalah memunggungi lubang Benteng Kartasura yang terjadi pada saat Geger Pecinan.
Aksara Jawa pada bagian depan kubur KPH Adinegoro. Sewaktu saya meminta Alfandi untuk membaca tulisan ini, ia hanya sanggup membaca sebagian saja "Munika pasareyanipun Kanjeng Pangeran Haryo Adinegoro ingkang kaping ... Mantu dalem ingkang Sinuwun Kanjeng Husti ... kaping ... Ing Surokarta hadiningrat. Sedanipun dinten setu."
Aksara yang ditulis dengan huruf Jawa di kubur istri KPH Adinegoro dengan simbol mahkota kerajaan dan sembol pada kapas.
Kubur suami isteri KPH Adinegoro ada di ujung kiri dalam cungkup yang letaknya agak terpisah dari makam lain di kompleks Petilasan Keraton Kasunanan Kartasura.
Beberapa orang sepuh pengalap berkah di kompleks kubur Petilasan Keraton Kasunanan Kartasura yang sempat mengikuti langkah saya. Di latar belakang adalah cungkup makam KPH Adinegoro.
Sebelah kiri adalah Raden Tumenggung Kertihastanadipura yang bernama asli Haris (71 tahun) di rumahnya yang berada tak jauh dari jalan masuk ke kompleks petilasan. Sedangkan yang di sebelah kanan adalah Alfandi, pensiunan Kepala Sekolah SD yang menggantikan Haris menjadi pendamping tamu yang ingin melihat-lihat Petilasan Keraton Kasunanan Kartasura.
Diubah: Desember 18, 2024.
Label: Jawa Tengah, Kartasura, Keraton, Petilasan, Sukoharjo, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.