Atas petunjuk seorang pria di Sumber Air Panas Parang Wedang, kami berkendara mengarah ke Timur, mendekati Pantai Parang Tritis. Merasa terlalu jauh, Pak Agus bertanya arah, dan benar telah terlewat. Jalan masuk ke Makam Panembahan Selohening itu ternyata sangat dekat.
Dengan Air Panas Parang Wedang hanya berjarak 180 m, pada sisi yang sama, melalui halaman sebuah rumah penduduk. Di sana ada sebuah tugu rendah bertuliskan "Gusti Panembahan Selahening". Kami berjalan kaki melewati halaman samping rumah menuju ke arah belakang, menapaki jalan setapak yang telah disemen, mengikuti alur sungai kecil yang berada di sebelahnya. Jalan setapak ini masih mendatar sejauh kira-kira 200 m, lalu mulai menanjak dan permukaannya agak licin, sehingga harus cukup hati-hati dalam melangkah. Tidak lama kumudian terlihatlah deretan undakan menuju ke puncak perbukitan.
Gapura candi bentar Makam Panembahan Selohening Bantul terlihat di puncak bukit di atas sana, diambil dari sekitar pertengahan undakan basah diguyur hujan yang turun semalam. Undakan ini juga cukup licin dan curam, sehingga pejalan harus benar-benar berhati-hati, terutama ketika kaki menapak lantai undakan saat menuruninya. Jika terpeleset bisa runyam urusannya.
Ketika kami sampai di puncak bukit, di depan candi bentar itu, ternyata pagar pintu masuknya digembok, sehingga kami tidak bisa masuk ke dalam area makam. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu, dan berharap agar juru kunci segera datang untuk membuka pagar. Sembari menunggu, saya mengambil beberapa buah foto dari balik pagar makam yang tidak begitu tinggi itu.
Di puncak bukit Makam Panembahan Selohening Bantul ini terlihat ada tiga buah cungkup. Cungkup yang posisinya berada paling depan tampaknya merupakan tempat beristirahat bagi peziarah dengan dua sisi dindingnya terbuka. Cungkup yang di tengah merupakan cungkup utama, dan bangunan di sebelahnya tampaknya adalah tempat untuk membersihkan diri dan tempat menyimpan barang.
Sementara di sebelah kanan tembok yang rendah itu adalah tebing dengan jurang lembah cukup dalam yang sama tingginya dengan awal undakan. Pada serambi cungkup utama Makam Panembahan Selohening Bantul tampak ada sepotong kayu mencuat miring ke atas, dan di belakangnya ada tugu bercat putih dengan kuncup bunga di puncaknya. Ornamen naga bermahkota tampak diletakkan pada puncak wuwungan cungkup makam .
Di ujung kanan area Makam Panembahan Selohening Bantul terdapat sebuah bentuk bangunan persegi dengan ornamen bunga serta lubang di tengahnya, mengingatkan saya pada tempat pembakaran uang kertas sembahyang yang biasanya ada di depan kelenteng (Kimlo), hanya saja yang ini tidak berbentuk pagoda, dan entah apa fungsinya. Pada tembok luar di samping gapura candi bentar ada tengara yang menunjukkan tanggal pemugaran makam pada 31 Oktober 1961
Entah berapa lama kami menunggu, namun yang pasti cukup lama, dan belum juga muncul juru kuncinya. Ketika hati mulai bimbang untuk menyerah, terlihat ada dua orang wanita mulai mendaki undakan menuju ke tempat kami berdiri, dan beberapa langkah di belakangnya ada lagi seorang pria. Kedua wanita itu ternyata berbelok ke kiri beberapa undakan sebelum sampai di gapura, namun sempat bertukar sapa, dan mereka mengatakan akan pergi ke sendang. Si pria yang saya duga juru kunci ternyata bukan. Ia pun belok ke kiri dengan tujuan berbeda namun sempat memberi tahu bahwa pengunjung harus memukul kentongan untuk memanggil kuncen. Walah, jadi begitu toh...
Kentongan Makam Panembahan Selohening Bantul yang berbentuk seperti bebek, berada di sebelah papan pengumuman cukup besar yang teronggok. Perhatian tampaknya lebih tertuju untuk membaca papan pengumuman sehingga tidak memperhatikan kalau ada kentongan di sana, dan tidak terpikir pula bahwa ada "teknologi" komunikasi tradisional yang efektif semacam itu untuk memanggil sang kuncen.
Setelah memukul kentongan beberapa kali, yang suaranya pasti terdengar sangat jauh karena letaknya di puncak perbukitan yang sepi, saya menuruni undakan dan berbelok ke jalan setapak yang dilalui oleh dua wanita dan si pria tadi, ingin tahu seperti apa sendangnya, sambil menunggu kuncen datang. Setelah melewati jalan setapak sempit yang licin, saya sampai di dataran yang di salah satu sisinya terdapat aliran sungai.
Sendang itu adalah sebuah palung kecil yang airnya cukup jernih, dan mereka rupanya sering membersihkan diri di tempat ini, entah untuk tujuan ritual apa. Lokasi sendang berada tidak jauh di belakang area Makam Panembahan Selohening Bantul. Airnya sangat dingin kata si Ibu. Tidak ingin mengganggu, saya pun pergi meninggalkan mereka, dan kembali ke area makam. Syukurlah pagar telah terbuka ketika saya tiba. Kentongan telah bekerja dengan baik.
Kuncen yang duduk memunggungi kayu tua di serambi Makam Panembahan Selohening itu bercerita seputar Panembahan Selohening, yang disebut juga Kyai Selohening, atau Selaning. Sayang saya lupa mencatat nama kuncen itu, namun tentu salah satu dari nama-nama Giyono, Tamin, Paryadi, Purnomo, yang merupakan kuncen-kuncen Makam Panembahan Selohening ini.
Menurutnya dahulu hanya ada sebuah batu keramat di tempat ini. Hewan dan burung yang melintas di atasnya konon jatuh ke tanah dan mati. Karena suasana sekitar yang senyap maka batu itu disebut sebagai Selaening, atau batu yang hening. Batu itu masih bisa dijumpai di sana.
Cerita lain menyebutkan bahwa Panembahan Selohening masih merupakan kerabat raja Majapahit yang terakhir, Brawijaya V. Ia menyingkir dari keraton dan mengasingkan diri ke Desa Mancingan karena tidak suka dengan kemelut yang terjadi saat itu di lingkungan keraton, dan karena tinggal di bukit Seloening maka ia dikenal sebagai Kyai Selaening. Nama asli-nya sendiri tidak ada yang tahu, mungkin memang sengaja disembunyikan.
Adalah Syekh Maulana Maghribi yang dalam perjalanan dakwahnya ke Desa Mancingan ini yang konon berhasil mengislamkan Kyai Seloening yang sebelumnya merupakan penganut agama Buddha, setelah sempat didahului dengan berdebat beradu ilmu. Saat itu di padepokan Kyai Selaening juga ada Raden Dhandhun dan adiknya yang bernama Raden Dhandher, putra-putra Brawijaya V yang juga menyingkir dari Majapahit. Mereka pun kemudian masuk Islam dan dikenal sebagai Syekh Bela-Belu dan Syekh Gagang Aking atau Kyai Dami Aking.
Makam Panembahan Selohening Bantul yang berundak dan ditutup kain beludru putih, demikian pula nisannya. Ada wadah kayu berwarna coklat tua berbentuk trapesium terbalik tempat meletakkan bunga di atas pusaranya. Sebuah payung kerajaan berwarna kuning diletakkan di sudut ruangan. Di sebelah kanan ada meja pendek berkaki tiga yang biasanya menjadi tempat untuk meletakkan landean tombak pusaka.
Cungkup Makam Panembahan Selohening ini selesai diperbaiki pada Jumat Legi, 3 Juni 2005. Nama-nama penyandang dananya disebutkan pada prasasti yang berada di samping pintu makam (terlihat pada foto sebelumnya), termasuk nama kuncen yang menemani kami itu juga disebut dalam prasasti itu. Para pengalap berkah biasanya berkunjung ke Makam Panembahan Selohening pada malam Selasa dan Jumat Kliwon.
Ketika meninggalkan tempat parkir saya agak kaget juga ketika si empunya pekarangan meminta uang Rp.10.000, padahal hari itu bukan hari libur, dan hanya sekitar 1 jam saja. Untuk menuju ke Makam Panembahan Selohening Bantul yang berjarak 26 km dari Yogyakarta, pejalan bisa naik angkutan umum dari Terminal Giwangan atau Umbulharjo ke jurusan Parangtritis dengan ongkos sekitar Rp10.000-an. Lihat Rute Angkutan Bus Yogyakarta.
Makam Panembahan Selohening Bantul
Alamat : Desa Mancingan, Parangtritis, Bantul, Yogyakarta. Lokasi GPS : -8.02181, 110.33035, Waze (parkir), -8.01966, 110.33121, Waze (lokasi makam). Rujukan : Tempat Wisata di Bantul, Peta Wisata Bantul, Hotel di Yogyakarta.Diubah: Mei 09, 2018.Label: Bantul, Makam, Wisata, Yogyakarta
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.