Watu Pinawetengan Minahasa Sulawesi Utara

Watu Pinawetengan Tompaso Minahasa Sulawesi Utara adalah situs megalitikum berupa sebuah batu berukuran besar memanjang berbentuk unik dengan tulisan dan torehan yang sampai sekarang masih belum ada yang bisa mengurai maknanya. Namun orang mempercayainya sebagai situs yang sangat bersejarah dan berpengaruh bagi kehidupan masyarakat Minahasa.

Sejumlah batu purba yang berada di Situs Watu Pinawetengan Minahasa itu ditempatkan di dalam sebuah cungkup yang lokasinya berada di lereng Gunung Soputan, Desa Pinabetengan, Kecamatan Tompaso, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Gunung yang sangat aktif ini muncul pada zaman keempat, sekitar 600 ribu tahun lalu, di tepi selatan kaldera Tondano. Belokan menuju ke Watu Pinawetengan Minahasa dari Jalan Minahasa - Langowan saat itu tertutup karena tengah dalam perbaikan. Lokasi belokan ada pada GPS: 1.19522, 124.79406. Mobil pun lalu berjalan terus ke arah selatan sejauh beberapa puluh meter sampai menemukan belokan ke arah kanan, sebagai jalur alternatif menuju ke arah situs.

Tak berapa lama kemudian kami sampai di area situs, dengan tempat parkir lumayan luas. Di sebelah situs Watu Pinawetengan Minahasa terdapat bangunan pada perbukitan dengan tempat duduk bertingkat yang dipergunakan untuk melihat upacara adat tahunan yang diselenggarakan setiap tanggal 7 Juli oleh Institut Seni Budaya Sulawesi Utara.

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Cungkup situs Watu Pinawetengan Minahasa berbentuk waruga (kubur batu) dengan patung Burung Manguni di kedua puncaknya. Di dalam cungkup ini tersimpan batu besar peninggalan utama situs. Tidak lama setelah kami tiba, datanglah Ari Ratumbanua, petugas penjaga situs Watu Pinawetengan Minahasa yang ramah dan menemani kami selama berkunjung. Salah satu bagian atas Watu Pinawetengan Minahasa memiliki goresan-goresan pada permukaannya, yang diantaranya berbentuk tubuh manusia, alat kelamin, dan goresan lain yang artinya masih belum bisa diungkap para ahli purbakala.

Tulisan berlambang seperti ini, menurut Ari Ratumbanua, mirip dengan tulisan yang di temui di Gua Angona di Filipina. Sebuah poster di dinding cungkup menceritakan kisah batu bersejarah ini. Alkisah keturunan To'ar Lumi'muut telah berkembang memenuhi wilayah pemukiman awal mereka, yaitu Tu'ur in Tana. Sampai suatu ketika datang bencana alam beruntun yang menjadi peringatan agar mereka mengosongkan Tu'ur in Tana dan menemukan lahan penghidupan baru.

Sebuah bangunan tampak di atas perbukitan di sebelah situs Watu Pinawetengan, dengan tempat duduk bertingkat di bawahnya yang dipergunakan para pengunjung untuk melihat upacara adat tahunan yang diselenggarakan setiap tanggal 7 Juli oleh Institut Seni Budaya Sulawesi Utara, yang diantaranya mengambil tempat di area yang berada di bagian depan.

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Watu Pinawetengan Minahasa yang menyerupai orang bersujud dengan tinggi 2m dan panjang 4m. Melanjutkan kisah sejarah di atas, atas petunjuk Manguni keturunan To'ar Lumi'muut itu berjalan menentang jalannya matahari, lalu berbelok ke Utara sampai di Sumeseput. Menurut mitos, Burung Manguni adalah ciptaan Opo atau Roh paling atas penguasa langit dan bumi. Opo Empung Wananatas menugaskan burung Manguni menjaga keturunan Toar-Lumimuut dengan berjaga pada malam hari dan diberi kemampuan bersiul dengan bunyi berbeda untuk menandai keadaan aman atau bahaya.

Setelah melalui berbagai rintangan dan penderitaan, mereka tiba di perbukitan Tonderukan dengan pemandangan sangat indah dan lahan luas amat subur. Sesuai petunjuk Manguni - Makasiyow, di salah satu sisi tempat itu tegaklah Gunung Soputan (Semesepul). Para Kumeter, pemimpin mapalus, pun segera membangun pemukiman di Ranolesi, yang terletak diantara Desa Tumaratas dan Tou'ure sekarang.

Di tempat hunian baru, para Walian menyiapkan upacara kurban syukur, dan mencari tempat untuk mendirikan tumotowa, batu mezbah (altar) sekaligus menandai berdirinya pemukiman. Walian adalah orang tua yang dianggap bisa berhubungan dengan roh para Apok (leluhur penguasa suatu daerah yang selalu dihormati, disembah dan dipuja).

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Watu Pinawetengan Minahasa inilah yang dijadikan tumotowa oleh para leluhur di tempat baru, memanjang dari timur ke barat. Pada saat ditemukan, di atas batu besar ini bertengger burung Manguni, sementara batu-batu lain di sekitarnya ditunggui oleh ular hitam. Batu besar ini lalu dinyatakan sebagai tumotowa wangko (mezbah / altar agung).

Ada yang menyebut Watu Pinawetengan sebagai peta daerah Minahasa. Mezbah atau altar utama ini disebut Watu Pinawetengan (Batu Tempat Pembagian), karena di batu ini dirundingkan dan diamanatkan pembagian wilayah pemukiman baru bagi sembilan sub etnis Minahasa.

Kesembilan sub etnis itu adalah suku Tontembuan, Tombulu, Tonsea, Tolowur, Tonsawang, Pasan, Ponosakan, Bantik dan Siao. Selanjutnya Watu Pinawetengan menjadi tempat pertemuan para pemimpin anak-anak suku bangsa Minahasa setiap kali mereka menghadapi persoalan besar dan membutuhkan pengukuhan kembali setia maesaan (persatuan).

Dengan dipimpin Tonaas Wangko para leluhur Minahasa itu pun melangsungkan upacara dengan kurban bakaran sangat banyak berupa sejumlah hewan hutan hasil buruan para waraney. Waraney adalah orang-orang terpilih, yang menjadi prajurit sesudah terlebih dahulu membuktikan kepiawaian dan keahlian dalam berkelahi dan bertempur.

Di Watu Pinawetengan inilah dicetuskan "Nuwu i Tu'a" (amanat yang dituakan) atau yang kemudian lebih terkenal sebagai Amanat Watu Pinawetengan, yaitu:
Bahwa tanah ini adalah milik kita bersama.
Sesuai petunjuk Sang Manguni. Bagi-bagikanlah tanah ini.
Rambahilah tapa-tapal batas baru lahan penghidupan, wahai pekerja!
Kuasai dan pertahankanlah wilayah, wahai satria!
Agar keturunan kita dapat hidup dan memberi kehidupan!
Akad se tu'us tumou o tumou tou!


Selama berabad-abad lamanya Watu Pinawetengan Minahasa ini sempat hilang ditelan bumi, meskipun demikian di tempat itu para Walian dari generasi ke generasi selalu datang melangsungkan upacara adat. Penggalian dilakukan tahun 1888, sesuai hasil analisa J.A.T. Schwartz dan J.G.F. Riedel (masing-masing adalah putra Pdt. J.G. Schwartz dan Pdt. J.F. Riedel - dua misionaris yang berperan penting menginjil Minahasa), berdasarkan petunjuk sejumlah tuturan dan sastra lisan yang diwarisi orang-orang tua.

Dari pembicaraan dengan Fendy Parengkuan, seorang dosen Universitas Sam Ratulangi di Tondano Minahasa, secara sederhana ada dua pesan inti yang dicetuskan oleh para pemimpin suku yang bertemu pada sekitar abad keempat di Watu Pinawetengan ini, sebelum kemudian mereka berpisah. Pesan pertama itu adalah: Pute Waya, yang artinya 'semua sederajat'.

Inilah akar budaya Minahasa yang menanamkan konsep demokratis, sehingga tidak pernah ada kerajaan besar dengan budaya feodal di Minahasa. Para pemimpin suku selalu dipilih secara demokratis dengan persyaratan yang ditentukan oleh kelompok. Jika pemimpin tidak lagi memenuhi persyaratan, mereka bisa diganti, tidak bersifat turun temurun.

Pesan kedua adalah Nuwu I Ngeluan: Sa kita esa, sumerar! Sa kita sumerar, esa kita! Yang artinya adalah: kalau kita sudah benar-benar merasa satu, marilah kita menyebar! Kalau pun kita tersebar kemana-mana, satu kita! Makna keberadaan Watu Pinawetengan tampaknya sangat dalam karena dari sinilah bermula akar budaya Minahasa yang demokratis, serta konsep persatuan yang mendasari hubungan antar suku di Minahasa, yang diperkuat dengan keyakinan bahwa "Torang samua basudara".

Watu Pinawetengan Minahasa

Alamat : Desa Pinabetengan, Kecamatan Tompaso, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Lokasi GPS : 1.1592896, 124.7712457, Waze. Tempat Wisata di Minahasa, Peta Wisata Minahasa, Hotel di Manado.

Sebuah bangunan di atas perbukitan di sebelah situs Watu Pinawetengan, dengan tempat duduk bertingkat di bawahnya yang dipergunakan para pengunjung untuk melihat upacara adat tahunan yang diselenggarakan setiap tanggal 7 Juli oleh Institut Seni Budaya Sulawesi Utara, yang diantaranya mengambil tempat di area yang terlihat di latar depan.

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Tengara petunjuk jalan ke Batu Prasasti Watu Pinawetengan yang terlihat sudah lusuh. Masih berjarak sekitar 4 km lagi. Semoga saja papan tengara ini sudah diperbaiki sekarang. Perbaikan pada jalan saat itu tengah dilakukan, sehingga kami harus mencari jalan lain.

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Pemandangan dalam perjalanan menuju ke situs Watu Pinawetengan yang sangat kental dengan suasana pedesaan. Ibu-ibu yang tengah mencuci pakaian menjadi latar belakang sawah pertanian dan perbukitan hijau di belakang sana.

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Tempat memandikan kuda yang kami lewati dalam perjalanan menuju ke situs Watu Pinawetengan. Kuda rupanya masih memiliki peran penting dalam kehidupan keseharian orang Minahasa sampai saat itu.

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Ada beberapa kuda lainnya yang tengah dimandikan di sungai yang memang tampaknya digunakan untuk keperluan itu. Pada waktu itu kuda masih merupakan alat transportasi yang sangat membantu dan sekaligus sebagai mata pencaharian penduduk dengan menawarkan jasa angkutan tradisional ini.

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Sebuah bendi beristirahat di bawah rindang pepohonan, sementara kuda penariknya yang berbulu coklat kehitaman tampak sedang merumput. Tak terlihat batang hidung pemilik bendi ini.

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Sejenis bendi dengan ban angin sebesar ban sepeda motor yang ditarik seekor kuda, yang kami lihat saat masih dalam perjalanan menuju ke Situs Watu Pinawetengan Minahasa.

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Tanda Cagar Budaya bagi situs Watu Pinawetengan yang dipasang di depan situs. Poster besar yang sangat membantu tampak menempel pada dinding batu di sebelah kiri, sementara cungkup berbentuk waruga putih tampat di belakang sana bertulis nama situs "Watu Pinawetengan".

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Poster yang berisi informasi seputar Watu Pinawetengan, dan bagaimana peran serta pesan yang terkandung di dalam situs batu alam yang sangat besar ini. Burung Manguni yang ada di sebelah kiri atas adalah sejenis Burung Hantu yang aktif di malam hari.

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Goresan pada Watu Pinawetengan yang masih belum bisa diurai maknanya. Entah jika suatu saat nanti ditemukan ada prasasti lainnya yang bisa memberi petunjuk lebih baik untuk memahami dengan lebih baik torehan pada batu ini.

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Sisi lain dari Watu Pinawetengan, dengan sebuah undakan terlihat di sisi atas yang dipergunakan untuk turun ke dasar lubang dimana Watu Pinawetengan berada. Pada saat ditemukan, di atas batu besar ini bertengger burung Manguni, sementara batu-batu lain di sekitarnya ditunggui oleh ular hitam. Batu besar ini lalu dinyatakan sebagai tumotowa wangko (mezbah atau altar agung).

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Sejumlah inskripsi atau torehan terlihat pada batu di dalam cungkup yang berukuran lebih kecil. Beberapa tampaknya dibuat belum lama, setidaknya bukan pada jaman batu, karena ada huruf "D" yang belum dikenal pada jaman itu.

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Batu purba berukuran lebih kecil di sekitar Watu Pinawetengan yang konon sewaktu ditemukan ditunggui oleh ular hitam. Tak terlihat ada bekas pekerjaan tangan manusia untuk membentuk batu ini, selain torehan yang belum jelas maknanya.

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Prasasti pemugaran Situs Watu Pinawetengan yang diprakarsai dan diresmikan oleh H.V. Worang, Gubernur Kepala Daerah Tingat I Sulawesi Utara saat itu, pada tanggal 1 Desember 1974.

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Di sebelah kanan adalah semacam dek pandang yang lantainya dipasang deretan papan kayu dengan pagar pengaman. Dek itu terpasang di sisi sebelah kanan di area Situs Watu Pinawetengan, dengan pemandangan ke arah lembah yang indah.

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Situs Watu Pinawetengan dengan lingkungan yang hijau asri. Lokasinya yang berada di pinggang Gunung Soputan yang termasuk sangat rajin meletus, membuat situs Watu Pinawetengan ini sempat hilang terpendam selama berabad-abad lamanya. Penggalian baru dilakukan pada 1888.

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Bendi sederhana, yang tampaknya digunakan sebagai angkutan barang atau hasil pertanian, kami salip ketika dalam perjalanan meninggalkan Situs Watu Pinawetengan. Bendi masih memegang peran penting sebagai alat transportasi di pedesaan Minahasa.

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Padang rumput luas dengan latar ladang dan perbukitan, tempat dimana sejumlah kuda dan sapi dengan tenangnya menggerumuti gerumbul rumput yang cukup tebal, sangat mencukupi untuk memenuhi lebutuhan perut mereka hingga kenyang. Sebuah pemandangan menyejukkan mata yang telah lenyap dari daerah perkotaan.

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Sepanjang perjalanan memang banyak pemandangan yang menarik, membuat kami sempat berhenti beberapa kali untuk sejenak menikmatinya. Seperti ketika seekor sapi tengah merumput ditemani seekor burung bangau di dekat kepalanya, dan satu lagi dekat kaki belakangnya.

watu pinawetengan minahasa sulawesi utara

Diubah: Desember 16, 2024.
Label: Minahasa, Purbakala, Sulawesi Utara, Tompaso
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.

aroengbinang,
seorang penyusur jalan.
Traktir BA? Scan GoPay, atau via Paypal. GBU.
« Baru© 2004 - IkutiLama »