Upacara Ngaben yang kami ikuti berlangsung di Banjar Pekandelan, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali. Saat menuju ke banjar tersebut, di banjar sebelah juga tengah dilakukan persiapan yang sama. Kesibukan dan suasana upacara sudah sangat terasa ketika kami memasuki Br. Pekandelan. Pria dan wanita mengenakan pakaian adat. Sebuah tempat khusus didirikan berisikan pernak-pernik masing-masing mendiang yang akan menjalani upacara ngaben pada hari itu.
Wahana tempat pembakaran mayit yang disebut petulangan, tempat tulang belulang mendiang, berbentuk lembu terlihat telah siap. Ada yang kulitnya dibuat berwarna merah, ada yang hitam. Pemakaian bentuk binatang dalam petulangan lazimnya diatur menurut susunan kasta, dan dari banjar ke banjar bisa ada perbedaan dalam pemilihan wahana yang dipakai. Bentuk yang biasa dipakai adalah lembu, macan, singa, singa kaang, naga kaang, gedarba, gajah mina dan sudang-sudangan.
Lembu dipakai oleh orang suci. Pada Upacara Ngaben Bali, pendeta dan pemangku menggunakan lembu putih, sedangkan kesatria dan brahmana welaka memakai lembu hitam. Petulangan singa warna merah tua bersayap dipakai oleh raja-raja dan warga pasek. Naga kaang, berkepala naga dengan badan bersisik ikan, bersayap, dipakai arya sentong dari sekte wisnu.
Petulangan gedarba berupa beruang warna hitam, kaki bertanduk (tegil), dipakai kula wangsa atau orang kebanyakan. Petulangan gajah mina, kombinasi gajah dan ikan, dipakai oleh golongan wesia. Petulangan singa kaang, yaitu singa dengan kaki belakang bertanduk dan bersisik ikan dipakai oleh pasek baliaga dan pasek pulasari.
Petulangan menjangan dengan tanduk bercabang-cabang dipakai oleh sang arya. Petulangan macan atau harimau warna merah dan kulit belang dipakai oleh pasek pulosari dan pande. Petulangan sudang-sudangan yang berbentuk ikan dan bersisik dipakai oleh para nelayan. Sedangkan petulangan tabla yang berbentuk peti biasa, berkaki empat sebagai penyangga, warnanya putih simbul kesucian dipakai oleh mereka yang dipandang suci.
Setelah menunggu selama beberapa saat di sebuah rumah milik keluarganya teman dari teman saya itu yang ikut menjalani upacara ngaben, seraya melihat persiapan yang dilakukan, akhirnya prosesi upacara ngaben pun dimulai menjelang tengah hari. Dari banjar, satu persatu lembu digotong beramai-ramai menuju ke tempat upacara yang nantinya berakhir dengan pembakaran jenazah.
Secara bergantian para pemuda banjar dengan semangat tinggi dan penuh tenaga mengangkat patung menuju ke lokasi upacara ngaben. Kadang berjalan, kadang menggotong sambil berlari kencang. Suasana upacara sangat hidup dan bergairah.
Prosesi dimulai pada saat yang terbaik di hari itu, yang ditentukan oleh pendeta banjar. Anak-anak juga diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam prosesi ini sebagai bagian dari edukasi komunitas untuk menyiapkan mereka bagi masa yang akan datang. Seorang muda berbadan sedang, namun kuat dan terampil, dipilih untuk duduk di atas punggung lembu.
Setiap tahapan dalam upacara ngaben ini melambangkan sesuatu, dan di setiap persimpangan jalan usungan lembu ini diputar dan digoyang dengan hebatnya, mungkin dimaksudkan untuk melepas semua kotoran yang melekat dari mendiang ke segenap penjuru mata angin.
Cuaca dan hawa yang panas disejukkan dengan semprotan air segar dari tangki mobil pemadam kebakaran. Namun jalanan pun menjadi basah, yang memberi tantangan tersendiri bagi para pengusung dan penunggang lembu. Ada banyak turis asing yang mengikuti prosesi upacara ngaben di Br. Pekandelan, Batuan ini. Sebagian besar dari mereka mengenakan sarung dan ikat kepala Bali, dan ikut larut dalam suasana. Ada yang ikut dalam barisan, berjalan bersemangat dengan sesekali meninju udara ditingkah suara gamelan, dan menjadi tontonan yang mengundang senyum.
Pada penggal jalan lainnya seorang pria muda bule berdiri di pinggir jalan sambil memeluk dua teman gadisnya itu ketika rombongan para pengusung wahana tengah melintas di depan mereka. Siapa pun yang melihat prosesi upacara ngaben ini memang akan ikut larut terbawa suasana.
Semangat para pemuda dalam beraksi selama menggotong wahana bukannya tanpa bahaya. Ketika melakukan aksi terakhir di ujung perjalanan sebelum masuk ke pekarangan dimanan upacara Ngaben berlangsung, seorang orang anak remaja terlihat cedera dan dibawa untuk mendapat perawatan. Semprotan air oleh mobil pemadam kebakaran tidak saja membuat aspal menjadi basah, namun juga membuat licin pegangan tangan pada bambu pengusung wahana.
Setelah semua wahana diletakkan berjejer pada posisinya masing-masing di pekarangang kosong, para anggota keluarga para mendiang lalu membuat prosesi dengan mengelilingi wahana dalam beberapa kali putaran, sebelum akhirnya meletakkan semua bawaannya. Punggung setiap wahana pun dibuka untuk memasukkan jasad.
Bagian akhir upacara ngaben berupa pembakaran wahana lembu yang berisi jasad mendiang. Pembakaran dalam foto di atas berlangsung di banjar sebelah yang kebetulan dilakukan di seberang jalan dan dilakukan terlebih dahulu. Setelah mengikuti sejumlah prosesi di lokasi, kami memang tidak sempat menunggu bagian akhir pembakaran wahana Br. Pekandelan karena hendak pergi ke tempat lain.
Karena upacara ngaben dilakukan setiap 3-5 tahun, jika ada keluarga yang meninggal di luar siklus upacara maka mereka dikuburkan dulu sementara. Pada saat upacara ngaben, kubur itu digali dan mayat-mayat dimasukkan kedalam bungkus kain putih dan dibopong beramai-ramai untuk kemudian dimasukkan ke dalam perut lembu.
Upacara ngaben ini bertujuan untuk melepaskan arwah mendiang dari semua ikatan keduniawiannya dan mengembalikan jasad si mati ke tempat dimana hidup diciptakan. Karena biaya yang sangat mahal untuk menyelenggarakan ritual ini, maka upacara ngaben biasanya dilakukan secara bersama-sama oleh penduduk banjar setiap 3-5 tahun sekali. Hanya keluarga kaya yang mampu melakukan upacara ngaben sendiri.
Salah satu yang membuat biaya menjadi mahal adalah membuat lembu atau bentuk lainnya, selain tentu biaya-biaya untuk perlengkapan lainnya. Lembu dipercayai sebagai kendaraan Syiwa, dewanya para dewa. Bentuk Lembu warna-warni yang terbuat dari bubur kertas berlem ini akan dipergunakan bagi almarhum sebagai kendaraan untuk membawa sukmanya ke keabadian. Para pengrajin Bali membutuhkan waktu lebih dari dua minggu untuk menyelesaikannya, dengan menelan biaya sekitar Rp.7 juta untuk sebuah patung waktu itu.
Tidak sebagaimana prosesi kematian di tempat lain di dunia, upacara ngaben bukanlah merupakan acara yang menyedihkan bagi orang Bali. Air mata merupakan hal yang dihindari, dengan suatu kepercayaan bahwa para arwah akan meninggalkan dunia dengan suka cita. Upacara ini dirasakan sebagai suatu perayaan bagi kehidupan si mati.
Upacara Ngaben Gianyar
Alamat : Br. Pekandelan, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali. Hotel di Ubud, Hotel di Gianyar, Hotel di Bali, Tempat Wisata di Gianyar, Peta Wisata Gianyar, Tempat Wisata di Bali.Deretan petulangan berbentuk lembu hitam dengan garis warna keemasan siap di tempat pembakaran. Petulangan ini ada di prosesi upacara ngaben Br Gede Batuan yang lokasinya berseberangan dengan Br Pekandelan.
Punggung-punggung lembu itu dibuat berlubang sebagai akses untuk memasukkan tulang belulang atau jasad si mati yang dipindahkan dari kubur sementaranya sebelum dibakar.
Sekelompok pemuda Br Gede Batuan tengah memainkan gamelan di jalanan di tepi lokasi upacara ngaben banjar mereka. Memainkan gamelan merupakan bagian yang terpisahkan dalam upacara ngaben.
Petulangan naga warna merah bersisik ikan, bersayap, biasa dipakai arya sentong dari sekte wisnu. Petulangan ini ada di Br Pekandelan.
Sebuah tempat khusus didirikan berisikan tulang belulang dan pernak-pernik masing-masing mendiang yang akan menjalani upacara ngaben pada hari itu.
Sebuah petulangan di Br. Pekandelan berbentuk lembu warna merah dengan selempang putih dan kuning keemasan. Ada kesan eksotisme karena kelamin lembu yang tegak dan kulupnya terbuka.
Iring-iring prosesi warga banjar dan sejumlah turis mulai mengalir, sementara di belakang sana sejumlah pemuda secara beramai-ramai telah mengangkat petulangan yang bobotnya lumayan berat.
Anak-anak juga diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam prosesi ini sebagai bagian dari edukasi komunitas untuk menyiapkan mereka bagi masa yang akan datang.
Sekelompok penduduk banjar tengah berjalan mengangkat petulangan berbentuk lembu berwarna hitam. Bukan pekerjaan ringan untuk menggotong gelondongan bambu dengan wahana di atasnya, apalagi setelah ada orang duduk di atas lembu itu.
Seorang muda berbadan sedang, namun kuat dan terampil, dipilih untuk duduk di atas punggung lembu. Upacara ngaben ini bertujuan untuk melepaskan arwah mendiang dari semua ikatan keduniawiannya dan mengembalikan jasad si mati ke tempat dimana hidup diciptakan.
Seorang dewasa berdiri di samping petulangan berbentuk binatang berkepala naga, berbadan lembu dan bersayap, sementara seorang anak kecil duduk dengan tangan diikat pada kaki lembu agar tidak terjatuh jika nanti petulangan diputar-putar di perempatan.
Di perempatan ini petulangan diputar-putar dengan hebat oleh pengusungnya. Sebuah atraksi ritual yang sangat menguras tenaga dan beresiko, ditingkahi suara gamelan dengan ritme yang bersemangat.
Ritual di perempatan berlangsung dengan selamat, dan pemuda yang berdiri di atas tandu serta anak yang duduk di sebelah kaki depan lembu berhasil tetap berada pada posisi mereka masing-masing. Iring-iringan pun kemudian berjalan lagi.
Diperlukan latihan dan teknik dalam memegang batang bambu serta posisi kaki ketika tengah melakukan atraksi ritual, sehingga beban bisa terbagi dengan baik dan memperkecil resiko terkilir atau cedera. Beratnya beban yang diangkat membuat mereka harus bergantian dalam menggotong petulangan.
Kerumunan tua muda besar kecil lokal asing yang tumpah ruah ke jalan untuk melihat atraksi yang dilakukan oleh para pengusung petulangan. Energi dan semangat yang dipertontonkan oleh mereka membuat para kagum para penonton.
Terik matahari yang menyengat dan hawa yang panas didinginkan oleh semprotan air dari sebuah mobil pemadam kebakaran. Namun itu membuat pekerjaan para pengusung petulangan menjadi lebih berat, karena harus berjalan di aspal yang basah, serta bambu yang mereka pegang pun menjadi lebih licin dan mudah lepas.
Semprotan air masih berlangsung di ujung sana, sementara penonton terus bertahan tanpa memperdulikan terik matahari dan guyuran air. Beruntunglah saya berdiri agak jauh dari lokasi petulangan, sehingga kamera terhindar dari guyuran.
Meskipun telah basah kuyup namun atraksi ritual terus berlangsung, dan penggantian pengusung yang lelah atau cidera dilakukan. Semangat, pengabdian, dan energi yang mereka keluarkan dalam prosesi ngaben ini sangat mengagumkan.
Suara gamelan dengan irama yang enerjik ikut membangun suasana prosesi ngaben ini, menjadikan penonton termasuk para turis ikut larut berbaur dalam gairah ritual.
Seorang turis dengan ikat kepala dan kain sarung ikut berbaur di sekitar para penabuh gamelan yang juga tak kalah dalam bergaya.
Gelondongan bambu telah diangkat dan berpindah ke pundak untuk kemudian dibawa melanjutkan perjalanan menuju lokasi upacara selanjutnya, diiringi dengan suara musik gamelan yang bersemangat.
Seorang turis bule dengan pasangannya ikut terbawa suasana ketika berjalan beriringan dengan para penabuh gamelan.
Pada penggal jalan lainnya seorang pria muda bule berdiri di pinggir jalan sambil memeluk dua teman gadisnya itu ketika rombongan para pengusung wahana tengah melintas di depan mereka. Siapa pun yang melihat prosesi upacara ngaben ini memang akan ikut larut terbawa suasana.
Mungkin karena kelelahan dan ditambah dengan licinnya bambu karena siraman air dari mobil pemadam kebakaran, bilah bambu lepas dari pegangan dan jatuh ke permukaan aspal di dekat lokasi akhir prosesi ngaben.
Seorang anak remaja dibawa meninggalkan lokasi untuk diberi perawatan karena cidera ketika ikut beramai-ramai memanggul petulangan yang lepas saat melakukan atraksi.
Suasana di pekarangan yang digunakan untuk prosesi akhir upacara Ngaben. Satu persatu petulangan tiba di tempat dan diletakkan berjejeran, diantara kerumunan penonton. Sementara keluarga bersiap melakukan ritual berikutnya.
Petulangan dengan berbagai bentuk binatang sesuai dengan status dan pekerjaan si mayit selama mereka hidup diletakkan berjejer di atas panggung berbantal bambu.
Api yang berkobar dengan dahsyat telah menghabiskan badan petulangan, menyisakan kepala dan rangka badannya. Pembakaran petulangan ini berlangsung di lokasi ngaben banjar Gede, Batuan.
Pandangan dari dekat memperlihatkan bahwa rangka petulangan itu nampaknya terbuat dari besi, sehingga memang tidak dimaksudkan untuk habis terbakar, dan mungkin juga dimaksudkan sebagai penampung abu para mendiang setelah dibakar.
Beberapa orang warga tengah membuka punggung binatang untuk dimasukkan nanti tulang belulang jenazah mendiang yang kemudian akan dibakar setelah semua upacara ritual selesai dilakukan.
Punggung kedua petulangan ini telah terbuka, siap untuk mewadahi jenazah yang akan dibakar. Lengkung badan binatang tampak dibuat dari irisan batang bambu yang dianyam.
Semua punggung binatang petulangan telah dibuka lebar dan siap menerima jenazah atau tulang belulangnya.
Beberapa orang tengah bersiap mengeluarkan jenazah dari tempat penyimpanan sementara untuk dibawa ke lokasi petulangan. Foto-foto si mati tampak dipajang di sebelah atas.
Kain putih yang berisi jasad atau tulang belulang mendiang telah dikeluarkan dari tempat penyimpanan sementara untuk dibawa ke lokasi petulangan dan dingaben.
Keluarga mendiang tampak berjalan membawa perlengkapan upacara menuju ke lokasi petulangan, sementara di belakangnya berjalan para pria yang membawa bungkusan kain putih berisi jasad para mendiang.
Sesampainya di petulangan mereka menglilingi panggung beberapa kali sebelum akhirnya meletakkan semua sesajian, dan para pria memasukkan bungkusan kain ke dalam punggung petulangan.
Prosesi memutari panggung petulangan masih berlangsung beberapa kali, sebuah ritual yang memiliki arti tertentu.
Kepercayaan dan pengabdian, serta kesadaran bahwa suatu saat mereka pun akan mengalami hal yang sama, membuat adat seperti ini akan terus berlangsung selama berabad-abad.
Tempat penyimpanan sementara jasad yang akan menjalani prosesi ngaben. Ada yang satu keluarga satu orang, ada lagi yang lebih dari satu.
Serombongan pemuda dengan setengah berlari membawa jenazah yang sepertinya baru digali, dan jenazah inilah yang rupanya ditunggu-tunggu untuk dimasukkan secara bersama-sama ke dalam petulangan. Sayangnya kami tak sempat menunggu sampai proses pembakaran berlangsung.
Diubah: Desember 12, 2024. Label: Bali, Gianyar, Ngaben, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.