Gunung Tajam Belitung: Jodoh Ziarah

Satu hal yang membuat saya tertarik untuk berjalan kaki mendaki Gunung Tajam Belitung, setelah meninggalkan Air Terjun Gurok Beraye, adalah karena ada makam Syekh Abubakar Abdullah, seorang ulama terkenal asal Pasai yang menyebarkan Agama Islam di wilayah Buding, Belitung, yang ketika itu masih berstatus Ngabehi. Kisah tentang ulama ini saya temui lagi saat berkunjung ke Museum Badau.

Syekh Abubakar Abdullah konon masuk ke Pulau Belitung lewat aliran Sungai Buding dan kemudian bermukim di wilayah Ngabehi Buding. Di tempat ini ia berhasil meng-Islamkan Tuk Kundo, seorang sakti yang kemudian menjadi murid dan membantunya dalam berdakwah.

Hal lain yang membuat saya tertarik adalah ketika membaca lagi tengara yang tertancap di pinggir jalan setapak, yang menyebutkan bahwa jarak tempuh ke Makam Syekh Abubakar Abdullah 'hanya' 350 m. Tidak jauh, pikir saya, sehingga dengan tenang kami pun berjalan masuk ke jalan setapak, dan mulai mendaki Gunung Tajam, lupa bahwa kami tidak membawa bekal minuman.

gunung tajam belitung

Tengara jarak ke Makam Syekh Abubakar Abdullah di Gunung Tajam yang boleh dibilang "menyesatkan". Tidak terpikir sedikit pun bahwa saya akan mendaki gunung, dengan kemiringan yang tajam di beberapa ruas. Yang terpikir saat itu adalah untuk melihat makam yang jaraknya menurut tengara itu tak begitu jauh, dan kebetulan makam itu ada di Gunung Tajam.

Sebenarnya, jika kami membawa bekal minuman, dan sedikit lebih sabar dengan tak terlalu memikirkan soal waktu, maka situasinya mungkin akan berbeda. Syekh Abubakar Abdullah meninggal lantaran dibunuh oleh KA Bustam atau Ki Galong (Depati Cakraningrat IV, 1700-1740), yang tidak suka kepadanya lantaran merasa kekuasaannya dirongrong.

KA Bustam adalah penganut mistik kuat yang ia ikuti dari Ki Mending, kakeknya. Jasad Syekh Abubakar Abdullah yang sempat dikubur selama tiga bulan kemudian digali oleh Tuk Kundo, dan dimakamkan di puncak Gunung Tajam Laki. Puncak sebelumnya disebut Gunung Tajam Bini.

gunung tajam belitung

Belum sampai sepuluh menit berjalan menyusuri jalan setapak Gunung Tajam, kami sampai di sebuah jembatan kecil dengan air bening mengalir di bawahnya. Suara gemericik air terdengar di telinga, pertanda adanya air yang mengucur dari sebuah ketinggian. Mungkin itu adalah suara Air Terjun Gurok Beraye. Sejenak berhenti melihat batuan besar dimana air mengalir, kami pun meneruskan langkah.

Saya sempat memotret ketika Bang Karna duduk berselonjor beristirahat di sela-sela batuan pada Gunung Tajam, mengikuti saya yang telah berhenti sebelumnya. Jalan terus mendaki, cukup untuk lewat satu orang. Di beberapa tempat terdapat pohon tumbang, dan tanah longsor sehingga perlu berjalan sedikit meilipir.

Meskipun usianya jauh lebih muda, namun Bang Karna membawa gembolan kamera yang lumayan berat di punggungnya, sehingga cukup membantu menguras tenaganya. Setengah jam mengayun kaki, tidak terlihat ada tanda-tanda makam. Saat hati mulai ragu tiba-tiba ada angin segar berhembus dari sisi sebelah kiri, seolah memberi semangat kami untuk terus mendaki.

gunung tajam belitung

Sebuah tanjakan Gunung Tajam yang kami lewati, sekitar lima menit setelah beristirahat. Tanjakan seperti ini berselang-seling berkali-kali dengan lintasan berkemiringan sedikit.

Setiap kali melewati tanjakan, ada harapan bahwa makam akan terlihat, namun harapan tinggal harapan. Begitu sampai di atas tanjakan, lintasan agak landai lainnya telah menanti. Kesabaran saya memang tipis saat itu oleh sebab di kepala masih tercetak jarak yang hanya 350 meter saja.

Suara air terjun yang sempat timbul tenggelam, sudah tidak terdengar lagi. Hanya bunyi-bunyian serangga penghuni hutan yang menemani perjalanan kami. Hampir satu setengah jam kemudian sampailah di sebuah lokasi, dimana di sebelah kanan terdapat jurang terbuka tanpa pohon penghalang, sehingga bisa melihat pemandangan perbukitan yang lebih rendah serta dataran di bawah sana.

Pemandangan indah yang sejenak bisa kami nikmati dari sebuah titik di Gunung Tajam. Sangat menghibur, setelah berjalan menapaki jalan yang lumayan sulit di beberapa tempat, dan haus mulai menyergap karena keringat terus mengucur.

Tapi apa yang hendak diminum? Titik ini ada pada ketinggian 410 mdpl, begitu data yang saya catat dari aplikasi GPS di Galaxy Note yang saya bawa. Belakangan baru saya tahu bahwa makam yang saya cari itu ada pada ketinggian 510 mdpl.

Pemandangan sedikit agak ke sebelah kanan sedikit terhalang pohon-pohon mulai meninggi, dan tidak lama lagi mungkin sudah menutupi pemandangan dari Gunung Tajam yang indah ini. Sementara saya beristirahat, Bang Karna naik sendiri untuk melihat apakah sudah ada tanda-tanda ujung pendakian.

Beberapa saat kemudian saya menyusul, namun belum lama melangkah saya berpapasan dengan Bang Karna yang berjalan turun, mengatakan masih belum juga ada tanda-tanda, dan ia mau menunggu saja di tempat tadi kami beristirahat.

Masih penasaran, saya meneruskan langkah, meskipun sendirian. Langit Belitung mulai mendung. Setelah sepuluh menit berjalan mulailah timbul keraguan, karena belum juga terlihat makam. Di sebelah kiri saya melihat ada kain yang terikat pada sebatang pohon. Entah siapa yang melakukannya dan untuk tujuan apa.

Di situlah saya memutuskan untuk berhenti mendaki Gunung Tajam, karena sejauh mata memandang ke depan, hanya terlihat tanjakan yang harus didaki lagi, dan tidak ada keyakinan bahwa itu akan merupakan tanjakan yang terakhir.

Saya mengeluarkan Galaxy Note dan membuka aplikasi GPS. Signal Telkomsel bagus. Sejenak menunggu, data pun muncul di layar. Saya berada pada GPS -2.78567, 107.8719. Sayang saya lupa mencatat ketinggiannya, namun mungkin di kisaran 450 mdpl. Membutuhkan waktu satu jam empat puluh lima menit untuk sampai di titik ini.

gunung tajam belitungBang Karna dengan gembolan tas kamera di punggungnya pada undakan di awal pendakian di Gunung Tajam. Satu hal penting yang tak boleh dilupakan oleh pejalan adalah jangan pernah meninggalkan minuman di kendaraan, betapa pun "pendeknya" jarak, karena bilangan jarak sering menyesatkan.

gunung tajam belitungDanau kecil dengan air yang sangat bening sempat menggoda kami untuk merasakan kesegarannya. Tak ada hunian di atas sana, membuat kejernihan air gunung ini masih bisa terjaga dengan baik. Pepohonan yang rimbun menyimpan curahan air hujan hingga berbulan-bulan lamanya dan mengalir secara bertahap ke bawah gunung.

gunung tajam belitungAliran air sungai Gunung Tajam yang melewati bebatuan dengan tekstur yang tak beraturan. Batuan gunung adalah magma yang telah membeku, dan itu berarti bahwa dahulu gunung ini merupakan gunung berapi yang aktif dan pernah meletus memuntahkan lahar.

gunung tajam belitungRiak air gunung yang jernih mengalir diantara bebatuan hitam yang keras. Di latar depan adalah hamparan batu gunung yang cukup lebar yang cukup nyaman sebagai tempat untuk bersantai sejenak. Ini bisa menjadi penanda besarnya aliran lahar yang kemudian dingin dan membeku di tempat ini.

gunung tajam belitungSalah satu potongan lintasan yang kami lalui dengan gerumbul dedaunan yang cukup rapat di kanan kiri jalan setapak. Mata pun harus selalu waspada saat melangkah karena bebatuan dan akar-akar pohon sebesar lengan malang melintang di memotong jalan setapak yang kami lalui.

gunung tajam belitungBang Karna duduk berselonjor beristirahat di sela-sela batuan pada jalan setapak di Gunung Tajam, mengikuti saya yang telah berhenti sebelumnya. Jalan terus mendaki, cukup untuk lewat satu orang. Di beberapa tempat terdapat pohon tumbang, dan tanah longsor sehingga perlu berjalan sedikit meilipir.

gunung tajam belitungHampir satu setengah jam kemudian sampailah di sebuah lokasi, dimana di sebelah kanan terdapat jurang terbuka tanpa pohon penghalang, sehingga bisa melihat pemandangan perbukitan yang lebih rendah serta dataran di bawah sana. Ini adalah tempat terindah yang kami lihat di Gunung Tajam, membuat saya tak terlalu menyesal telah mendaki di sana, tanpa bekal minuman.

gunung tajam belitungPemandangan sedikit agak ke sebelah kanan di area yang sama sedikit terhalang pohon-pohon mulai meninggi, dan tidak lama lagi mungkin pepohonan itu sudah akan menutupi pemandangan dari Gunung Tajam yang indah ini.

gunung tajam belitungLintasan jalan setapak pendakian Gunung Tajam dengan pepohonan rapat mengapitnya. Meski saat itu tak ada orang mendaki lintasan ini selain kami, namun terlihat bahwa lintasan ini belum terlalu lama ditapaki oleh kaki manusia.

gunung tajam belitungDi sekitar pohon dengan ikat kain di batangnya inilah akhirnya saya memutuskan untuk menghentikan pendakian. Entah siapa yang menalikan kain itu di sana dan untuk tujuan apa. Boleh jadi sebenarnya sebagai penanda bahwa puncak dimana makam berada sudah dekat. Namun tampaknya saya belum berjodoh untuk sampai ke puncak.

gunung tajam belitungPotongan undakan di Gunung Tajam dengan undakan yang meski sudah terlihat menua namun kondisinya masih relatif baik dan mudah untuk ditapaki, dengan kemiringan sekitar 30 derajat. Cukup landai.

gunung tajam belitungPemandangan jalan setapak yang terlihat saat kami telah berjalan untuk menuruni lereng Gunung Tajam. Sampah dedaunan yang relatif bersih di tengah memperlihatkan jejak tapak manusia di tempat ini.

gunung tajam belitungPohon tumbang seperti ini merupakan sebagian dari rintangan yang kami lalui ketika mendaki dan menuruni lereng Gunung Tajam. Diperlukan gergaji mesin portable untuk memotongnya, jika ingin menghemat tenaga dan waktu.

gunung tajam belitungSebilah papan menjadi jembatan sederhana untuk kami bisa melewati sebuah parit. Entah siapa yang membawanya ke sana namun kami harus berterima kasih kepada orang itu karena telah mempermudah perjalanan. Di tempat lain kami harus berjalan melipir dengan hati-hati karena lintasan yang sempit dengan jurang di satu sisinya.

gunung tajam belitungBeginilah penampakan Gunung Tajam dari jalan kabupaten beberapa saat setelah kami meninggalkan kawasan hutan di kaku gunung. Entah di titik mana perjalanan kami berakhir di atas sana, dan di sebelah mana menara makam itu berada. Semoga ada kesempatan lain.

Setelah berpikir sekali lagi, saya pun berbalik langkah menuruni Gunung Tajam. Biarlah kali ini saya tidak berjodoh dengan makam sang ulama. Mungkin di lain waktu.

Kurang dari sepuluh menit saya sudah bertemu Bang Karna, dan mengajaknya turun setelah menjawab pertanyaannya bahwa makam tidak saya temukan. Perjalanan turun membutuhkan waktu jauh lebih cepat. Tidak sampai satu jam kami telah sampai kembali di tempat parkir kendaraan, segera masuk ke dalam mobil dan menenggak air putih yang tersimpan manis.

Sejenak menata nafas, Bang Karna pun menjalankan mobil menuruni Gunung Tajam. Tidak satu pun manusia kami jumpai sampai bertemu lagi dengan jalan besar. Pengalaman mendaki Gunung Tajam ini cukup mengesankan, meski tidak sampai ke puncaknya. Selain tidak membawa air minum, ada kekhawatiran pada mendung yang menggantung di langit, dan pikiran bahwa masih banyak tempat lain yang ingin saya kunjungi.

Gunung Tajam Belitung

Alamat : Dusun Air Pegantungan, Desa Kacang Botor, Kecamatan Badau, Belitung. Lokasi GPS : parkir -2.78062, 107.85861, Waze. Hotel di Belitung, Tempat Wisata di Belitung, Peta Wisata Belitung.

Diubah: Desember 10, 2024.
Label: Bangka Belitung, Belitung, Gunung, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.

aroengbinang,
seorang penyusur jalan.
Traktir BA? Scan GoPay, atau via Paypal. GBU.
« Baru© 2004 - IkutiLama »