Kelenteng Tjoe Hwie Kiong kami kunjungi setelah selesai memotret Kali Brantas, namun becak yang kami tumpangi harus dikayuh dengan cara sedikit memutar karena Jalan Yos Sudarso yang berada tepat di depan Kelenteng Tjoe Hwie Kiong adalah jalan yang dibuat hanya untuk satu arah saja. Hal pertama yang menarik perhatian saya adalah pintu dan tembok samping Kelenteng Tjoe Hwie Kiong. Warna merah dan kuning yang sangat berani pada dinding bermotif susunan bata Kelenteng Tjoe Hwie Kiong ini terlihat sangat mencorong. Ornamen pada pintu lengkungnya khas oriental dan terlihat indah.
Kelenteng Tjoe Hwie Kiong Kediri dibangun pada 1895 oleh orang-orang keturunan Tionghoa di Kediri yang secara bergotong royong mengumpulkan dana untuk bersama-sama membangung tempat ibadah ini. Mereka kebanyakan adalah para imigran yang berasal dari daerah Fujian di Tiongkok yang datang ke Hindia Belanda untuk memperbaiki nasib.
Pintu gerbang Kelenteng Tjoe Hwie Kiong dengan dinding yang juga bermotif susunan bata berwarna merah menyala dan garis kuning. Lubang masuk ke dalam kelenteng berbentuk lengkung bertulis "Yayasan Tri Dharma Tjoe Whie Kiong Kediri", dan hiasan guci serta bunga berbentuk lidah api ada di atas temboknya.
Di sebelah kiri dan kanan bangunan utama Kelenteng Tjoe Hwie Kiong terdapat menara pembakar kertas sembahyang (Kim Lo). Di halaman sebelah kanan juga terdapat panggung semi permanen dengan lukisan bangunan khas Tionghoa di puncak pegunungan dengan tebaran awan dan burung bangau yang terbang.
Setelah dengan sabar berbincang-bincang hampir setengah jam dengan salah seorang pengurus, akhirnya kami diijinkan untuk masuk ke dalam ruangan Kelenteng Tjoe Hwie Kiong untuk memotret. Pengurus yang usianya telah lewat setengah abad itu pun ikut mendampingi kami berkeliling di dalam area Kelenteng Tjoe Hwie Kiong ini.
Memasuki halaman kelenteng Tjoe Hwie Kiong terlihat patung Burung Hong, semacam burung Phoenix, berukuran besar dengan detail ukiran yang sangat indah. Jumbai-jumbai ekor pendeknya menyerupai lidah-lidah api kemerahan dengan tiga bulu ekornya menjuntai panjang seakan hendak merengkuh bola matahari di atasnya.
Di seberang patung burung Hong terdapat patung naga emas yang tak kalah besarnya. Bersama buruh Hong, patung naga itu menjadi penjaga regol Kelenteng Tjoe Hwie Kiong dengan sisik-sisik berapi kuning merah, seakan tengah terbang melayang di atas gulungan awan putih biru. Mulut naga terbuka garang dan sepasang sungutnya berdiri tegak. Kelenteng Tjoe Hwie Kiong memiliki tiga buah pintu utama di tengah, dan pintu lengkung di sisi samping kiri kanannya.
Di wuwungan tengah Kelenteng Tjoe Hwie Kiong terdapat sepasang naga, sementara di wuwungan kedua terdapat sepasang ikan keemasan yang di masing-masung punggungnya terdapat patung pendeta. Di bawah patung naga terdapat relief orang-orang suci yang tengah menunggang kuda, dan di tengah-tengah sepasang naga itu terdapat patung pria bersila yang dikepalanya menjunjung semacam bakul. Ornamen garis-garis bulat melingkar merah dan kuning, dengan sepasang naga di tengahnya, terdapat pada dinding kiri kanan depan Kelenteng Tjoe Hwie Kiong.
Seorang wanita lewat baya tampak tengah bersembahyang di depan hiolo Dewa Langit sambil memegang hio yang sudah dibakar. Setelah bersoja tiga kali, hio pun ditancapkan pada hiolo di depannya. Hioswa, yang populer dengan sebutan hio, adalah alat sembahyang utama bagi orang Tionghoa, baik yang menganut agama Buddha, Konghucu, Tao maupun Hindu.
Saat pengunjung menyalakan hio, api yang menyala di ujung hio tidak boleh ditiup, tetapi api dimatikan dengan cara mengibas-ngibaskan. Asap hio yang lurus menusuk langit mengisyaratkan bahwa doa seseorang terkirim langsung dan diterima oleh para dewa di langit, sedangkan asap hio yang menyebar atau mengalir ke bawah, bisa menjadi pertanda bahwa doanya tidak dikabulkan.
Berdiri pada sebuah dudukan kayu terdapat empat buah tombak panjang dengan ornamen ramai dan indah. Pada pilar kayu penopang atap kelenteng, selain ada relef naga yang melilit sepanjang pilar, juga ada huruf-huruf Tionghoa yang biasanya berisi ajaran kebajikan atau pengingat. Di latar belakang kiri adalah altar Hok Tek Ceng Sin (Dewa Bumi) yang berkahnya selalu diharapkan selalu mengucur kepada para petani dan pedagang.
Di dalam ruang utama Kelenteng Tjoe Hwie Kiong juga ada Altar Tri Nabi Agung, berisi patung Lao Tze bagi penganut Tao dengan lambang Yin-Yang, arca Buddha Sakyamuni bagi penganut Buddha dengan lambang Swastika, dan rupang Kong Hu Cu bagi penganut Konghucu dengan lambang Genta Suci. Bagi masyarakat Tionghoa, membakar hio di depan altar dianggap merupakan cara untuk berkomunikasi dengan arwah leluhur dan orang suci. Ketika seseorang berdoa sambil memegang hio, maka jiwanya menjadi transparan, sehingga para dewa pun tahu apa yang tersimpan di dalamnya.
Altar Kwan Sing Tee Kun (Kwan Sing Tek Kun) atau Kwan Kong juga ada di Kelenteng Tjoe Hwie Kiong. Ia jenderal terkenal jaman Sam Kok (165 – 219 M), yang setelah mencapai kesempurnaan bergelar Bodhisatva Satyakalama Kwan Seng Tek Kun. Gelar Tek Kun (Di Jun) adalah gelar Bodhisatva pria, dan Pho Sat adalah gelar Bodhisatva wanita. Kwan Kong juga bergelar Fu Mo Da Di (Penakluk Mara), dan Guan Fa Li Zu (Penegak Hukum).
Saya sempat melihat tempat pemujaan bagi Kwan Se Im Po Sat (Namo Avalokitesvara Bodhisatva) yang berada di bagian belakang kelenteng. Saat itu pengurus kelenteng tidak menegur ketika saya memotret rupang dari dekat. Bahkan ketika pengurus lain mengingatkan agar tidak memotret, pengurus yang mengantar saya tidak memperdulikannya.
Ada menara pembakar kertas (Kim Lo) di sebelah pintu samping Kelenteng Tjoe Hwie Kiong yang langsung keluar ke jalan raya memunggungi tembok dengan relief indah bergambar seorang dewi yang memangku sebuah musik petik, menyerupai Dewi Saraswati dalam agama Hindu, serta pohon dengan tebaran bunga dilatari arakan mega putih dan langit biru.
Di halaman belakang Kelenteng Tjoe Hwie Kiong juga terdapat kolam jernih dengan loji kecil berdiri di bagian atasnya. Kolam yang ukurannya tak begitu luas itu berisi puluhan Ikan Koi besar dengan warna-warni yang sangat indah. Ikan Koi adalah sejenis ikan karper (Cyprinus carpio) yang berasal dari Tiongkok dan dianggap membawa keberuntungan bagi pemiliknya.
Kelenteng Tjoe Hwie Kiong Kediri
Alamat : Jl. Yos Sudarso No 148, Kediri, Jawa Timur. Lokasi GPS : -7.82002, 112.00969, Waze. Hotel di Kediri, Tempat Wisata di Kediri, Peta Wisata Kediri.Patung Burung Hong, semacam burung Phoenix, di halaman Kelenteng Tjoe Hwie Kiong dengan detail ukiran yang sangat indah. Jumbai-jumbai ekor pendeknya menyerupai lidah-lidah api kemerahan dengan tiga bulu ekornya yang menjuntai panjang seakan hendak merengkuh bola matahari di atasnya.
Patung naga emas penjaga regol Kelenteng Tjoe Hwie Kiong dengan sisik-sisik berapi kuning merah, seakan tengah terbang melayang di atas gulungan awan putih biru dengan mulut terbuka garang dan sepasang sungut berdiri tegak.
Patung naga emas yang matanya merah menyala dan mulutnya hendak melahap bulatan merah. Di latar belakang adalah panggung semi permanen dengan lukisan bangunan khas Tionghoa di puncak pegunungan dengan tebaran awan dan burung bangau yang terbang.
Hiolo Dewa Langit yang berkaki tiga dan diapit dua ekor naga. Saat pengunjung menyalakan hio, api yang menyala di ujung hio tidak boleh ditiup, tetapi api dimatikan dengan cara mengibas-ngibaskan. Asap hio yang lurus menusuk langit mengisyaratkan bahwa doa seseorang terkirim langsung dan diterima oleh para dewa di langit, sedangkan asap hio yang menyebar atau mengalir ke bawah, bisa menjadi pertanda bahwa doanya tidak dikabulkan.
Pandangan lebih dekat pada hiolo bertulis nama kelenteng yang diukur pada badannya yang menonjol keluar. Hiolo Dewa Langit umumnya berbentuk seperti ini, berkaki tiga dan diapit sepasang naga, namun tak semua kelenteng yang pernah saya kunjungi selalu memakai hiolo sejenis ini.
Pemandangan yang terlihat dengan menembus batang hio yang ada di hiolo Dewa Langit. Pada kayu di latar depan, selain ornamen bunga dan binatang, ada pula pahatan kisah-kisah klasik Tionghoa yang mengandung pesan moral dan kebajikan. Sementara di latar belakang adalah hiolo untuk para sucow.
Pagoda beratap tumpang model pelana ini berada di pojok halaman, dengan delapan tiang yang semuanya dibelit dengan lukisan naga. Pada risplang juga terdapat lukisan sepasang naga berebut mustika matahari. Tempat ini tampaknya dipakai untuk menyimpan joli yang biasa diarak pada waktu berlangsungnya ritual tahunan.
Ornamen lubang hawa berbentuk garis-garis bulat melingkar indah berwarna merah dan kuning, dengan sepasang naga di bagian tengahnya, terdapat pada dinding depan samping kiri dan kanan Kelenteng Tjoe Hwie Kiong.
Lampion dengan dua bentuk yang berbeda serta aksara Tionghoa pada bagian teras Kelenteng Tjoe Hwie Kiong. Setiap lampion menggantung kartu yang berisi tulisan nama penyumbangnya. Selama lampion menggantung di sana maka pahala dan rejeki mengalir terus kepada si penyumbang.
Sebuah genta besar cukup tebal tampak menggantung pada belandar dekat dinding di dalam ruangan utama kelenteng. Di sebelah menggantung pemukulnya yang dipakai dengan cara mengayunkannya. Genta merupakan tengara untuk dimulainya ritual sembahyang, dan memiliki makna fiosofi.
Bedug atau tambur yang biasanya juga selalu ada di setiap kelenteng yang saya kunjungi. Bedug kadang diletakkan bersisian dengan genta, kadang bersebarang pada sayap ruangan yang berbeda. Pada badan bedug ini tertoreh tanggal kedatangannya di kelenteng, yaitu 18-4-1990 atau 23-3-2541 menurut kalender Tionghoa.
Berdiri pada dudukan kayu terdapat empat buah tombak panjang dengan ornamen ramai dan indah. Pada pilar kayu penopang atap kelenteng, selain ada relef naga yang melilit sepanjang pilar, juga ada huruf-huruf Tionghoa yang biasanya berisi ajaran kebajikan atau pengingat. Di latar belakang kiri adalah altar Hok Tek Ceng Sin (Dewa Bumi).
Hiolo Kelenteng Tjoe Hwie Kiong berbentuk trapesium yang berada di depan altar utama atau di belakang hiolo Dewa Langit. Di bawah hiolo terdapat tulisan Cung Sien Bing atau Para Suco, yang sepertinya merupakan tempat sembahyang kepada para leluhur dan orang tua yang dihormati. Bagi masyarakat Cina, membakar hio dianggap merupakan sebuah cara untuk berkomunikasi dengan arwah leluhur dan orang suci. Ketika seseorang berdoa di depan altar dewa sambil memegang hio, maka jiwanya menjadi transparan, sehingga para dewa pun tahu apa yang tersimpan di dalamnya.
Pemandangan pada sisi kanan ruang utama Kelenteng Tjoe Hwie Kiong dengan lampion bulat yang bergelantungan, ukiran naga pada pilar, tulisan Tionghoa, dan altar-altar di latar belakang. Semula saya tidak diperbolehkan untuk memotret rupang di altar, sehingga rupang di altar utama ini tidak ada foto jarak dekatnya.
Altar Kwan Sing Tee Kun (Kwan Sing Tek Kun), atau yang lebih dikenal sebagai Kwan Kong, seorang Jenderal terkenal pada jaman Sam Kok (Tiga Negara, 165 – 219 M). Ia dipercaya telah mencapai kesempurnaan dan mendapat gelar Bodhisatva Satyakalama Kwan Seng Tek Kun. Dalam agama Buddha, gelar Tek Kun (Di Jun) adalah gelar Bodhisatva untuk pria, sedangkan Pho Sat adalah gelar Bodhisatva untuk wanita. Kwan Kong juga memiliki gelar Fu Mo Da Di (Bodhisatva Penakluk Mara), dan Guan Fa Li Zu (Bodhisatva Penegak Hukum).
Pandangan lebih dekat pada altar sembahyang bagi Lao Tze (Dai Sang Lao Cuin, Thay Shang Lo Jun) dengan sejumlah patungnya dalam berbagai ukuran, serta patung pengawalnya.
Altar pemujaan bagi Buddha Sakyamuni yang patungnya dalam posisi duduk dengan posisi tangan mudra tertentu. Lampu listrik telah mengalahkan nyala lampu lilin dan lampu minyak, meski dua yang terakhir masih terus digunakan.
Sudut pandang yang sedikit berbeda dari sebuah foto yang terdahulu, memperlihatkan sisi kanan ruang utama Kelenteng Tjoe Hwie Kiong. Meski saat itu saya tidak diperbolehkan untuk memotret patung yang ada di altar, namun larangan itu melunak setelah kami berjalan selama beberapa saat di dalam kelenteng.
Altar Kwan Sing Tee Kun (Kwan Sing Tek Kun), atau yang lebih dikenal sebagai Kwan Kong, seorang Jenderal terkenal pada jaman Sam Kok (Tiga Negara, 165 – 219 M). Ia dipercaya telah mencapai kesempurnaan dan mendapat gelar Bodhisatva Satyakalama Kwan Seng Tek Kun. Dalam agama Buddha, gelar Tek Kun (Di Jun) adalah gelar Bodhisatva untuk pria, sedangkan Pho Sat adalah gelar Bodhisatva untuk wanita. Kwan Kong juga memiliki gelar Fu Mo Da Di (Bodhisatva Penakluk Mara), dan Guan Fa Li Zu (Bodhisatva Penegak Hukum).
Pandangan lebih dekat pada altar Kwan Sing Tee Kun. Adanya lilin elok dengan berat puluhan kati di altar ini bisa menjadi indikasi tentang penghormatan orang Tionghoa terhadap sosok dewa ini.
Altar Kwan Se Im Po Sat (Namo Avalokitesvara Bodhisatva) yang berada di bagian belakang kelenteng. Saat itu pengurus kelenteng tidak menegur ketika saya memotret rupang dari dekat. Bahkan ketika pengurus lain mengingatkan agar tidak memotret, pengurus yang mengantar saya tidak memperdulikannya.
Pandangan lebih dekat pada rupang atau arca Kwan Si Im Po Sat (Namo Avalokitesvara Bodhisatva).
Akses pintu samping dengan sebuah kimlo, pagoda tempat membakar kertas sembahyang bagi leluhur, serta lukisan timbul pada tembok yang elok.
Menara pembakar kertas (Kim Lo) di sebelah pintu samping Kelenteng Tjoe Hwie Kiong yang langsung keluar ke jalan raya memunggungi tembok dengan relief indah bergambar seorang dewi yang memangku sebuah alat musik petik, menyerupai Dewi Saraswati dalam agama Hindu, serta pohon dengan tebaran bunga dilatari arakan mega putih dan langit biru.
Lukisan dan relief indah pada dinding kelenteng Tjoe Hhwie Kiong menggambarkan seorang pendeta yang tengah duduk bersimpuh di atas dudukan membulat dengan rambut digelung ke atas, sementara di sebelah kanan ada pendeta lainnya dalam posisi berdiri dengan tangan menangkup di depan dada bersebelahan dengan seekor naga. Di ujung kiri ada lagi relief orang, sedangkan di latar belakang adalah pemandangan perbukitan dan gunung dimana terdapat sebuah pagoda tinggi dan tempar ibadah, dengan awan berarak di langit yang biru.
Di halaman belakang Kelenteng Tjoe Hwie Kiong juga terdapat kolam jernih dengan loji kecil di atasnya. Kolam itu berisi puluhan Ikan Koi besar dengan warna-warni yang sangat indah.
Seekor Ikan Koi dengan noktah merah di atas kepalanya yang terlihat sangat cantik. Ikan Koi adalah sejenis ikan karper (Cyprinus carpio) yang berasal dari Tiongkok dan dianggap membawa keberuntungan bagi pemiliknya.
Memandang ikan-ikan yang hilir mudik di dalam kolam konon bisa meredakan kegelisahan dan memberi ketenangan pada pikir.
Keunikan dan keanehan ikan ini adalah lukisan pada sisiknya yang beraneka bentuk dan warna. Semakin indah dan unik polanya, semakin mahal harganya.
Pemandangan lainnya pada bangunan pagoda serta naga yang berada di samping akses masuk ke dalam kelenteng.
Lita Jonathans, pemilik La Lita Arts & Crafts dan Villa La Lita, bersiap turun dari atas becak di sebelah pintu samping Kelenteng Tjoe Hwie Kiong. Warna merah dan kuning yang sangat berani pada dinding bermotif susunan bata Kelenteng Tjoe Hwie Kiong ini terlihat sangat mencorong.
Ornamen Ki Lin pada pintu samping Kelenteng Tjoe Hwie Kiong. Ki Lin adalah binatang mitos yang konon hanya muncul pada saat kelahiran atau meninggalnya orang-orang besar. Ada yang menyebut Ki Lin bertubuh seperti kijang, berkepala dan bersisik naga, namun ada pula yang menyebut dengan bentuk berbeda.
Pandangan samping gerbang Kelenteng Thoe Hwie Kiong Kediri yang elok. Untuk memotret bagian dalam Kelenteng Tjoe Hwie Kiong diperlukan kesabaran dan sedikit usaha, karena pada mulanya kami hanya diperbolehkan memotret bagian luar Kelenteng Tjoe Hwie Kiong saja.
Diubah: Desember 13, 2024.
Label: Jawa Timur, Kediri, Kelenteng, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.