Dalam perjalanan ke Lembah Harau inilah kami sempat mampir sejenak ke Rumah Kelahiran Bung Hatta, salah seorang proklamator kemerdekaan kita, dan menelusuri relung Ngalau Indah, sebuah gua dengan stalagmit dan stalaktit yang indah. Ngalau adalah gua dalam bahasa setempat.
Kawasan wisata dan cagar alam Lembah Harau letaknya berada sekitar 45 km dari Kota Bukittinggi, yang jika tak membawa atau menyewa kendaraan sendiri, bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum. Saat itu angkutan umum sepertinya belum begitu sering frekuensi keberangkatannya, namun mungkin sekarang sudah jauh lebih mudah untuk pergi ke sana.
Di sepanjang perjalanan menuju ke Lembah Harau, beberapa saat setelah kendaraan meninggalkan Payakumbuh, terlihat lahan persawahan subur yang luas dengan latar deretan pegunungan kapur mengesankan yang seolah muncul begitu saja dari dalam Bumi, memanjang sejauh mata memandang.
Kenapa seolah muncul begitu saja dari dalam tanah, oleh sebab kaki pegunungan kapur itu nyaris tak ada yang landai. Kaki bukitnya curam tajam nyaris tegak lurus dan berbatasan langsung dengan bidang tanah yang datar berupa persawahan atau permukiman dengan hanya beberapa rumah sederhana saja berdiri di sana.
Keberadaan bukit kapur di Lembah Harau mengindikasikan bahwa area ini dahulu pernah berada di dasar laut. Sekitar 16 juta tahun yang lalu, memang sebagian besar Pulau Sumatera tenggelam di bawah permukaan air dan hanya menyisakan sangat sedikit daratan berbentuk pulau kecil. Di jaman Miosen itu suhu rata-rata di wilayah ini diperkirakan sekitar 38°C, sedangkan sekarang rata-rata dalam setahun 28°C.
Salah satu dari tujuh air terjun Lembah Harau yang bernama Sarasah Aka Barayun, bahasa setempat yang berarti curug atau Air Terjun Akar Berayun. Sayang sekali saat itu debit air terjunnya masih sangat kecil, mungkin karena memang baru mulai masuk musim penghujan.
Empat air terjun lagi ada di kawasan Resort Sarasah Bunta, yaitu Sarasah Bunta, Sarasah Aie Luluih, Sarasah Murai dan Sarasah Aie Angek. Dua sisanya bernama Sarasah Donat dan Sarasah Talang.
Ketika itu ada sebuah peta di dekat air terjun yang menunjukkan arah ke lokasi kebun binatang, permainan sepeda air, dan Panorama, namun entah mengapa tidak satu pun diantara kami yang terpikir untuk datang ke tempat itu. Boleh jadi karena tak berharap akan melihat hal yang amat istimewa setelah sedikit kecewa melihat kecilnya debit air terjun.
Di seberang tebing Sarasah Aka Barayun ada deretan warung sederhana yang menjual minum dan makanan bagi pejalan yang telah datang jauh-jauh ke tempat ini untuk sekadar menyegarkan tenggorok kering dan menghibur perut yang lapar.
Penampakan beberapa jenis tanaman yang ketika itu dijajakan di warung-warung sederhana di seberang tebing Sarasah Aka Barayun Lembah Harau, yang salah satunya adalah Kantung Semar. Tumbuhan dari genus Nepenthes ini merupakan pemakan serangga atau tumbuhan karnivora, yang biasanya hidup di tanah miskin unsur hara dengan kelembaban tinggi.
Tidak jauh dari Sarasah Aka Barayun, terdapat sebuah Villa di kaki pegunungan kapur Harau yang bernama Lembah Echo. Sesuai namanya, echo adalah kata dalam bahasa Inggris yang berarti gema, jika orang berteriak keras di sana maka suaranya akan memantul kembali beberapa saat kemudian, bisa dua atau tiga kali memantul.
Lokasi parkir kendaraan untuk menuju ke Lembah Echo berada di dekat jalan besar, dan pengunjung harus berjalan kaki melewati sebuah jembatan di atas sungai kecil, persawahan, dan lalu melewati jalanan mendaki sebelum tiba di Villa Lembah Echo.
Area Lembah Echo cukup luas. Di dalamnya ada beberapa buah cottage, satu rumah gadang dan satu rumah lagi yang berukuran lebih kecil. Pada waktu kami datang ke sana, rumah kecil dengan dua kamar disewakan dengan tarif sekitar Rp.600 ribu per malam, atau Rp.325 ribu untuk sewa per kamar. Jika datang berpasangan, anda harus menunjukkan surat nikah untuk bisa tinggal dalam satu kamar.
Di sana ada pula cottage kecil dengan harga sewa Rp.60 ribu per kamar. Kami sempat memesan minuman dan makanan kecil di Villa Lembah Echo ini, menikmatinya di ruangan bawah Rumah Gadang, sambil merasakan keheningan suasana di kaki tebing Lembah Harau yang mengesankan ini.
Lembah Harau
Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Lokasi GPS : -0.0991498, 100.6638883, Waze.Seorang ibu tampak tengah menyiangi tanaman padi di sawahnya yang berumur masih sangat muda, dengan latar sebuah rumah gadang di atas perbukitan.
Sawah dan rumah yang berada persis di kaki bukit. Keindahan yang menyimpan bahaya.
Deretan pohon palm atau pucang terlihat berjajar elok di kaki bukit gamping.
Dua bangunan sederhana, entah rumah atau hanya tempat berteduh terlihat di lereng bukit, menandai ada aktivitas manusia di sana yang bisa membahayakan kelestarian perbukitan dan menimbulkan bom waktu bencana.
Sawah subur, gerumbul pepohonan dan pegunungan kapur di kawasan Lembah Harau.
Bentuk pegunungan kapur yang terlihat unik, menyerupai bangunan benteng pertahanan jaman dahulu.
Sebuah masjid kecil di ujung hamparan sawah di kaki perbukitan kapur.
Retakan pada salah satu bagian perbukitan kapur dengan deretan pohon palm di bawahnya.
Bentuk bukit kapur lainnya yang juga terlihat sedap dipandang. Jenis bebatuan gamping di Lembah Harau ini memang umumnya terdapat di dasar laut. Beberapa bukit kapur itu sudah diberi nama, seperti Bukit Air Putih, Bukit Jambu, Bukit Singkarak dan Bukit Tarantang.
Jika saja hanya ada satu pohon, area ini bisa diberi nama Pucang Tunggal.
Munculnya pegunungan kapur dari dasar laut bisa karena menyusutnya permukaan air dan bisa juga terdorong ke atas karena gesekan diantara lempeng-lempeng bumi.
Seorang perempuan pengendara motor tampak tengah mengisi bahan bakar yang disimpan dalam botol gelas di sebuah kios yang dilayani oleh seorang ibu, diawasi anaknya, dengan latar belakang tebing bukit kapur yang menjulang tinggi tegak di tepi Lembah Harau.
Jenis batuan di Lembah Harau diperkirakan berumur antara 30-40 juta tahun, yang terbentuk dari sisa-sisa organisme laut.
Ketinggian tebing kapur yang nyaris tegak lurus ini berkisar antar 150 hingga 200 meter.
Tebing batuan kapur ini sebagian tetap telanjang memperlihatkan warnanya yang putih kuning kecoklatan, dan sebagian lain diselimuti tumbuhan lumut, paku-pakuan dan perdu, memberi keteduhan pada mata yang memandangnya.
Tebing gamping di Sarasah Aka Barayun yang debit air terjunnya sangat kecil waktu itu. Luas Lembah Harau yang sangat mengesankan ini diperkiran sekitar 2.700km² .
Warung-warung minum dan makan di tepian Sarasah Aka Barayun, yang juga menjual tanam-tanaman koleksi langka. Di latar belakang sebelah kanan pada foto tampaknya adalah beberapa penginapan atau homestay, bagi pejalan yang ingin menikmati suasana Lembah Harau pada malam hari.
Pandangan lainnya pada bagian atas Sarasah Aka Barayun. Untuk menjaga kelestariannya, Lembah Harau telah ditetapkan sebagai Cagar Alam sejak tanggal 10 Januari 1993.
Sarasah Aka Barayun dengan pandangan sedikit digeser ke arah sebelah kanan.
Tengara yang nyaris pudar di area sekitar Sarasah Aka Barayun yang menunjukkan arah ke kebun binatang dan beberapa tempat lainnya. Sayangnya tak terpikir untuk mengunjunginya.
Undakan yang mengundang orang untuk mendakinya.
Sungai kecil yang kami lihat dari atas jembatan menuju ke Lembah Echo.
Jembatan kecil dan jalan berkelok mendaki menuju Lembah Echo. Di kawasan ini, pejalan yang berteriak keras memang akan mendengar gema suaranya, memantul dari dinding perbukitan kapur yang mengapit Lembah Harau, dan saya sudah membuktikannya sendiri...
Pemandangan ke arah jalan besar, dari sebuah titik di tanjakan menuju Lembah Echo.
Pemandangan lainnya diambil dari sekitar tempat yang sama pada waktu sedikit berbeda.
Penampakan Lembah Echo di kaki Lembah Harau yang bisa dikatakan lumayan luas. Di sana ada sejumlah cottage, rumah gadang dan satu rumah lagi yang berukuran lebih kecil.
Rumah Gadang di Lembah Echo.
Lahan persawahan Lembah Harau yang sangat subur.
Diubah: Desember 17, 2024.
Label: Air Terjun, Gunung, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.