Pintu masuknya berupa gapura candi bentar dengan pintu besi di tengahnya, dan selotnya dipasang gembok. Tak terlihat ada penjaga di tempat itu. Anehnya ketika mengintip ke dalam area terlihat ada dua orang anak muda tengah duduk-duduk di lantai cungkup. Saat ditanya salah seorang diantaranya mengatakan bahwa untuk masuk ke dalam area Arca Joko Dolog Sarabaya agar meloncat melewati dinding tembok saja. Lantaran tak melihat cara lain, akhirnya terpaksa saya ikuti sarannya.
Arca Joko Dolog Surabaya merupakan arca peninggalan kuno satu-satunya di Kota Surabaya yang saya temui sampai saat itu, dan mengingatkan saya pada Arca Totok Kerot di Kediri. Hanya saja Arca Joko Dolog bukan aseli berasal dari Kota Surabaya, namun dipindahkan dari Desa Kandang Gajah, Trowulan, oleh Residen De Salls pada tahun 1827.
Penampakan gapura candi bentar yang menjadi akses masuk ke cungkup Arca Joko Dolog Surabaya, dinaungi pohon beringin besar yang terlihat sangat tua. Di sebelah kanan terlihat tengara nama situs terbuat dari papan kayu dicat putih dengan tulisan hitam yang berbunyi "Benda Cagar Budaya Arca Joko Dolog, Perwujutan Raja Kertanegoro". Ada lagi prasasti dari kuningan pada tembok luar kompleks Arca Joko Dolog Surabaya yang menyebutkan arca itu perwujudan Kertanegara sebagai Maha Aksobhya (Sanskerta: "Yang Tak Tergerakkan").
Maha Aksobhya adalah satu dari Lima Kebijakan Buddha yang mewakili kesadaran sebagai aspek kenyataan, dan penguasa Tanah Suci Timur Abhirati (sukacita). Di sisi kiri area terdapat dua arca ganesha berukuran besar dalam kondisi bagus yang terpisah beberapa meter. Ada pula sebuah arca raksasa dengan pipi berlubang dalam posisi duduk dengan berbalut ular pada mata kakinya, ukiran melingkar pada perut dan leher, dan kantung pelir dan kemaluannya terbuka. Ini mengingatkan saya pada Candi Sukuh.
Di halaman terdapat sepasang arca ganesha dengan posisi kaki satu di depan menapak bumi dan satu lagi menekuk ke belakang, sementara satu tangannya memegang sebuah gada besar. Kedua arca ini tampaknya berfungsi sebagai arca penjaga, sebagaimana Gupala, karena berbeda bentuk dengan arca Dewa Ganesha, anak Siwa, yang bertangan empat dan kakinya biasanya pada posisi bersila.
Di ujung lorong jalan tampak siluet Arca Joko Dolog Surabaya di dalam cungkup, dicapai dengan manapaki undakan yang dijaga sepasang arca Dwarapala di ujung bawahnya. Sejumlah patung kuno diletakkan di kiri kanan jalan menuju cungkup, dan di ujungnya terdapat sepasang payung keemasan. Kebanyakan patung itu bentuknya sudah tidak sempurna.
Di depan cungkup Arca Joko Dolog terdapat sebuah arca berbentuk kepala naga bermata besar dengan detail ornamen halus yang menarik. Ada pula pasangan Lingga - Yoni dengan ukuran cukup besar yang melambangkan Dewa Siwa dan Dewi Parwati. Siwa Lingga telah dipuja oleh para penganut agama Hindu sejak 3.500 tahun SM.
Posisi duduk Arca Joko Dolog dibuat dengan sikap tubuh Bhumisparsa mudra, yang merupakan perlambang memanggil bumi sebagai saksi, dimana tangan kiri berada di atas pangkuan, dan tangan kanan menelungkup di atas lutut. Yang juga tak kalah menarik adalah adanya ukiran berbentuk selendang yang ditatah halus menyelempang pada punggungnya.
Arca Joko Dolog yang memiliki tatahan pinggang halus dilihat dari samping, dengan gerbang masuk candi bentar terlihat berada di kejauhan, dan deretan arca di sepanjang jalan. Arca ini diletakkan pada sebuah alas berornamen daun berwarna keemasan, setelah sebelumnya pernah tergeletak di atas tanah dan tanpa cungkup.
Terdapat ukiran halus beraksara Jawa dalam bahasa Sanskerta pada alas duduknya, yang dipahat rapi dan masih terlihat sangat tajam. Tulisan itu dikenal sebagai Prasasti Wurare. Sebuah laman menyebutkan bahwa Prasasti Wurare yang berangka tahun 1211 Saka ini ditulis oleh Nada, abdi Raja Kertajaya, berbentuk sajak 19 bait. Diantaranya menceritakan bahwa Arrya Bharad membagi Jawa menjadi Jenggala dan Panjalu. Pada masa Raja Jayacriwisnuwardhana dan permaisurinya, Crijayawarddhani, kedua kerajaan disatukan kembali.
Pentahbisan Kertanegara dengan gelar Cri Jnanjaciwabajra, sebagai perwujudan Jina Mahasobya dilakukan di Wurare pada 1211 Saka (1289 M), dan menyatukan kembali daerah yang terpecah sehingga rakyat sejahtera. Arrya Bharad dikenal sebagai Mpu Bharada, yang penah gagal meyakinkan Mpu Kuturan, kakaknya, untuk mendudukkan putera Airlangga menjadi Raja Bali.
Airlangga kemudian terpaksa membagi Kerajaan Kahuripan menjadi Jenggala dan Panjalu (Kediri), yang terjadi pada 963 Saka (1042 M). Kertanagara baru naik tahta sebagai Raja Singasari pada 1268 menggantikan ayahnya, Wisnuwardhana (Ranggawuni). Singasari didirikan Ken Arok yang memberontak dan berhasil membunuh Kertajaya, raja terakhir Kediri.
Ibu Kertanagara adalah Waning Hyun, putri Mahisa Wonga Teleng (anak tertua Ken Arok dari Ken Dedes). Pada 1275 Kertanegara mengirim pasukan ke Sumatera dipimpin Kebo Anabrang, dan pada 1286 Kerajaan Malayu ditaklukkan. Pada 1284 Bali takluk. Pada 1289 datang utusan Kubilai Khan bernama Meng Khi, meminta Kertanagara tunduk kepada Mongol.
Kertanagara menolak dan memotong satu telinga Meng Khi. Pada 1293, 20.000 pasukan Kubilai Khan dipimpin Ike Mese mendarat di Jawa, namun Kertanagara telah terbunuh oleh Jayakatwang, Adipati Gelang-Gelang yang memberontak. Kedatangan pasukan Mongol itu kemudian digunakan Raden Wijaya untuk menghancurkan Jayakatwang, dan mendirikan Majapahit.
Arca Joko Dolog Surabaya
Alamat : Jl. Taman Apsari, Surabaya. Lokasi GPS : -7.26480, 112.74279, Waze. Hotel di Surabaya, Tempat Wisata di Surabaya, Peta Wisata Surabaya.Arca Joko Dolog Surabaya yang diletakkan pada sebuah alas berornamen daun berwarna keemasan. Sebelumnya arca ini terletak di atas tanah dan tanpa cungkup. Terdapat ukiran halus beraksara Jawa dalam bahasa Sanskerta pada alas duduknya, yang dipahat rapi dan masih terlihat sangat tajam. Tulisan itu dikenal sebagai Prasasti Wurare.
Sepasang arca ganesha dengan posisi kaki satu di depan menapak bumi dan satu lagi menekuk ke belakang, sementara satu tangannya memegang sebuah gada besar. Kedua arca ini tampaknya berfungsi sebagai arca penjaga, sebagaimana Gupala, karena berbeda bentuk dengan arca Dewa Ganesha, anak Siwa, yang bertangan empat dan kakinya biasanya pada posisi bersila.
Sisi sebelah kiri pada halaman area Arca Joko Dolog Surabaya ini terdapat taman dengan tumbuhan perdu yang hijau asri. Candi Bentar biasa digunakan sebagai pemisah antara jaba luar dan jaba tengah. Pemisah jaba tengah dan jaba jero jero biasanya berupa gapura paduraksa. Hanya saja tidak ada gapura itu di situs ini.
Pemandangan situs Arca Joko Dolog yang ditarik lebih ke belakang lagi, memperlihatkan posisinya yang berada pada pojokan jalan. Tempat ini cukup lebar untuk menampung kendaraan pengunjung, hanya saja situs semacam ini biasanya tak pernah ramai orang.
Tengara pada dinding luar yang menyebutkan bahwa Arca Joko Dolog diduga merupakan perwujudan Raja Kertanegara sebagai Maha Aksobhya (Sanskerta: "Yang Tak Tergerakkan"), yaitu satu dari Lima Kebijakan Buddha, sebuah produk Adibuddha yang mewakili kesadaran sebagai aspek kenyataan. Aksobhya merupakan penguasa Tanah Suci Timur Abhirati (sukacita).
Sebuah arca menarik di kompleks Arca Joko Dolog, berwajah raksasa, pipi berlubang dalam posisi duduk dengan kaki di depan berbalut ular pada mata kaki, ukiran melingkar pada perut dan leher, dan dengan kantung pelir dan kemaluan terbuka.
Meskipun memiliki belalai, namun Ganesha tidak pernah digambarkan memegang gada dan tidak dengan posisi duduk seperti pada patung ini, sehingga arca ini lebih sesuai disebut sebagai arca raksasa penjaga bangunan suci dengan belalai pada wajahnya.
Arca penjaga satu lagi yang berada di bawah pohon raksasa. Arca penjaga biasanya berupa Dwarapala atau Gupala, dan rasanya baru kali ini saya melihat ada arca penjaga dengan belalai pada wajahnya.
Sebuah arca batu yang bentuk tengahnya menyerupai Lingga, hanya saja di bagian bawahnya terdapat relief kepala raksasa dengan rambut gimbal. Pada bagian atas Lingga juga terdapat relief yang menyerupai untaian dedaunan. Sayangnya hidung kepala raksasa itu sudah rusak.
Pandangan depan yang memperlihatkan hidung kepala raksasa di bagian bawah Lingga yang telah hilang. Baiknya arca ini tidak diletakkan langsung menyentuh tanah, sehingga tak mudah kotor, dan agar lama-lama tak terpendam tanah.
Sebuah arca di depan cungkup Arca Joko Dolog yang berbentuk seperti kepala naga bermata besar dengan detail ornamen halus yang sangat menarik. Arca semacam ini biasanya berada di ujung bawah undakan gapura paduraksa Kori Agung.
Di kompleks Arca Joko Dolog juga terdapat pasangan Lingga – Yoni dengan ukuran cukup besar yang melambangkan Dewa Siwa dan Dewi Parwati. Siwa Lingga telah dipuja oleh penganut agama Hindu sejak 3.500 tahun SM.
Sebuah arca kepala raksasa dengan bagian atas rata, dan sebagian mulutnya terbenam miring, terlihat di sisi sebelah kiri area situs. Arca ini tampaknya merupakan bagian dari struktur bangunan. Di belakangnya ada sebuah Lingga dan Yoni.
Sebuah arca yang telah rusak parah pada bagian depannya, kemungkinan adalah arca Ardhanari, bentuk bersatunya Dewa Siwa dan Dewi Parwati (Dewi Uma, Durga), sehingga separuhnya perempuan, dan separuh tubuhnya lagi pria.
Sebuah arca Dwarapala yang bentuknya tak lagi sempurna, berada di ujung bawah undakan cungkup Arca Joko Dolog. Posisi tangan raksasa ini tak begitu lazim, karena biasanya berada di atas lutut, menggenggam gada.
Arca Joko Dolog yang diletakkan pada sebuah alas berornamen daun berwarna keemasan. Sebelumnya Arca Joko Dolog ini terletak di atas tanah dan tanpa cungkup. Uniknya, sebuah hiolo yang biasa dijumpai di kelenteng untuk menancapkan batang hio terlihat diletakkan di depan arca.
Aksara Jawa yang memakai bahasa Sanskerta di sisi kanan Arca Joko Dolog itu masih terlihat dengan jelas. Tulisan yang disebut Prasasti Wurare berangka tahun 1211 Saka ini ditulis oleh Nada, abdi Raja Kertajaya, berbentuk sajak sebanyak 19 bait.
Pandangan samping pada Arca Joko Dolog, dengan sejumlah untaian kalung bunga yang dikalungkan pada lehernya. Kondisi arca ini boleh dikatakan masih sangat baik. Dalam kitab Nagarakretagama, disebutkan bahwa gelar keagamaan Kertanagara adalah Sri Jnanabajreswara. Dalam prasasti Tumpang (1101 Saka, 1179 M) Kertanagara disebut bergelar Sri Jnaneswarabajra.
Dudukan Arca Joko Dolog ini meskipun tidak bisa dikatakan buruk, namun kalah jauh kadar seninya dengan patung yang disangganya. Orang sekarang mestinya malu, jika orang pada jaman dahulu bisa membuat arca seanggun itu, masakan orang modern jaman sekarang tidak mampu membuat dudukan dari batu dengan relief indah yang sesuai.
Kertanegara dikenal sebagai raja yang menyatukan agama Hindu Syiwa dengan agama Buddha Tantrayana, sehingga Kertanagara juga disebut Bhatara Siwa Buddha dalam kitab Pararaton. Karena itu pula Kertanegara didharmakan sebagai Siwa-Buddha di Candi Singasari.
Arca Joko Dolog dengan ukiran selendang yang ditatah halus pada bagian belakang punggungnya. Hanya saja patung ini tampaknya sengaja dibuat tanpa mengenakan pakaian, termasuk pada bagian bawahnya.
Pandangan lebih jelas pada Prasasti Wurare yang berangka tahun 1211 Saka, ditulis oleh Nada, abdi Raja Kertajaya, berbentuk sajak 19 bait. Diantaranya menceritakan bahwa Arrya Bharad membagi Jawa menjadi Jenggala dan Panjalu. Pada masa Raja Jayacriwisnuwardhana dan permaisurinya, Crijayawarddhani, kedua kerajaan disatukan kembali.
Arca Joko Dolog dengan sikap tubuh Bhumisparsa mudra, perlambang memanggil bumi sebagai saksi, dimana tangan kiri berada di atas pangkuan, dan tangan kanan menelungkup di atas lutut. Jika tangan kanan terbuka ke atas, maka disebut Wara mudra, yang perlambang kedermawanan.
Sejumlah arca tanpa kepala terlihat diletakkan di tepi akses jalan di dalam situs. Ada baiknya arca-arca rusak itu disimpan saja, dan digantikan dengan arca yang utuh. Hanya saja keamanan situs ini juga perlu ditingkatkan, agar tidak terjadi pencurian.
Pada bagian bawah gunduk tanah di sebelah kanan ada struktur tumpukan batuan, mungkin bekas stana atau entah bekas apa. Pohon di dekatnya tampaknya dahulu merupakan pohon tua yang besar. Sebuah kendi gerabah diletakkan di atas tumpukan paving blok di belakang sebuah arca.
Di sebelah kiri pohon beringin yang sangat tua itu terlihat batu kehitaman menyerupai Lingga. Disebutkan dalam Nagarakretagama bahwa Kertanagara telah menguasai semua ajaran agama Hindu dan Buddha sehingga digambarkan bebas dari segala dosa.
Pemandangan pada puncak pohon beringin yang menaungi situs Arca Joko Dolog. Konon Kertanegara membuat patung ini dengan tujuan menghilangkan kutukan Mpu Bharada agar keinginannya mempersatukan kerajaan yang terpecah belah pada waktu itu bisa berhasil.
Arca Joko Dolog menjadi semacam oase budaya kuno untuk Kota Surabaya, yang tidak banyak memiliki benda peninggalan purbakala semacam ini. Luangkan waktu untuk mengunjungi Arca Joko Dolog jika anda kebetulan tengah berada di Kota Surabaya. Semoga saja anda tidak perlu melompati tembok karena sudah ada papan yang berisi nomor telepon penjaga yang bisa dihubungi.
Diubah: Desember 15, 2024.
Label: Arca, Jawa Timur, Kertajaya, Kertanegara, Prasasti Wurare, Surabaya, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.