Situs Baturrana: Punden Berundak Megalitik
Kunjungan kami ke Situs Baturrana Karanglewas Banyumas merupakan salah satu perjalanan yang paling mengesankan ketika berkeliling di wilayah Banyumas beberapa waktu lalu, khususnya sekitar Baturraden di pinggang selatan Gunung Slamet. Mengesankan karena harus berjalan kaki cukup jauh menyusur jalan pedesaan sampai ke puncak bukit dimana situs berada, dan ada pengalaman menarik lainnya.
Sobirin, kuncen Situs Batur Agung yang agak antik, ikut mengantar sampai ke dusun dimana kuncen Situs Baturrana tinggal. Mobil diparkir dekat salah satu rumah penduduk, dan Sobirin pun menghilang untuk kemudian muncul lagi bersama kuncen situs yang sudah sepuh namun tampak sehat, siap berangkat mengantar kami.
Beriringan kami berjalan kaki dengan melewati jalan desa yang berbatu tak rata, berkelok menurun dari perkampungan penduduk menuju ke area lembah dengan titik terendahnya ada di Sungai Logawa. Selepas melewati jembatan yang melintang di atas sungai, jalanan pun mulai menanjak dan segera terlihat pemandangan tanah persawahan bertingkat luas, dan perbukitan yang lumayan tinggi di kejauhan.
Orang-orang 'penting' kadang datang ke Situs Baturrana ini, terutama menjelang pileg dan pilkada, mencoba mengalap berkah agar keinginannya untuk menjadi bupati atau anggota dprd bisa terkabul. Orang dari jenis seperti ini yang kemungkinan besar akan makan uang rakyat ketika sudah menjabat.

Salah satu pemandangan persawahan hijau sangat mengesankan di kaki perbukitan yang kami lihat setelah sekitar 15 menit berjalan kaki dari perkampungan, dengan memunggungi bukit dimana Situs Baturrana Karanglewas Banyumas berada. Lima menit sebelumnya kami berjalan melintasi jembatan yang melintang di atas Kali Logawa.
Sebenarnya keder juga melihat jalan yang harus kami tempuh ke situs ini. Namun karena ditemani Sobirin yang lebih tua dari saya, dan kuncen Situs Baturrana yang jauh lebih tua lagi sampai-sampai pendengarannya pun sudah terganggu, saya pun menguatkan niat dan terus mengayun kaki beralas sandal jepit.
Beruntung ketika kaki sudah mulai terasa pegal dan badan lelah, kami sampai di sebuah tempat dimana di sebelah kanan lintasan jalan setapak yang sedang kami lalui ada gubug dengan seorang ibu yang baru saja selesai membuat gula aren. Rasanya tak setiap orang yang berkunjung ke situs ini bisa seberuntung saya.
Situs Baturrana adalah punden berundak tiga teras peninggalan purba dari jaman megalitikum yang digunakan oleh masyarakat sebagai tempat pemujaan bagi arwah nenek moyang, sesuai dengan kepercayaan yang banyak dianut pada masa itu.

Gula aren di gubug itu dibuat dalam ukuran kecil dan agak besar. Sisa bara api di dalam tungku masih merah ketika kami masuk ke dalam gubug. Ini sebuah keberuntungan dan berkah, karena tidak setiap hari si Ibu membuat gula aren. Lebih-lebih lagi gula aren baru saja beku di cetakan, masih hangat, dan mulut saya pun segera menggerumus potekan gula aren yang saya terima.
Nikmat sekali rasanya. Energi langsung terisi, dan semangat yang sempat turun untuk melanjutkan langkah menuju ke Situs Baturrana pun tumbuh kembali. Sejumlah gula aren yang baru selesai dicetak kemudian dibungkus untuk saya bawa pulang nanti, setelah menukarnya dengan beberapa lembar kertas buatan bank.
Senang sekali bisa membawa oleh-oleh, langsung mendapatkan dari 'pabriknya'. Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada si ibu, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Situs Baturrana Karanglewas Banyumas dengan semangat yang terbarukan. Seperempat jam kemudian sampailah kami di tanjakan terakhir di sebelah kanan jalan setapak yang kami lewati dengan kemiringan sekitar 45 derajat menuju puncak bukit dimana situs berada.
Sesampainya di lokasi saya sempat memotret Sobirin di Situs Baturrana Karanglewas Banyumas, yang murni bergaya, dipotret memenuhi permintaannya ... :D. Namun beberapa saat sebelumnya ia memang berdoa di sana, atas kemauan sendiri, diamini oleh kami semua. Doa yang membuat saya kagum, karena isinya sangat baik, runut, terjaga, dan ditujukan kepada Yang Mahakuasa. Jadi dengan khusuk saya pun berkali-kali mengucapkan 'Amin'. Semoga terkabul.
Puncak perbukitan dimana situs berada boleh dibilang cukup luas, datar, dan ditumbuhi pepohonan yang memberi keteduhan. Sebuah gubug yang tak begitu terurus terlihat berdiri di sudut situs. Kuncen bercerita bahwa serombongan pengendara motor trail pernah berkunjung ke tempat ini. Namun kondisi situs saat saya berkunjung sudah sulit bagi motor trail untuk lewat, karena ada bagian jalan yang longsor.
Setelah melihat berkeliling dan beristirahat sejenak, kami pun bersiap untuk pergi. Beberapa saat setelah berjalan turun dari bukit Situs Baturrana dan tiba di dekat gubug pembuatan gula aren, pak kuncen membuat kejutan. Ia memanggil seorang pria dan memintanya memanjat pohon kelapa untuk mengambil degan. Sungguh pintar si bapak memilih kelapa. Air kelapanya manis dan segar, daging kelapa yang saya korek dengan irisan kulit kelapa pun tebal namun empuk dan lezat. Lengkaplah sudah kenikmatan yang kami peroleh. Surga sesederhana itu saja.
Perjalanan turun jauh lebih cepat ketimbang sebaliknya. Saya sempat mampir ke rumah pak Kuncen, yang berada di tengah perkampungan. Sempat pula mencatat nomor hp-nya, namun sayang catatannya hilang. Setelah bersalam tempel, saya pun berpamitan seraya mengucapkan terima kasih untuk kunjungan yang sangat mengesankan hati itu.
Susunan batu cukup besar dengan kedua permukaan rata yang ditata seperti tapak menuju ke area serupa kubur yang ditutup batuan dengan gunungan bekas bakaran dupa. Diantara batuan lain di area Situs Baturrana Karanglewas Banyumas, tampaknya tempat inilah yang dianggap paling penting oleh para pengalap berkah.
Sobirin di Situs Baturrana Karanglewas Banyumas. Ini murni bergaya, dipotret memenuhi permintaannya ... :D. Namun beberapa saat sebelumnya ia memang berdoa di sana, atas kemauan sendiri, diamini oleh kami semua. Doa yang membuat saya kagum, karena isinya sangat baik, runut, terjaga, dan ditujukan kepada Yang Mahakuasa. Jadi dengan khusuk saya pun berkali-kali mengucapkan 'Amin'. Semoga terkabul.
Sawah bertingkat-tingkat yang dibuat dengan menyayat-nyayat pinggang bukit dan memperkuat dindingnya dengan tumpuk batu kali. Padi-padi itu masih muda sehingga warna tanah masih dominan. Lagipula ada bagian yang baru dibersihkan dan belum ditanami.
Bangunan di sebelah kanan boleh dibilang cukup besar, sehingga tak bisa disebut gubug. Mungkin karena merangkap sebagai tempat tidur untuk mengawasi sawah yang luas.
Persawahan bertingkat itu berada tepat di kaki bukit, yang meskipun hijaunya akan terlihat sangat elok saat tumbuh besar, dan kuningnya saat siap dipanen, nemun sesungguhnya beresiko tinggi terkena longsor. Bekas longsor pada dinding bukit juga masih terlihat dengan jelas.
Begitupun ada perasaan kagum pada kerja keras para petani yang menggarap lahan yang begitu luas dan pada awalnya pasti kurang ramah itu. Butuh kesabaran dan ketelatenan tinggi untuk bisa sampai terlihat seperti itu.
Di bawah sana adalah jembatan yang melintang di atas Kali Logawa yang sebentar lagi akan kami lewati. Saat itu kami sudah berjalan sekitar 10 menit dari perkampungan penduduk, melewati jalan terjal.
Kali Logawa yang sangat kaya dengan batuan besar kecil. Jika saja ada ahli pembuat patung .... Di ujung sana ada seorang ibu setengah baya sedang mandi dengan bertelanjang dada dengan seorang anak yang masih kecil.
Padi di sini sudah agak tinggi sehingga mulai terlihat sedap dipandang mata. Saya kira sawah-sawah ini adalah tadah hujan, karena tak saya lihat ada aliran air di sana. Curah hujan di lereng Gunung Slamet memang sangat tinggi, nyaris sepanjang tahun.
Setelah melewati jalan desa kami lalu berbelok melewati pematang-pematang sawah sempit sehingga harus cukup hati-hati dalam melangkah. Sewaktu kecil saya masih sering menjumpai ular sawah di pematang, namun sekarang mestinya sudah sangat jarang.
Di bawah sana adalah jembatan Kali Logawa yang beberapa saat sebelumnya kami lewati, dan sebelah kanan atas terlihat lamat-lamat satu rumah penduduk di kampung yang menjadi tempat tinggal kuncen. Bisa dibayangkan jarak yang telah kami lalui.
Baru pada foto ini saya melihat ada selokan kecil yang mengalirkan air di sepanjang lereng bukit. Ajaib, entah dari mana sumber airnya, sehingga sawah di bawah sana terlihat tergenang air dangkal dengan tanaman padi yang masih sangat muda.
Pemandangan dalam perjalanan menuju Sius Baturrana seperti ini merupakan hiburan tersendiri yang menyejukkan, karena sudah merupakan panorama langka bagi penduduk kota.
Umumnya tanaman padi di kaki bukit itu terlihat subur meski ada sebagian kecil di latar depan yang terlihat agak kurus. Akan menyenangkan jika bisa meluangkan waktu duduk di salah satu dangau untuk menikmati suasana sekitar.
Di latar depan adalah tanah garapan yang masih belum ditanami padi. Sedangkan gerumbul pohon di bagian tengah atas foto adalah puncak bukit dimana Situs Baturrana berada. Masih cukup jauh.
Pawon atau tungku yang sisa bara api untuk membuat gula aren tampak masih tersisa, membuat hawa di dalam gubug sempit itu terasa lebih hangat. Air putih juga baru dijerang. Artinya ada sumber air di dekat tempat ini.
Tawa cerah si bapak kuncen Situs Baturrana, yang meski sudah sepuh dan pendengarannya terganggu, namun tubuhnya masih sehat dan semangatnya pun masih tinggi.
Si Ibu yang ramah dan baik hati di depan gubug 'pabrik' gula arennya.
Kuncen Situs Baturrana memegang batok kelapa berisi sejenis gula aren masih panas yang rasanya lebih mantap lagi. Untuk mengekspresikan kenikmatannya, orang Banyumas akan mengatakan dengan gaya ngapaknya yang medok: 'jan rasane njlegabid pisan ko' :D
Si bapak kuncen situs tengah berdoa di depan sebuah menhir. Jika ditanya tentu saja akan menjawab bahwa ia tidak menyembah atau berdoa kepada batu, namun hanya sebagai lantaran bagi panjatan doanya.
Di dekat bibir bukit sebelah kanan Situs Baturrana terdapat beberapa buah batu berbentuk segi empat pipih seperti batu tempat senderan duduk.
Tri dari Arbi Rental tengah berbincang dengan kuncen Situs Baturrana, sementara Sobirin mengebutkan beskapnya, mungkin membuang panas dan keringatnya.
Tri dan Kuncen di samping gubug beratap seng. Meskipun terlihat kumuh namun lumayan sebagai tempat berteduh jika hujan turun, yang sering terjadi di tempat ini jika waktu sudah beranjak mendekati sore.
Kuncen Situs Baturrana di depan susunan batuan yang merupakan kubur batu. Sebelumnya ia juga tampak duduk bersimpuh merapal doa di depan deret batu di sisi kanan situs.
Di depan kuncen yang tengah berdoa terlihat tumpukan bekas bakaran dupa yang menggunung, bersebelahan dengan batu persegi tegak yang lebih menyerupai nisan ketimbang lingga. Ada taburan bunga yang masih segar terlihat di sebelahnya.
Saya baru memperhatikan bahwa di bagian depan tempat yang dikeramatkan itu ada sebuah batu sebesar kerbau yang menjadi awal tatanan batu gepeng. Di belakang "nisan" adalah pohon tua yang akarnya yang melintir sudah sebesar batang pohon.
Sebuah akar pohon di Situs Baturrana yang menurut kuncen berbentuk huruf 'Allah'. Wallahua'lam, Allahlah yang Mahamengetahui.
Batu menhir lainnya di Situs Baturrana, juga dengan tatanan batu di depannya. Mungkin dahulu digunakan sebagai batu sandaran oleh orang kuno. Tak ada bekas bakaran dupa dan tak ada bunga ditabur di sini.
Batu sandar lainnya yang terlihat agak pipih, dengan batu persegi kecil di depannya.
Suasana Situs Baturrana yang sangat cocok untuk digunakan sebagai tempat menyepi, melepas daki-daki kehidupan.
Ki Sobirin di jalan setapak yang menuju ke puncak bukit dimana situs Baturrana yang berada hanya beberapa puluh langkah di belakangnya. Meski tempat ini terpencil namun ia masih bisa menerima signal di telepon genggamnya, mungkin ia memakai nomor Telkomsel.
Si ibu di depan rumah gubug tempat ia mengolah gula aren. Ternyata ia masih manunggu kami pulang. Semoga Anda beruntung bertemu dengannya jika berkunjung ke Situs Baturrana, dan punya kesempatan mencicipi gula aren serta kelapa muda yang segar.
Sobirin, kuncen Situs Batur Agung yang agak antik, ikut mengantar sampai ke dusun dimana kuncen Situs Baturrana tinggal. Mobil diparkir dekat salah satu rumah penduduk, dan Sobirin pun menghilang untuk kemudian muncul lagi bersama kuncen situs yang sudah sepuh namun tampak sehat, siap berangkat mengantar kami.
Beriringan kami berjalan kaki dengan melewati jalan desa yang berbatu tak rata, berkelok menurun dari perkampungan penduduk menuju ke area lembah dengan titik terendahnya ada di Sungai Logawa. Selepas melewati jembatan yang melintang di atas sungai, jalanan pun mulai menanjak dan segera terlihat pemandangan tanah persawahan bertingkat luas, dan perbukitan yang lumayan tinggi di kejauhan.
Orang-orang 'penting' kadang datang ke Situs Baturrana ini, terutama menjelang pileg dan pilkada, mencoba mengalap berkah agar keinginannya untuk menjadi bupati atau anggota dprd bisa terkabul. Orang dari jenis seperti ini yang kemungkinan besar akan makan uang rakyat ketika sudah menjabat.

Salah satu pemandangan persawahan hijau sangat mengesankan di kaki perbukitan yang kami lihat setelah sekitar 15 menit berjalan kaki dari perkampungan, dengan memunggungi bukit dimana Situs Baturrana Karanglewas Banyumas berada. Lima menit sebelumnya kami berjalan melintasi jembatan yang melintang di atas Kali Logawa.
Sebenarnya keder juga melihat jalan yang harus kami tempuh ke situs ini. Namun karena ditemani Sobirin yang lebih tua dari saya, dan kuncen Situs Baturrana yang jauh lebih tua lagi sampai-sampai pendengarannya pun sudah terganggu, saya pun menguatkan niat dan terus mengayun kaki beralas sandal jepit.
Beruntung ketika kaki sudah mulai terasa pegal dan badan lelah, kami sampai di sebuah tempat dimana di sebelah kanan lintasan jalan setapak yang sedang kami lalui ada gubug dengan seorang ibu yang baru saja selesai membuat gula aren. Rasanya tak setiap orang yang berkunjung ke situs ini bisa seberuntung saya.
Situs Baturrana adalah punden berundak tiga teras peninggalan purba dari jaman megalitikum yang digunakan oleh masyarakat sebagai tempat pemujaan bagi arwah nenek moyang, sesuai dengan kepercayaan yang banyak dianut pada masa itu.

Gula aren di gubug itu dibuat dalam ukuran kecil dan agak besar. Sisa bara api di dalam tungku masih merah ketika kami masuk ke dalam gubug. Ini sebuah keberuntungan dan berkah, karena tidak setiap hari si Ibu membuat gula aren. Lebih-lebih lagi gula aren baru saja beku di cetakan, masih hangat, dan mulut saya pun segera menggerumus potekan gula aren yang saya terima.
Nikmat sekali rasanya. Energi langsung terisi, dan semangat yang sempat turun untuk melanjutkan langkah menuju ke Situs Baturrana pun tumbuh kembali. Sejumlah gula aren yang baru selesai dicetak kemudian dibungkus untuk saya bawa pulang nanti, setelah menukarnya dengan beberapa lembar kertas buatan bank.
Senang sekali bisa membawa oleh-oleh, langsung mendapatkan dari 'pabriknya'. Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada si ibu, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Situs Baturrana Karanglewas Banyumas dengan semangat yang terbarukan. Seperempat jam kemudian sampailah kami di tanjakan terakhir di sebelah kanan jalan setapak yang kami lewati dengan kemiringan sekitar 45 derajat menuju puncak bukit dimana situs berada.
Sesampainya di lokasi saya sempat memotret Sobirin di Situs Baturrana Karanglewas Banyumas, yang murni bergaya, dipotret memenuhi permintaannya ... :D. Namun beberapa saat sebelumnya ia memang berdoa di sana, atas kemauan sendiri, diamini oleh kami semua. Doa yang membuat saya kagum, karena isinya sangat baik, runut, terjaga, dan ditujukan kepada Yang Mahakuasa. Jadi dengan khusuk saya pun berkali-kali mengucapkan 'Amin'. Semoga terkabul.
Puncak perbukitan dimana situs berada boleh dibilang cukup luas, datar, dan ditumbuhi pepohonan yang memberi keteduhan. Sebuah gubug yang tak begitu terurus terlihat berdiri di sudut situs. Kuncen bercerita bahwa serombongan pengendara motor trail pernah berkunjung ke tempat ini. Namun kondisi situs saat saya berkunjung sudah sulit bagi motor trail untuk lewat, karena ada bagian jalan yang longsor.
Setelah melihat berkeliling dan beristirahat sejenak, kami pun bersiap untuk pergi. Beberapa saat setelah berjalan turun dari bukit Situs Baturrana dan tiba di dekat gubug pembuatan gula aren, pak kuncen membuat kejutan. Ia memanggil seorang pria dan memintanya memanjat pohon kelapa untuk mengambil degan. Sungguh pintar si bapak memilih kelapa. Air kelapanya manis dan segar, daging kelapa yang saya korek dengan irisan kulit kelapa pun tebal namun empuk dan lezat. Lengkaplah sudah kenikmatan yang kami peroleh. Surga sesederhana itu saja.
Perjalanan turun jauh lebih cepat ketimbang sebaliknya. Saya sempat mampir ke rumah pak Kuncen, yang berada di tengah perkampungan. Sempat pula mencatat nomor hp-nya, namun sayang catatannya hilang. Setelah bersalam tempel, saya pun berpamitan seraya mengucapkan terima kasih untuk kunjungan yang sangat mengesankan hati itu.
Situs Baturrana Karanglewas Banyumas
Alamat : Bukit Baturlaya, Dusun Semaya, Desa Sunyalangu, Kecamatan Karanglewas, Banyumas. Lokasi GPS : -7.34117, 109.17277, Waze. Jam buka : setiap waktu. Harga tiket masuk : gratis, siapkan sumbangan Rp.30.000 - Rp.50.000 untuk kuncen mengantar ke situs. Hotel di Purwokerto, Hotel di Baturraden, Tempat Wisata di Banyumas, Tempat Wisata Kuliner Banyumas, Peta Wisata Banyumas.






























