Tak sadar juga bahwa nama Jl KH Muh Mansyur yang saya lewati diambil dari nama tokoh ulama Betawi dan pejuang yang namanya digunakan sebagai nama Masjid Sawah Lio itu. Barulah ketika mencari masjid ini kami melewati gapura itu untuk masuk ke gang Jl Sawah Lio II. Ada baiknya memang di setiap mulut jalan di Jakarta dibuat patung dan prasasti yang berisi riwayat singkat tokoh yang namanya dipakai sebagai nama jalan.
Masjid Al-Mansyur Sawah Lio Jakarta Barat didirikan pada 1717 M oleh Abdul Malik yang konon adalah putera dari Pangeran Cakrajaya dari Mataram. Arah mihrab kemudian diperbaiki oleh Imam Muhammad Arsyad Banjarmasin bersama sejumlah ulama setempat pada 11 Agustus 1767 M.
Sekitar 70 meter masuk gang terlihat sebuah masjid di kanan jalan dengan menara tunggalnya. Adanya dua papan lapuk berdasar putih bertulis hitam menandai bangunan cagar budaya yang ditetapkan pada 1980 oleh Mendikbud dan Gubernur DKI Jakarta, memberi keyakinan bahwa ini adalah masjid yang saya hendak kunjungi.
Atap masjid yang berbentuk limasan tak begitu terlihat, lantaran bidang pandang yang sempit serta karena atapnya tak terlalu tinggi. Daerah Sawah Lio dimana masjid berada dahulunya memang terdapat persawahan. Disebut Sawah Lio karena selain ada persawahan, di daerah ini juga ada tempat pembakaran batu bata (lio) yang lokasinya berada di dekat jembatan.
KH. Muhammad Mansyur
Adalah KH. Muhammad Mansyur yang menggunakan masjid ini sebagai basis untuk menggerakkan pejuang di sekitar Tambora dalam melawan tentara pendudukan Belanda pada masa perang kemerdekaan. Keberanian KH Muhammad Mansyur mengibarkan bendera Merah Putih di atas menara masjid membuat marah Belanda, dan memicu baku tembak antara pejuang yang berada di dalam masjid dengan tentara Belanda. KH. Muhammad Mansyur kemudian diadili dan dibui oleh Belanda lantaran perbuatannya itu.KH Muhammad Mansyur, yang dulu lebih dikenal sebagai Guru Mansyur, lahir di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta, pada 1878 M. Semasa hidupnya ia dikenal sabagai ahli falak dengan ilmu agama yang tinggi, serta seorang pejuang yang berani. Beliau wafat pada 12 Mei 1967 dan dimakamkan di area masjid ini.
Ucapannya yang khas dan masih dikenang orang adalah "Rempug! Kalau jahil belajar. Kalau alim mengajar. Kalau sakit berobat. Kalau jahat lekas tobat." Untuk menghargai jasa-jasanya, pemerintah RI menggunakan namanya sebagai nama masjid yang sebelumnya dikenal sebagai Masjid Kampung Sawah ini, serta sebagai nama jalan besar di ujung gang dekat masjid.
Atap Tumpang Limasan
Keempat sokoguru yang masih terlihat kekar kokoh itu menopang atap tumpang tiga masjid yang berbentuk limasan. Ada tangga kayu untuk naik ke menara masjid namun saya tak naik ke sana. Tangga kayu itu sebelumnya digunakan oleh muazin untuk naik ke menara masjid yang kala itu masih ada di sini saat hendak mengumandangkan adzan. Perluasan Masjid Al-Mansyur Sawah Lio dilakukan pada 1937, dipimpin oleh KH. Muhammad Mansyur bin H. Imam Muhammad Damiri.Di ruang utama dimana terdapat mihrab dan mimbar, ada pilar-pilar penyangga yang jumlah seluruhnya berjumlah 16, empat diantaranya adalah sokoguru. Bagian ini merupakan area asli Masjid Al-Mansyur Sawah Lio yang berukuran 12 x 14,4 meter. Lazimnya di sebuah masjid, pemandangan orang meluruskan punggung pun terlihat pula di sini, meski ada tanda dilarang tidur.
Kesan pertama ketika memasuki ruang Masjid Al-Mansyur Sawah Lio saat itu adalah bahwa masjid ini sudah memerlukan perhatian Pemprov DKI untuk dilakukan pemugaran, dari mulai pengecatan, perbaikan genteng bocor, sampai keramik.
Bedug
Sebuah bedug dengan dudukan sederhana, berikut kentongannya, saya jumpai di bagian belakang Masjid Al-Mansyur Sawah Lio Jakarta. Bedug sempat dikeluarkan dari dalam masjid-masjid dan digantikan pengeras suara oleh Islam modernis yang menguasai kementrian agama pada jaman Orde Baru. Namun tindakan ini mendapat perlawanan keras dari warga NU sehingga keberadaan bedug masih tetap lestari sampai saat ini.Masuknya bedug ke dalam masjid diduga karena pengaruh kedatangan Laksamana Cheng Ho, seorang muslim, yang sampai tujuh kali mampir ke berbagai tempat di Indonesia pada kurun waktu 1405 - 1433. Meski budaya asli Nusantara juga mengenal pemakaian alat tabuh pada acara ritual, namun struktur bedug lebih mirip tambur pada kebudayaan Tiongkok.
Masjid Tertua
Masjid Al-Mansyur Sawah Lio adalah masjid tertua ketiga di Jakarta. Masjid pertama di Jakarta berada di Jl Kali Besar Barat dan Jl Roa Malaka Utara. Sayangnya masjid bergaya Jawa dengan bahan utama kayu ini dihancurkan ketika J.P. Coen menyerbu dan menduduki Jayakarta pada 1619. Masjid kedua di Jakarta adalah Masjid Al-Anshor yang didirikan pedagang Islam asal Hejaz dan Gujarat pada 1648, sekarang ada di Jl Pengukiran II, Pekojan.Selanjutnya berturut-turut adalah Masjid Al-Mansyur (1717) di Sawah Lio ini, lalu Masjid Luar Batang (1736), Masjid Kampung Baru (1748) di Bandengan Selatan, dan Masjid Jami AnNawier (1760) di Pekojan.
Masjid Al-Mansyur Sawah Lio Jakarta masih memerlukan halaman parkir yang memadai, juga taman yang luas untuk menjadikan masjid tertua ketiga di Jakarta ini menjadi ikon Jakarta tempo dulu yang anggun hijau. Dengan begitu, selain menjadi ruh kota, masjid ini nantinya bisa dibanggakan bukan saja oleh warga Betawi, namun juga oleh warga Jakarta pada umumnya.
Alamat Masjid Al-Mansyur Sawah Lio berada di Jalan Sawah Lio II/33, Kelurahan Jembatan Lima, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Lokasi GPS : -6.1465, 106.80636, Waze. Nomor Telepon Penting, Hotel di Jakarta Barat, Tempat Wisata di Jakarta Barat, Hotel Melati di Jakarta Barat, Peta Wisata Jakarta Barat, Peta Wisata Jakarta, Rute Lengkap Jalur Busway TransJakarta, Tempat Wisata di Jakarta.Diubah: November 15, 2024.
Label: Cagar Budaya, Jakarta, Jakarta Barat, Masjid, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.