Semula museum ini bernama Museum Geologi, didirikan atas perintah Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan RI Dr. Chaerul Saleh (10 Juli 1959 - 28 Maret 1966) kepada perusahaan penambangan Timah di Belitung, Bangka dan Singkep untuk masing-masing mendirikan sebuah museum.
Perintah itu dilaksanakan dibawah pimpinan Dr. R. Osberger, geolog asal Austria sebagai Kepala Dinas Eksplorasi dan Geologie Perusahaan Penambangan Timah Belitung yang berkedudukan di Kelapa Kampit.
Karena itulah awalnya museum itu akan didirikan di Kelapa Kampit, namun diubah ke Tanjungpandan atas perintah Direktur Utama Penambangan Timah Belitung, Ir. MEA Apitule, untuk memudahkan akses bagi pengunjung.
Museum Tanjungpandan Belitung menempati sebuah bangunan tua bekas kantor NV Billiton Maatschappij, yang juga pernah dijadikan tempat tinggal Kepala Penambangan Timah Belitung di jaman kolonial Belanda.
Adalah bang Junai yang bersemangat menghubungi Salim Yah agar ia bisa datang untuk bercerita panjang lebar tentang museum khususnya dan sejarah Belitung secara umum, sehingga tak lama kemudian ia datang.
Tampak depan Museum Tanjungpandan Belitung dengan halaman yang luas, hijau dan asri. Salim Yah tampak tengah membacakan Prasasti Timah yang dibuat pada 23 Juni 1923, ditatah di atas permukaan batu granit, yang terletak di halaman depa museum, memuat nama orang berkebangsaan Belanda yang dianggap sebagai pionir penambangan Timah di Pulau Belitung. Disampingnya adalah mangkok kapal keruk yang terbuat dari besi baja bergaris tengah 97 cm dengan ketebalan 5 cm.
Di halaman Museum Tanjungpandan Belitung ada pula Locomobil terbuat dari besi baja buatan tahun 1908, dua patung Singa (Cioksay) yang diambil dari rumah Kapiten Ho A Jun. Bekas rumah kapiten itu menyisakan peninggalan Toapekong Kapten Cina yang elok.
Masuk ke ruang museum terlihat koleksi keramik tua Tiongkok, seperti kendi, mangkok, dengan bermacam bentuk dan ornamen yang ditemukan di Belitung. Keramik itu ada yang berasal dari jaman Wangsa Tang (618 - 907), Sung (960 - 1279), Ming (1368 - 1644), dan Yuan (1279 – 1368). Ada pula gerabah yang asal Thailand.
Sebuah instalasi yang menarik di Museum Tanjungpandan Belitung menggambarkan harta karun di perut kapal dagang yang tenggelam di perairan sekitar Belitung dan Kepulauan Riau. Setidaknya ada 7 kapal karam di perairan Indonesia bagian Barat pada abad XVII - XX, yaitu Diana (Inggris), Tek Sing dan Turiang (China), Nassau dan Geldennalsen (Belanda), Don Duarte de Guerra (Portugis), dan kapal Ashigara (Jepang).
Instalasi yang mengusung tema harta karun laut itu berada di ruang berpendingin dengan pencahayaan baik, ditata secara lebih profesional dan bercita rasa dibandingkan ruangan lain di Museum Tanjungpandan Belitung. Di sana terdapat poster-poster yang menceritakan penemuan harta karun di perairan Belitung yang bernilai puluhan juta dollar.
Diantara harta karun itu ditemukan di perairan Batu Hitam sekitar 1,6 km dari pantai Barat Pulau Belitung, sehingga disebut Batu Hitam shipwreck, atau Belitung shipwreck, dan berisi batangan emas serta keramik dari jaman Dinasti Tang sehingga juga disebut Tang shipwreck.
Kapal dagang Arab itu berlayar dari Afrika ke China sekitar tahun 830 M. Adalah Tilman Walterfang dan orang-orangnya di Seabed Explorations yang mengangkatnya, dan menjadi heboh setelah isi kargo dijual senilai US$32 juta ke Sentosa Leisure Group, perusahaan swasta Singapura. Koleksi menarik lainnya adalah meja kursi antik Tiongkok, piring keramik, baju adat, miniatur kapal dan benda-benda terbuat dari kuningan.
Dua orang pengunjung tengah melihat koleksi awetan buaya dan penyu di dalam lemari kaca. Di atasnya ada miniatur KK (Kapal Keruk) Dendang, satu dari sekitar 30 kapal keruk yang pernah digunakan di Belitung. KK Dendang dibuat pada 1947 oleh perusahaan bernama Scheepswerf Verschure di Amsterdam, Belanda, dengan panjang 66 m, lebar 20 m serta tinggi 4,2 m, dan mampu mengeruk sedalam 30 meter. KK Dendang karam terhempas badai pada 8 Juli 2007.
Ada koleksi benda-benda yang terbuat dari kuningan dan tembaga di Museum Tanjungpandan Belitung, diantaranya bokor (bukor), baki segi empat, tempat untuk meludah, loyang, tempat perhiasan, dan wadah buah. Di dalam kotak di latar depan adalah contoh Batu Satam. Beragam senjata tajam tradisional tampak di lemari kaca, dan ada pula meriam.
Masih di ruang utama ada awetan Ikan Arapaima, yang masih hidup saya lihat di Akuarium Air Tawar TMII. Panjang ikan ini bisa 2,5 m dengan berat 100 kg, merupakan salah satu ikan air tawar terbesar di dunia. Ikan jenis ini diduga masih hidup di Sungai Lenggang, Belitung Timur, yang disebut Ikan Ampong atau Ikan Buaya.
Koleksi Museum Tanjungpandan Belitung lainnya adalah Berekong, sejenis Biawak dengan kulit lebih halus, badan ramping dan gerakan lincah. Binatang pemakan katak ini hidup di hutan pinggir sungai.
Benda lain yang dipamerkan di Museum Tanjungpandan Belitung adalah sekitar sepuluh maket yang menggambarkan cara-cara penambangan Timah, dari mulai Sumur Palembang yang dibuka pada 1711 sampai ke pemakaian kapal keruk dan peleburan biji Timah. Di dalam museum juga dipajang contoh batuan dan biji logam, diantaranya batu kawi, garnierit, timah, kalsit, radio larit, kwarsa, biji nikel, siderit, hematit, pyrit, dan banyak lagi lainnya.
Selanjutnya ada Gading gajah dan tengkorak Dimetrodon yang ditemukan di sebuah tambang Timah di Belitung. Dimetrodon adalah mamalia berkaki empat yang hidup 280 - 265 juta tahun lalu. Hewan ini memiliki sirip menakjubkan pada punggungnya, panjang tubuhnya mencapai 3,8 m dan berat 200 kg.
Masih banyak lagi koleksi lainnya, termasuk uang kertas dan uang logam kuno, cap kerajaan, koleksi keris, gerabah, dan nisan kayu Makam KA Rahad (Depati Cakraningrat VIII) pendiri Kota Tanjungpandan. KA Rahad meninggal pada 1854 M dan dimakamkan di Air Labu Kembiri, yang di area perkebunan PT. Foresta Lestari Membalong.
Salim Yah kemudian mengajak saya melangkah ke halaman belakang Museum Tanjungpandan Belitung yang ternyata sangat luas. Di sana ada area bermain, warung, dan kebun binatang kecil dengan beberapa koleksi satwa seperti unggas, buaya, dan ular piton. Saat saya potret, tiba-tiba buaya yang cukup gendut itu meloncat nyaris mengenai kamera. Mengagetkan, mungkin ia lapar.
Salim Yah kemudian mengajak saya melangkah ke halaman belakang Museum Tanjungpandan Belitung yang ternyata sangat luas. Di sana ada area bermain, warung, dan kebun binatang dengan beberapa koleksi satwa seperti unggas, buaya, dan ular piton. Saat saya potret, tetiba buaya itu meloncat nyaris mengenai kamera. Cukup mengagetkan. Mungkin lapar.
Mangkok Tiongkok dari abad 10-13 M yang ditemukan di perairan Selat Gelasa, Bangka - Belitung.
Keramik-keramik tua itu ada yang berasal dari jaman Wangsa Tang (618 – 907), Wangsa Sung (960 – 1279), Wangsa Ming (1368 – 1644), dan Wangsa Yuan (1279 – 1368). Ada pula gerabah yang berasal dari Thailand.
Satu sudut Museum Tanjungpandan menyimpan koleksi berbagai jenis keramik tua dari Cina, seperti kendi, mangkok, dengan bermacam bentuk, ukuran dan ornamen yang ditemukan di berbagai tempat di Belitung.
Ikan Arapaima (disebut juga pirarucu, atau paiche) yang merupakan sumbangan Gunawan, seorang warga Tanjungpandan. Ikan ini hidup diperairan Sungai Amazone. Panjangnya bisa mencapai 2 meter, bahkan kadang 2,5 m, dengan berat mencapai 100 kg, dan merupakan salah satu jenis ikan air tawar terbesar di dunia. Ikan jenis ini juga ditemui di Malaysia dan Thailand, dan diperkirakan juga masih hidup diperairan Sungai Lenggang, Belitung Timur, yang disebut sebagai Ikan Ampong atau Ikan Buaya oleh penduduk daerah Gantung. Uniknya, ikan ini sangat bergantung pada udara di atas permukaan air, sehingga harus sering muncul ke permukaan, dan karenanya mudah diburu.
Koleksi penyu raksasa di Museum Tanjungpandan Belitung yang banyak ditemukan di perairan laut Pulau Belitung. Pada kondisi lingkungan yang baik, seekor penyu bisa mencapai usia hingga ratusan tahun.
Gading gajah dan tengkorak Dimetrodon koleksi Museum Tanjungpandan yang ditemukan di sebuah tambang Timah di Pulau Belitung. Dimetrodon adalah hewan sejenis mamalia berkaki empat menyerupai reptil yang hidup antara 280 – 265 juta tahun lalu. Yang menarik pada hewan ini adalah adanya sirip menakjubkan pada punggungnya, sedangkan panjang tubuhnya bisa mencapai 3,8 m dengan berat 200 kg. Kuda sekarang ini adalah keturunan Dimetrodon.
Di tempat lain ada sebuah koleksi hewan lainnya di yang bernama Berekong, sejenis Biawak namun dengan kulit lebih halus, badan lebih ramping dan gerakan lebih lincah. Binatang yang makanannya katak ini ditemukan di hutan-hutan, di pinggiran sungai, kulong di Pulau Belitung.
Salah satu dari miniatur kapal keruk timah yang ada di Museum Tanjungandang Belitung. Di lemari di bawahnya terdapat koleksi sejumlah kenong, bagian dari musik gamelan.
Sebuah koleksi sepeda tua di Museum Tanjungpandan. Sayang saya lupa mencatat merk dan tahun pembuatannya. Merapat tempok, di dalam lemari kaca, adalah koleksi tempayan dan keramik lainnya, serta perlengkapan rumah tangga yang terbuat dari kuningan dan tembaga.
Masuk ke ruang bagian belakang terdapat jejeran lemari-lemari kaca yang berisi contoh-contoh batuan dan biji-bijian logam yang ditemukan di Belitung. Ada batu kawi, garnierit, timah, kalsit, radio larit, kwarsa, biji nikel, siderit, hematit, pyrit, dan lebih dari seratus lagi jenis lainnya.
Koleksi batuan lainnya di Museum Tanjungpandan, seperti hematit, fluorit, sulfat tembaga, kassiteritlimonit, gosanhematit, arsenopirit, pyrtit, kwarsit, forpirit. Hematit merupakan kristal bertekstur tebal dan padat dengan struktur rapi yang berkilau jika dipotong dengan baik dan memiliki harga jual yang tinggi. Hematite memiliki sifat magnet alami sehingga konon bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia terkait sirkulasi darah.
Contoh batuan berharga yang semuanya ditemukan di Belitung itu tersusun dengan rapi, memperlihatkan betapa kayanya pulau ini dengan sumber daya alam, yang jika dikelola dengan baik mestinya bisa memberi kemakmuran bagi rakyatnya.
Pandangan dari ruang belakang ke arah pintu yang menghubungkan ruang ini dengan ruang utama, dan lemari yang menyimpan contoh batuan. Di sebelah kiri adalah maket pertambangan terbuka.
Salah satu dari sekitar sepuluh maket di Museum Tanjungpandan yang menggambarkan cara-cara penambangan Timah di Belitung, dari mulai Sumur Palembang yang dibuka pada 1711 sampai ke pemakaian kapal keruk, dan peleburan biji Timah.
Di dalam gedung museum juga tersimpan beberapa buah meriam berukuran sedang dan kecil peninggalan Belanda terbuat dari campuran besi dan kuningan.
Koleksi benda-benda rumah tangga terbuat dari kuningan dan tembaga di Museum Tanjungpandan. Ada bokor (bukor), baki segi empat, tempat untuk meludah, loyang, tempat perhiasan, tempat buah-buahan, dengan berbagai ukuran dan bentuk. Di dalam kotak di latar depan adalah contoh dari Batu Satam.
Di sebelah kanan adalah koleksi senjata tradisional berupa pedang lurus, lengkung, dan berlekuk seperti keris, terbuat dari besi dan kuningan, berasal dari Kerajaan Balok dan Kerajaan Belantu.
Salim Yah dan Junai di ruangan pojok Museum Tanjungpandan. Ruang ini penataannya apik, berpendingin ruangan, dan memiliki pencahayaan yang baik, ditata secara lebih profesional dan bercita rasa dibandingkan dengan ruangan lain di Museum Tanjungpandan. Di belakangnya terdapat poster-poster apik serta instalasi keramik yang menceritakan penemuan harta terpendam di perairan Belitung yang bernilai puluhan juta dollar.
Sebagian gerabah yang diangkat dari kapal yang karam di perairan sekitar Belitung. Setidaknya ada 7 kapal karam di perairan Indonesia bagian Barat pada abad XVII – XX, yaitu Diana (Inggris), Tek Sing dan Turiang (Cina), Nassau dan Geldennalsen (Belanda), Don Duarte de Guerra (Portugis), dan kapal Ashigara (Jepang).
Pecahan gerabah serta poster besar di atasnya yang menceritakan riwayat penemuan harta karun kapal yang tenggelam di wilayah Kepulauan Riau dan Bangka Belitung. Harta karun yang ditemukan di perairan Batu Hitam di pantai Barat Pulau Belitung dikenal sebagai Batu Hitam shipwreck, atau Belitung shipwreck, dan karena berisi batangan emas dan keramik dari jaman Wangsa Tang, maka juga disebut Tang shipwreck.
Poster yang menceritakan tentang Kapal Tiongkok Tek Sing (Bintang Sejati) berukuran besar yang tenggelam pada 6 Februari 1822 di area Laut Cina Selatan yang disebut Belvidere Shoals. Kapal ini panjangnya 50 meter dengan lebar 10 meter, dan bobotnya mencapai seribu ton. Anak buah kapalnya berjumlah sekitar 200 orang dengan 1600 penumpang. Karena besarnya korban maka Kapal Tek Sing sering disebut Titanik dari Timur.
Sebuah koleksi Museum Tanjungpandan berupa meja kursi antik Tiongkok di latar depan, serta di dalam lemari terdapat piring-piring keramik, baju adat, miniatur kapal dan benda-benda terbuat dari kuningan.
Nisan kayu tua yang diambil dari Makam KA Rahad (Depati Cakraningrat VIII) yang dianggap sebagai pendiri Kota Tanjungpandan. KA Rahad meninggal tahun 1854 dan dimakamkan di Air Labu Kembiri, yang sekarang berada di dalam area perkebunan PT. Foresta Lestari di Membalong.
Halaman belakang Museum Tanjungpandan yang ternyata sangat luas. Di sana terdapat area bermain anak serta kebun binatang dengan beberapa koleksi satwa seperti unggas, buaya, dan ular piton.
Sisi sebelah kiri halaman belakang Museum Tanjungpandan yang dilengkapi dengan area bermain anak. Ada pula tempat duduk di bawah pohon rindang yang sangat nyaman untuk nongkrong menikmati suasana.
Seekor ular piton di dalam kandang berkawat yang menjadi koleksi Museum Tanjungpandan. Dengan area penambangan yang semakin luas, demikian juga area perkebunan, binatang seperti ini semakin sulit hidup nyaman.
Salah satu buaya peliharaan Museum Tanjungpandan di sebuah kolam cukup cukup besar, saya potret sesaat sebelum ia meloncat ke atas, nyaris mengenai kamera. Cukup mengagetkan. Tampaknya buaya ini sudah mulai lapar.
Buaya yang paling besar rupanya pernah digunakan dalam syuting film Laskar Pelangi, sehingga buaya itu kadang disebut orang sebagai Buaya Laskar Pelangi.
Buaya yang kenyang biasanya akan bersantai, dan baru mencari mangsa ketika perutnya lapar. Di tempat seperti ini, makan kenyang bagi buaya-buaya itu mungkin merupakan hal yang mewah.
Locomobil di halaman depan Museum Tanjungpandan terbuat dari besi baja buatan tahun 1908 yang pernah digunakan di tambang Timah, serta satu dari dua buah patung Singa yang diambil dari halaman rumah Kapiten Ho A Jun. Kapiten ini pula yang bekas rumahnya kini menyisakan peninggalan berupa Toapekong Kapten Cina.
Salim Yah mengamati bagian belakang Locomobil, yang merupakan pembangkit listrik yang memiliki roda sehingga bisa dibawa dari satu kolong ke kolong lainnya melewati jalan biasa, bukan rel.
Pada bagian samping locomobil terdapat cap yang menunjukkan negara pembuatnya, yaitu Inggris, hanya saja nama perusahaannya sudah susah dibaca karena cat perak yang tebal. Tahun pembuatannya adalah 10-5-1908, atau 10 Mei 1908.
Sebuah laras meriam yang disimpan di halaman depan museum berangka tahun 1849. Bahan aslinya sudah tak terlihat karena laras meriam ini telah dicat dengan warna perak.
Tampak samping depan Museum Tanjungpandan dengan halaman yang luas, hijau dan asri. Museum Tanjungpandan ini menempati bangunan tua bekas kantor NV Billiton Maatschappij, yang juga pernah dijadikan tempat tinggal oleh Kepala Penambangan Timah Belitung pada jaman Belanda.
Prasasti dan mangkuk kapal keruk timah yang terbuat dari besi baja bergaris tengah 97 cm dengan ketebalan 5 cm, yang bukan hanya efektif dalam mengeruk bijih tambang namun juga sangat efektif dalam merusak ekosistem sungai, laut dan daratan.
Pandangan dekat pada prasasti yang diletakkan pada permukaan sebongkah batu dan ditulis dalam bahasa Belanda. Ada tertera tanggal 28 Juni 1851 dan nama John Francis Loudon serta nama-nama lainnya yang dianggap sebagai pionir penambangan Timah di Pulau Belitung.
Setelah mengisi buku tamu, saya pun berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada Salim Yah, yang juga Guru di SMP Negeri 6 Tanjungpandan, seraya berharap bahwa pemerintah setempat bisa memberi perhatian jauh lebih besar bagi situs-situs bersejarah di wilayah Belitung yang kondisinya masih banyak yang memprihatinkan.
Museum Tanjungpandan Belitung
Alamat : Jl. Melati No.41A, Tanjungpandan, Belitung. Telp 0719-22960, 24176. Lokasi GPS : -2.73971, 107.6284, Waze ( smartphone Android dan iOS ). Jam buka : 08:00 - 16:00, kadang sampai jam 17:00 di hari Sabtu dan Minggu. Harga tiket masuk : Rp 2.000. Hotel di Belitung, Tempat Wisata di Belitung, Peta Wisata Belitung.Diubah: Desember 10, 2024.Label: Bangka Belitung, Belitung, Museum, Tanjungpandan, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.