Informasi keberadaan Kelenteng Sun Li San didapat Bang Junai dari toko di depan Kelenteng Fuk Tet Che. Dari tempat itu kami mengambil jalan yang membelah Kota Gantung menuju ke Barat Daya, dan setelah 5 km kami berhenti di sebuah warung di pojok pertigaan di kanan jalan.
Sambil saya membeli bekal minum dan menumpang buang air kecil, Bang Junai pun bertanya arah, dan ternyata kebetulan kami berhenti di pertigaan yang benar.
Kami tinggal mengikuti jalan yang mulut masuknya berada di samping warung menuju arah ke Barat, dan ketika sampai di pertigaan kami mengikuti jalan menanjak ke kanan yang kondisi jalannya kurang begitu baik.
Setelah melewati jalan aspal yang terkupas, menyisakan jalan tanah yang diperkeras, kami sampai di pertigaan itu. Ke depan terlihat aspal yang masih mulus, ke kanan adalah jalanan tanah berkerikil. Belakangan saya tahu bahwa jalan aspal itu dibuat untuk akses menuju ke Makam KA Loesoeh, seorang tokoh Belitung yang makamnya saya kunjungi setelah dari Kelenteng Sun Li San ini.
Sepotong jalan menuju ke Kelenteng Sun Li San Belitung Timur yang kami lalui beberapa saat sebelumnya, diambil fotonya dengan memunggungi lokasi dimana kelenteng berada. Jauh di ujung sana terlihat kulit bumi yang terkelupas di sejumlah tempat untuk diambil bijih tambangnya. Bumi yang kaya dengan sumber daya alam membawa kebaikan bagi manusia dan sekaligus bencana bagi alamnya.
Dari tepian jalan, setelah lebih dari 1 km masuk ke dalam dari pertigaan jalan utama, kami bisa melihat Kelenteng Sun Li San di atas perbukitan, yang memperlihatkan sebuah bangunan utama dan pendopo terbuka di sampingnya. Jauhnya tempat peribadatan dari permukiman bisa menjadi indikasi bahwa tempat itu dibuat untuk maksud khusus, bukan sebagai tempat beribadah sehari-hari.
Tidak lama kemudian kami sudah tiba di sebuah area parkir yang cukup luas di kaki bukit, dengan awal deretan anak tangga terlihat di sisi kiri area, dan sebuah bangunan toilet di sebelah kanan. Sayang toiletnya tidak berfungsi dengan baik, dan tidak pula terawat yang membuat saya segan untuk menggunakannya.
Awal anak tangga untuk menuju ke puncak bukit dimana Kelenteng Sun Li San berada. Meski suasana sangat sepi dan tak tahu ada berapa banyak anak tangga yang harus kami tapaki, namun otak menjatuhkan perintah pada kedua kaki untuk melangkah menapaki satu per satu anak tangga yang kondisi semennya masih cukup baik itu.
Dengan membulatkan niat saya menaiki anak tangga yang kemiringannya tidak begitu curam itu. Sempat berhenti sejenak di sebuah anak tangga, berbalik badan, dan terlihat pemandangan dataran Belitung, yang sebagian hijau pohonnya telah berganti warna menjadi coklat setelah dikupas untuk mendapatkan biji-biji timah.
Beberapa buah tempat duduk berpeneduh disediakan untuk pejalan yang ingin sejenak beristirahat sebelum meneruskan pendakian ke Kelenteng Sun Li San. Kondisi anak-anak tangga ini masih cukup baik meski cat pada tonggak pegangannya sudah banyak yang terkelupas.
Suasana sepi. Hanya sepasang kekasih yang saya jumpai tengah berpacaran di payung peristirahatan terbawah. Selebihnya sunyi. Akhiran San pada nama kelenteng mengingatkan saya pada nama-nama gunung dalam cerita silat Kho Ping Hoo, seperti Kun Lun San, Jeng Hoa San (Gunung Seribu Bunga), dan Tai San.
Di tengah perjalanan pendakian hingga sampai ke puncak bukit saya bisa menikmati pemandangan ke bawah perbukitan. Keindahan panorama itu juga bisa dilihat dari bagian depan Kelenteng Sun Li San Belitung Timur dengan pemandangan lepas dari atas perbukitan, serta dari pendopo atau gazebo yang terletak beberapa meter di sebelah kanan dari bangunan utama kelenteng.
Bagian depan Kelenteng Sun Li San Belitung Timur ini dibuat terbuka tanpa pintu, dengan sebuah pagoda kecil untuk membakar kertas sembahyang berada di pelataran depan.
Altar Dewa Langit ada di bagian depan Kelenteng Sun Li San dan sebuah tempat sembahyang pendek di sebelah kirinya. Bang Junai dengan gembolannya terlihat tengah berdiri di samping pagoda pembakar kertas, memandangi dataran luas di bawah sana. Kelenteng ini memiliki atap tumpang seperti pagoda, namun hanya dua tingkat dengan perbedaan ukuran yang besar. Tidak ada ornamen naga pada atap kelenteng.
Ruangan utama dan satu-satunya ruangan yang ada saat itu di Kelenteng Sun Li San, dengan sejumlah patung, hiolo, lukisan foto, aksara Tionghoa, tambur, bebungaan plastik dan sejumlah benda lainnya. Tak saya lihat ada genta di sana.
Kami memang sempat berhenti di sini ketika ragu dengan arah jalan yang kami tempuh, sehingga untuk sejenak turun ke jalan dan mengambil beberapa buah foto. Jalan di depan sana, jika lurus ke arah kanan akan menuju ke Makam KA Loesoh.
Meski tiang dan tali pengaman di kedua sisi sudah terlihat agak kusam, namun kondisinya masih kuat dan baik. Anak-anak tangga pun terlihat cukup sering dilalui tapak manusia, terlihat dari tidak adanya rerumputan atau lumut yang tumbuh di bagian tengah undakannya.
Pemandangan yang saya lihat ketika berada di atas anak tangga di tengah perjalanan menuju puncak bukit. Adalah karena sempat lelah sehingga saya berhenti sejenak mengambil nafas dan memanfatkannya pula untuk mengambil beberapa buah foto.
Memang bukan hanya keindahan panorama elok kaki bukit yang saya lihat dari atas anak tangga, namun juga kulit bumi yang terkelupas memperlihatkan tanahnya yang merah dengan kubangan bekas galian berisi air di sana-sini.
Gerumbul hutan di ujung sana itu boleh jadi kini sudah lenyap, seiring dengan semakin meluasnya area galian tambang. Sayangnya manusia sering lupa bahwa bencana yang mereka ciptakan bagi alam dengan merusaknya pada waktunya akan membawa bencana dahsyat bagi manusia. Sayang, yang sering terjadi adalah yang tak bersalah yang justru harus menanggungnya.
Lubang-lubang bekas galian berisi air tampak di sebelah kanan, dan sepanjang mata memandang kubangan air itu terserak di sejumlah tempat. Sejauh itu bukit dimana Kelenteng Sun Li San berada belum lagi tersentuh oleh tangan para penambang. Semoga saja tidak akan pernah menyentuhnya.
Bukit dimana Kelenteng Sun Li San berada rupanya memang cukup jauh dari area permukiman penduduk, sehingga sejauh mata memandang tak terlihat ada permukiman penduduk yang padat. Entah bagaimana awalnya sehingga terbit ide untuk mendirikan kelenteng di bukit ini.
Corak air yang berwarna hijau tosca mengingatkan saya pada Danau Kaolin, namun tak jelas apakah di bawah sana itu memang tambang kaolin atau tambang yang lain.
Tiga patung buddhaberbaju kuning di bagian bawah itu bentuknya mirip satu dengan yang lainnya, hanya saja patung yang di tengah ada benda pada bagian perutnya. Sisa batang-batang hio tampak menancap cukup banyak pada hiolo dengan angka 5 tertulis di bagian sampingnya. Semua patung dan lukisan di tempat ini tampaknya menggambarkan Dewi Kwan Im.
Pandang samping pada ruang sembahyang Kelenteng Sun Li San. Pada meja sebelah kiri juga terdapat sejumlah patung Dewi Kwan Im dalam bentuknya yang lebih lazim. Sedangkan patung utama merupakan perwujudan dari Buddha Avalokitesvara.
Sepasang naga berwarna keemasan yang tengah berebut mustika matahari terlihat di atas atap rumahan yang menanungi patung Dewi Kwan Im. Bulu-bulu burung Merak tampak menghiasi bagian kiri dan kanan altar, mungkin untuk menggantikan bulu Burung Hong.
Empat buah patung Dewi Kwan Im di atas papan kayu yang menempel tembok itu memiliki gestur dan warna yang berbeda-beda, tiga diantaranya dengan warna dominan putih dan patung yang warna hijau menjadi terlihat berbeda sendiri. Hiolo kecil diletakkan di depan ketiga patung ini, dengan bumbung berukir berisi bilah Ciamsi di debelah patung.
Sudut pandang dari sisi yang berbeda memperlihatkan ragam hias yang berada di atas lukisan kaca Dewi Kwan Im pada dinding kelenteng. Air putih dalam gelas plastik di bagian depan altar boleh jadi untuk kemudian diminum atau diletakkan di tempat tertentu sebagai pembawa berkah.
Di depan patung Dewu Kwan Im terlihat ada tiga buah porselen putih berhias bunga lengkap dengan tutupnya, entah sebagai tempat derma atau untuk meletakkan benda lainnya. Naga emas yang melilit tiang bisa terlihat pada foto ini. Di bawah terlihat ada sebuah patung Buddha tertawa.
Pada kulit dan badan tambur terlihat ada aksara Tionghoa yang entah apa maknanya. Kulit kerbau atau kulit sapi sering digunakan pada tambur dan bedug berukuran besar. Pemukul tambur tampak menonjol di kanan bawahnya.
Panorama dari atas perbukitan dimana Kelenteng Sun Li San berada, dengan altar pemujaan bagi Dewa Langit di sebelah kiri dan dua tempat pembakaran kertas (Kimlo) yang bentuk dan warnanya berbeda berada di sebelahnya.
Junai tengah menikmati panorama di kaki bukit yang hampir separuhnya telah terkupas kulitnya. Di sebelah kiri mungkin adalah altar yang diperuntukkan bagi Dewa Bumi lokal, oleh karena tempatnya yang berada di bawah.
Deretan lampion berbentuk bulat lonjong, bentuk yang paling lazim, tampak menghias bagian depan dan samping kelenteng. Di ujung kanan belakang sana terlihat ada bak penampungan air, namun tak jelas asal airnya dari mana oleh sebab tempat ini berada jauh di atas bukit.
Pandangan dari depan samping yang lebih jelas lagi pada bangunan utama Kelenteng Sun Li San. Di depan meja ada sulaman yang menggambarkan sosok delapan dewa. Foto ini juga memperlihatkan bahwa ternyata ada genta yang diletakkan menggantung di sebelah kanan dinding, di dekat tambur. Ingatan saya memang pendek.
Keindahan panorama dilihat dari bagian depan Kelenteng Sun Li San Belitung Timur dengan pemandangan lepas dari atas perbukitan, juga bisa dilihat dari pendopo atau gazebo yang terletak beberapa meter di sebelah kanan dari bangunan utama kelenteng.
Pemandangan yang diambil dari dalam ruangan kelenteng. Nama Sun Li San mengingatkan saya pada buku-buku silat Cina karya mendiang Kho Ping Hoo, yang sering menyebut dan menggambarkan keindahan sejumlah gunung di Tiongkok yang menjadi markas partai-partai besar seperti Kun Lun Pay, Hoa San Pay, Siauw Lim Pay dan Bu Tong Pay. Nama Thay San sebagai gunung tertinggi juga sering disebut dengan panoramanya yang elok. Padahal konon ketika menulis cerita itu Kho Ping Hoo belum pernah berkunjung ke Tiongkok.
Foto yang saya ambil dari area sekitar gazebo memperlihatkan bagian belakang bangunan kelenteng dimana terdapat sebuah tandon air yang besar. Tak saya lihat ada generator listrik di sana yang bisa memberi tenaga pada pompa air, tak ada pula panel surya. Namun yang pasti ada beberapa kabel listrik bergelantungan.
Foto yang saya ambil ketika mulai berjalan menuruni perbukitan. Ketinggian bukit dan suasana yang sepi membuat tempat ini sangat sesuai untuk dijadikan tempat bermeditasi menenangkan dan menjernihkan pikir.
Pandangan ke bawah bukit dengan tempat peristirahatan beratap payung di bawah sana. Di salah satu tempat peristirahatan dekat kaki bukit saat itu saya menjumpai ada pasangan muda yang tengah berpacaran. Ada masanya orang membutuhkan tempat sepi, dan ada masanya orang rindu pada keramaian karena yang abadi adalah kebosanan.
Pandangan yang memperlihatkan tempat peristirahatan dengan tempat duduk terbuat dari beton. Kecil dan tingginya atap payung membuatnya tak mampu untuk melindungi orang yang duduk di sana dari sengat sinar matahari dan percik air hujan jika sedang turun.
Pandangan pada Kelenteng Sun Li San yang saya ambil dari jalan saat kami meninggalkannya. Gerumbul pepohonan di lereng bukit terlihat masih cukup rimbun sebagai resapan air.
Pandangan lebih dekat lagi pada bangunan utama kelenteng dan gazebo yang berada di sampingnya. Akan terlihat mengesankan dari jauh jika pada malam tahun Baru atau Imlek ada pesta kembang api dilakukan di sana.
Tak tahan saya untuk tidak mengambil foto pada bumi Belitung yang terkupas oleh ekskavator, menumbangkan pepohonan dan memusnahkan kehidupan satwa yang hidup di sana.
Kubungan-kubangan air yang mengisi bekas galian tambang terlihat di sana. Lenyapnya pepohonan di banyak tempat, cepat atau lambat, akan membuat banjir menjadi momok kehidupan di pulau ini.
Jika saja peraturan perundangan ditegakkan, tidak malahan menjadi celah penyalahgunaan wewenang dan korupsi, bekas-bekas galian tambang yang sudah ditinggalkan harusnya mulai menghijau kembali, meski membutuhkan puluhan dan bahkan ratusan tahun untuk kembali ke keadaannya semula. Sayangnya di negeri ini, justru pejabat jujur dan bersih, seperti Jokowi dan Ahok, yang dimusuhi, difitnah, dibenci, dan dibuli, meski mereka semata bekerja demi kepentingan negara dan rakyat.
Di ruang utama itu terdapat altar bagi tuan rumah Dewi Kwan Im dalam bentuk Buddha Avalokitesvara berwarna keemasan yang duduk di atas bunga teratai, diapit dua patung lain di bawahnya. Di sebelahnya ada tambur yang berhias ornamen tulis pada badannya. Ornamen sepasang naga berebut mustika ternyata ada di bagian atas rumah-rumahan altar.
Saya jadi teringat Akhun, pengurus di Vihara Dewi Kwan Im Burung Mandi, yang mengatakan bahwa kelentengnya menjadi terkenal karena orang yang datang ke sana doanya terkabul. Tidak jelas apakah ketidakterkenalan Kelenteng Sun Li San akibat kurang manjurnya orang ketika berdoa di sini.
Di depan hiolo bercat merah yang batang-batang hionya telah padam semua, tampak berderet tiga buah patung Buddha berukuran kecil. Di samping kiri kanan hiolo terdapat cawan kaca berisi minyak dengan sumbu yang menyala. Angin rupanya menjadi jinak di dalam ruangan sembahyang ini. Sementara di sudut kiri ruang terdapat patung-patung Dewi Kwan Im berwarna dominan putih.
Ada sepasang naga berukuran kecil terbuat dari batu pualam hijau di kiri kanan bawah patung Dewi Kwan Im. Saya tidak menemukan adanya patung To Tie Kong atau Dewa Bumi di altar utama Kelenteng Sun Li San ini. Sebuah tandon air berukuran besar terlihat ada di belakang bangunan kelenteng. Sesuatu yang cukup mengherankan jika air ternyata bisa ditemukan di puncak bukit ini.
Angin bertiup cukup kencang di sini, sesuatu yang biasanya saya hindari. Namun di puncak bukit, tiupan angin terpaksa saya terima, karena membantu mendinginkan lapisan bumi yang terpanggang oleh panas matahari. Sayang tidak ada informasi yang tersedia mengenai kapan Kelenteng Sun Li San Belitung Timur ini berdiri. Meskipun tidak ada tengara pada kelenteng yang bisa menjadi petunjuk, namun tampaknya kelenteng sudah ada di tempat ini sejak jaman kolonial Belanda.
Kelenteng Sun Li San Belitung Timur
Alamat : Parit Tebu, Kecamatan Gantung, Belitung Timur. Lokasi GPS : -2.98489, 108.09901, Waze. Jam buka : sepanjang waktu. Harga tiket masuk : gratis. https://www.aroengbinang.com/p/foto-sun-li-san-1.htmlTempat Wisata di Belitung Timur, Peta Wisata Belitung, Hotel di Belitung Timur, Hotel di Belitung.Diubah: Desember 09, 2024.Label: Bangka Belitung, Belitung Timur, Kelenteng, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.