Langgar Merdeka: Cagar Budaya Laweyan Solo
Keberadaan Langgar Merdeka Laweyan saya ketahui dari papan besar berisi denah lengkap wilayah Kampung Batik Laweyan di area parkir Masjid Laweyan. Denah yang dibuat semasa Jokowi masih menjadi Walikota Solo itu sangat membantu, patut dicontoh oleh dinas pariwisata dan komunitas peduli wisata di semua daerah di Indonesia.
Bangunan Langgar Merdeka Laweyan sempat saya tengarai menaranya, karena menarik, ketika lewat di Jl Dr. Radjiman Solo beberapa kali sebelumnya. Namun saat itu sempat saya lewati begitu saja lantaran belum tahu bahwa bangunan itu adalah Benda Cagar Budaya dan ikon Kampung Batik Laweyan.
Dari percakapan singkat dengan seorang pria, yang toko batiknya berada di seberang Langgar Merdeka Laweyan ini, saya ketahui bahwa nama Langgar Merdeka rupanya diberikan oleh mendiang Bung Karno, sejalan dengan semangat kemerdekaan yang kala itu tengah dikobarkan.
Setelah mengambil beberapa foto dari luar gedung, saya berjalan menyeberang jalan untuk mendekati bangunan langgar, selanjutnya mencoba membuka pintu masuk langgar yang berada di pojok bangunan dan ternyata pintunya tidak dikunci. Saya pun melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan melewati pintu dan lalu meniti tangga untuk naik ke lantai dua.
Di ruang utama terdapat mihrab dengan kipas angin untuk imam, sebuah almari perpustakaan, kentongan besar yang tinggi, serta tangga untuk naik menuju ke menara. Lantaran terlihat gelap saya pun tak mencoba menaiki tangga ke atas menara itu.
Di dalam ruangan ini tak ada mimbar yang biasa dipakai khotib untuk khotbah sholat Jumat atau sholat di hari raya. Lazimnya langgar memang tidak digunakan untuk sholat Jumat lantaran ruangannya yang kecil sehingga jumlah jamaahnya juga sedikit.
Langgar ini pernah direnovasi pada tahun 2010 dengan melakukan perbaikan di lantai satu untuk tempat usaha dan lantai dua untuk tempat ibadah, juga pada menara yang disambar petir saat renovasi langgar masih berlangsung.
Bangunan aslinya didirikan pada 1877 itu dimiliki oleh seorang keturunan Tionghoa untuk berjualan Candu, sebelum akhirnya dibeli oleh H. Imam Mashadi dan diubah fungsinya menjadi sebuah langgar.
Saat Agresi Militer Belanda ke II pada 1949 dan Kota Solo diduduki, namanya berganti menjadi Langgar Al Ikhlas karena Merdeka merupakan kata terlarang bagi pemerintah kolonial Belanda. Pada saat Agresi Militer Belanda ke II itu, Langgar Merdeka selamat dari pengeboman yang dilakukan oleh pesawat tempur Belanda. Nama Langgar Merdeka dipulihkan kembali pada 1950.
Lahan parkir yang terbatas, papan tengara yang kurang menonjol, serta akses masuk ke Langgar Merdeka yang kurang jelas yang membuat orang ragu untuk membukanya, mungkin menjadi penyebab bahwa langgar ini lebih sering dilewati pengunjung Kampung Batik Laweyan ketimbang disinggahi. Perbaikan pada salah satu dari ketiga hal itu sudah akan sangat membantu.
Bangunan Langgar Merdeka Laweyan sempat saya tengarai menaranya, karena menarik, ketika lewat di Jl Dr. Radjiman Solo beberapa kali sebelumnya. Namun saat itu sempat saya lewati begitu saja lantaran belum tahu bahwa bangunan itu adalah Benda Cagar Budaya dan ikon Kampung Batik Laweyan.
Dari percakapan singkat dengan seorang pria, yang toko batiknya berada di seberang Langgar Merdeka Laweyan ini, saya ketahui bahwa nama Langgar Merdeka rupanya diberikan oleh mendiang Bung Karno, sejalan dengan semangat kemerdekaan yang kala itu tengah dikobarkan.
Setelah mengambil beberapa foto dari luar gedung, saya berjalan menyeberang jalan untuk mendekati bangunan langgar, selanjutnya mencoba membuka pintu masuk langgar yang berada di pojok bangunan dan ternyata pintunya tidak dikunci. Saya pun melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan melewati pintu dan lalu meniti tangga untuk naik ke lantai dua.
![]() | ![]() |
![]() | ![]() |
![]() | ![]() |
![]() | ![]() |
![]() | ![]() |
![]() | ![]() |
Di ruang utama terdapat mihrab dengan kipas angin untuk imam, sebuah almari perpustakaan, kentongan besar yang tinggi, serta tangga untuk naik menuju ke menara. Lantaran terlihat gelap saya pun tak mencoba menaiki tangga ke atas menara itu.
Di dalam ruangan ini tak ada mimbar yang biasa dipakai khotib untuk khotbah sholat Jumat atau sholat di hari raya. Lazimnya langgar memang tidak digunakan untuk sholat Jumat lantaran ruangannya yang kecil sehingga jumlah jamaahnya juga sedikit.
Langgar ini pernah direnovasi pada tahun 2010 dengan melakukan perbaikan di lantai satu untuk tempat usaha dan lantai dua untuk tempat ibadah, juga pada menara yang disambar petir saat renovasi langgar masih berlangsung.
Bangunan aslinya didirikan pada 1877 itu dimiliki oleh seorang keturunan Tionghoa untuk berjualan Candu, sebelum akhirnya dibeli oleh H. Imam Mashadi dan diubah fungsinya menjadi sebuah langgar.
Saat Agresi Militer Belanda ke II pada 1949 dan Kota Solo diduduki, namanya berganti menjadi Langgar Al Ikhlas karena Merdeka merupakan kata terlarang bagi pemerintah kolonial Belanda. Pada saat Agresi Militer Belanda ke II itu, Langgar Merdeka selamat dari pengeboman yang dilakukan oleh pesawat tempur Belanda. Nama Langgar Merdeka dipulihkan kembali pada 1950.
Lahan parkir yang terbatas, papan tengara yang kurang menonjol, serta akses masuk ke Langgar Merdeka yang kurang jelas yang membuat orang ragu untuk membukanya, mungkin menjadi penyebab bahwa langgar ini lebih sering dilewati pengunjung Kampung Batik Laweyan ketimbang disinggahi. Perbaikan pada salah satu dari ketiga hal itu sudah akan sangat membantu.