Namun lama tidak berkunjung, rumah dukun Makam Raja Balok Belitung Timur pun ia sudah lupa. Maklum kebanyakan pengunjung meminta diantar ke pantai atau pulau. Sayangnya Dukun Makam Raja Balok sedang tidak ada di rumah, maka pergilah kami mencari sendiri lokasi makamnya.
Pada sebuah pertigaan di sisi kanan jalan kami berbelok, dan berhenti. Saat Bang Junai sedang bertanya arah, datang mendekat seorang pria yang menanyakan keperluan kami. Ia rupanya juru kunci Makam Raja Balok Belitung Timur bernama Kik (Mbah) Sakri. Setelah mengambil kunci dan buku tamu, kami meluncur bersama semobil. Arah yang kami ambil sudah benar.
Tengara Makam Raja Balok Belitung Timur yang kami jumpai setelah melewati ladang lada di kiri kanan jalan. Tengara itu berbunyi "1. Makam Raja Balok I: K.A. Gedeh Ja'Kub, gelar Depati Cakraningrat (1619 - 1661). 2. Makam Syekh Abdul Jabar Sjamsudin.". Lalu ada larangan menebang pohon, berburu binatang, dan membakar hutan di area konservasi ini.
Lokasi Makam Raja Balok Belitung Timur memang berada di dalam kawasan hutan lindung, yang sepintas tampak dijaga dan dirawat dengan baik. Cukup menggembirakan, dan mudah-mudahan lestari dari keserakahan. Setelah melewati tengara di atas dan pohon-pohon tinggi di kiri kanan, kemudian belok ke kiri, sampailah kami di lokasi cungkup makam.
Ada dua makam bersebelahan di dalam cungkup Makam Raja Balok. Makam yang besar tentulah Makam Raja Balok Ki Gede Yakub, sedangkan makam satu lagi saya lupa menanyakannya kepada Kik Sakri, mungkin makam isterinya, Nyi Ayu Kusuma. Karena Datuk Mayang Gresik tidak memiliki putera laki-laki, maka Ki Gede Yakub yang menggantikannya menjadi Raja Balok.
Cungkup Makam Raja Balok Belitung Timur yang pertama itu tanpa dinding di sekelilingnya. Kik Sakri sudah lebih dulu turun dan berjalan ke arah cungkup, mengambil sapu, dan membersihkan halaman dari sisa dedaunan yang masih tercecer. Tengara di latar depan berbunyi "Makam KA Gede Ya'kub (Cakraningrat) I, Raja Balok Pertama (1618 - 1661)".
Ki Gede Yakub konon adalah keponakan Ki Gede atau Ki Ageng Pemanahan, atau sepupu Panembahan Senopati, pendiri dan raja pertama Kerajaan Mataram Islam. Ia disebut sebagai putera Pangeran Kaap, seorang mangkub atau bendahara keraton. Ki Gede Yakub, atau Kiai Masud atau Kiahi Gegedeh Yakob, datang ke Balok pada sekitar tahun 1600-an.
Saat itu Ki Ronggo Udo atau Datuk Mayang Gresik, ulama asal Gresik, yang berkuasa setelah mengambil alih kekuasaan di Badau dari Ronggu Udo III, dan memindahkan pusat pemerintahan dari Badau ke hulu Sungai Balok untuk memudahkan pelayaran ke Jawa. Datuk Mayang Gresik menyambut baik kedatangan Ki Gede Yakub dan bahkan menikahkannya dengan puteri tunggalnya yang bernama Nyi Ayu Kusuma.
Cungkup Makam Raja Balok Belitung Timur ini berpagar keliling rendah dengan dua pintu besi di satu sisinya, yang telah dibuka Kik Sakri. Lantainya dikeramik, dan masih dalam kondisi baik, namun undakannya perlu perawatan. Tidak ada tempat pembakaran dupa, meskipun istilah 'dukun' masih digunakan bagi juru kunci Makam Raja Balok ini.
Ada nama perusahaan yang sepertinya diberi hak kelola di kawasan hutan lindung ini. Tengara seperti ini sangat membantu untuk memberi kepastian bagi pengunjung yang kebetulan tidak datang bersama seorang penunjuk jalan.
Tengara yang berbunyi "Makam KA Gede Ya'kub (Cakraningrat) I, Raja Balok Pertama (1618 - 1661)". Suasana di sini sangat teduh, terlalu teduh karena rimbunnya pepohonan yang membuat sinar matahari hanya mampu menembus sebagian kecil area hutan.
Merupakan tugas yang berat untuk membeersihkan halaman Makam Raja Balok ini oleh sebab begitu banyaknya daun tua yang gugur mengotorinya. Karena itu bisa dimengerti hanya pada bagian yang dekat makam terlihat relatif bersih dari sampah dedaunan.
Lepas menyapu halaman, Kik Sakri berbincang dengan bang Junai, entah tentang apa. Beberapa potong kayu yang telah diserut halus tampak menggeletak di sisi makam, mungkin sisa dari pekerjaan perbaikan cungkup sebelumnya. Dua buah makam terlihat berada di dalam cungkup.
Pandangan lebih jelas pada dua buah makam yang letaknya bersebelahan di dalam cungkup makam. Makam yang besar tentulah Makam Raja Balok pertama Ki Gede Yakub, sedangkan makam satu lagi saya lupa menanyakannya kepada Kik Sakri, mungkin makam isterinya, Nyi Ayu Kusuma.
Kik Sakri berdiri di depan Makam Raja Balok. Ia mengatakan bahwa renovasi Makam Raja Balok ini baru dilakukan pada 2009. Perawatan dan perbaikan setiap tahun mestinya dilakukan untuk situs semacam ini, yang bisa dikaitkan dengan peristiwa tertentu, misalnya sebulan sebelum lebaran.
Sesaat setelah mengunjungi Makam Raja Balok, Kik Sakri membawa kami ke area dimana menurutnya merupakan sisa-sisa reruntuhan Kerajaan Balok yang berada tidak jauh dari tepi sungai dan tak jauh dari Makam Raja Balok Ki Gede Yakub.
Foto memperlihatkan suasana di tepian Sungai Balok, yang boleh jadi pada jaman dahulu merupakan sebuah dermaga pelabuhan sungai yang sibuk. Hanya saja tidak tersisa tanda-tanda bahwa pernah ada dermaga Kerajaan Balok yang dilabuhi kapal-kapal niaga dan armada perang. Airnya pun keruh, tanda rusaknya ekosistem yang parah di bagian hulu. Konon nama balok berasal dari balok emas yang dibuang ke sungai oleh raja, lantaran anak-anaknya berebut untuk memilikinya.
Kik Sakri berdiri sambil tersenyum lebar memperlihatkan giginya di dekat sebuah pohon dimana di sebelahnya ada gundukan berdinding batu.
Area di bagian atas gundukan telah ditumbuhi rerumputan tebal sehingga tak terlihat sama sekali apa yang ada di bawahnya. Reruntuhan ini menurutnya adalah sisa-sia gapura Kerajaan Balok. Tidak diketahui apakah pernah dilakukan kegiatan penelitian arkeologi di situs ini. Mungkin belum, karena tidak tampak ada bekas-bekas pekerjaan ekskavasi.
Pandangan lebih dekat pada gunduk batu itu, yang sebagian susunan dindingnya masih terlihat jelas. Bentuk batu yang menyusun dinding bisa dibilang sangat biasa dan sederhana seperti belum tersentuh tangan pengajin. Gundukan ini cukup tinggi dan lumayan luas, namun pinggiran gundukan juga sudah tak rapi lagi.
Ada satu bagian reruntuhan Kerajaan Balok itu yang bentuk batunya ditumbuhi oleh sejenis lumut yang bentuknya cukup unik, menyerupai jumbai-jumbai pendek berwarna hijau mungkin karena lama terpapar hujan. Namun sebagian besar dinding batunya telah tertutupi oleh rerumputan dan semak. Bentuk batu yang kebanyakan hampir bulat agak susah mengasosiakannya dengan struktur penyusuan sebuah tembok gerbang.
Ada pula bentuk batu yang permukaannya seperti maze atau mosaik, atau seperti batu karang yang diambil dari dasar laut. Meski dinding batu ini cukup tinggi, namun tak terlihat ada bekas undakan di sana. Boleh jadi undakannya dahulu terbuat dari papan kayu, bukan batu. Jika saja bangunan gapura ini bisa direkonstruksi secara utuh, demikian pula dermaga sungainya, tentu akan menjadi sebuah destinasi wisata sejarah yang menarik bagi Belitung.
Kik Sakri dan Bang Junai berdiri di samping gundukan batu sisa bangunan dari jaman Kerajaan Balok. Ketinggian gundukan bekas gapura Kerajaan Balok ini hampir setinggi dagu orang dewasa, namun entah dimana bekas undakan dan pilarnya. Tak diketahui pula dimana letak bekas bangunan kerajaannya.
Saat itu pepohonan di kawasan hutan pinggiran Sungai Balok ini kebanyakan berusia muda, kurang dari 10 tahun, namun cukup rapat. Di jaman ini sudah sulit untuk menemukan pohon berusia puluhan tahun, apalagi ratusan.
Sehabis berkunjung ke Makam Raja Balok kami mampir ke kebun lada yang dimiliki oleh Kik Sakri. Hasil dari berkebun mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari yang tak bisa mengandalkan honor dari tugasnya sebagai kuncen situs.
Untaian buah lada yang boleh dikatakan merupakan mutiara hijau sebelum diolah, karena harganya yang mahal. Ini baru pertama kali saya melihat pohon lada dan tengah berbuah pula.
Pandangan lebih dekat pada butir-butir lada. Rempah-rempah konon dahulu menjadi alasan datangnya kapal-kapal penjelajah ke wilayah Nusantara, namun belakangan kekayaan tambang dan minyak yang ada di bumi ini yang dieksploitasi secara besar-besaran.
Agak cukup lama kami berada di kebun lada milik Kik Sakri ini. Tantangan bagi petani lada, dan petani lainnya, adalah tidak menjualnya saat panen, karena harga jual biasanya cenderung jatuh. Memiliki uang yang cukup sehingga tak terpaksa menjual dengan harga rendah dan tahu bagaimana mengolah hasil panen menjadi penting.
Meski tanahnya terlihat kering karena musim hujan belum lagi mencapai puncaknya, namun pohon lada terlihat hijau segar. Kebanyakan pohon lada mulai berbuah setelah berumur 3 hingga 4 tahun, dan tetap produktif sampai umur 15 tahunan.
Tugas utama Kik Sakri, selain sebagai penjaga Situs Makam Raja Balok, tampaknya adalah menjaga kelestarian hutan lindung, yang entah bagaimana sepertinya sudah menjadi hutan konsesi yang dimiliki oleh sebuah perusahaan swasta.
Ketika menggantikan Datuk Mayang Gresik pada 1618, Ki Gede Yakob kemudian memohon pengakuan dan dukungan Sultan Agung di Mataram, keponakannya sendiri, atas kekuasaannya di Balok. Saat itu tiga daerah lain di Belitung masih berdiri sendiri-sendiri, belum resmi mengakui Balok sebagai penguasa Belitung.
Sultan menganjurkan untuk memintanya dari Raja Palembang yang kala itu masih dibawah Mataram. Datuk Mayang Gresik yang masih mendampingi Ki Gede Yakub, lalu mengirim orang asal Badau yang ia percayai untuk ke Palembang. Utusan yang datang seorang diri itu berhasil menjalankan misinya, dan mendapatkan restu dari Raja Palembang. Ini tampaknya tak lepas dari pertimbangan bahwa Ki Gede Yakub masih keluarga penguasa Mataram.
Setelah mendapatkan dukungan dari Mataram melalui Raja Palembang, seluruh Ngabehi di Belitung akhirnya tunduk pada kekuasaan Ki Gede Yakub. Tahun 1661 Ki Gede Yakob menguasai seluruh Belitung dengan gelar Depati Cakraninggrat. Keturunannya diberi gelar Kiahi Agus atau Ki Agus untuk laki-laki, dan Nyi Ayu atau Nyayu jika perempuan. Konon nama balok berasal dari balok emas yang dibuang ke sungai oleh raja, lantaran anak-anaknya berebut untuk memilikinya.
Kik Sakri mengatakan bahwa renovasi Makam Raja Balok ini baru dilakukan pada 2009. Belakangan kami berkunjung ke area di tepi Sungai Balok yang yang letaknya tidak jauh dari Makam Raja Balok. Tidak tersisa tanda-tanda dermaga kerajaan yang besar.
Air sungainya pun keruh, tanda rusaknya ekosistem yang parah di bagian hulu. Masuk sekitar 50 m ke dalam hutan dari tepi Sungai Balok, terdapat reruntuhan Gapura Kerajaan Balok. Tidak diketahui apakah pernah dilakukan kegiatan penelitian arkeologi di situs peninggalan Kerajaan Balok ini.
Makam Raja Balok Belitung Timur
Alamat : Desa Balok, Kecamatan Dendang, Belitung Timur. Lokasi GPS : -3.04322, 107.89225, Waze. Tengara makam itu yang dilihat dari jarak yang lebih dekat. Tempat Wisata di Belitung Timur, Peta Wisata Belitung, Hotel di Belitung Timur, Hotel di Belitung.Diubah: Desember 09, 2024.Label: Bangka Belitung, Belitung Timur, Makam, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.