Bangunannya cukup besar dan bagus, dan umurnya sudah tua. Belum lagi Vihara Dharma Suci Manggar ini memiliki grup kesenian tradisional Barongsai hebat, yang sempat saya lihat ketika mereka berlatih, dan memiliki prestasi dalam kejuaraan Barongsai sampai ke tingkat nasional.
Turun dari mobil, saya melepas alas kaki dan kemudian naik ke sebuah pendopo cukup luas, melintasinya ke sisi yang lain untuk mencari.... toilet. Rupanya perut sedang bermasalah. Beruntung Vihara Dharma Suci memiliki toilet yang terawat dan bersih, sehingga selamatlah urusan bersih-bersih itu, dan acara melihat isi kelenteng pun bisa berjalan dengan lancar ....
Gapura Vihara Dharma Suci Manggar yang bergaya khas kelenteng, dengan arca sepasang naga yang tengah berebut sebuah mustika. Kehendak yang berlawanan adalah abadi dan selalu mencari keseimbangan baru manakala ada salah satu yang terlalu dominan atau terlalu lemah, agar bumi tetap berputar pada kodratnya.
Disamping kedua pilar gapura juga terdapat arca Cioksay (singa) kembar berwajah garang, dengan mulut menganga dan mata melotot mengawasi setiap orang yang melintas. Sebuah hiolo (tempat menancapkan batang hio) berukuran besar ada di bagian depan Vihara Dharma Suci Manggar Belitung Timur untuk bersembahyang pada Dewa Langit.
Di pelataran depan Vihara Dharma Suci Manggar, terlihat beberapa anak remaja tengah berlatih menabuh tambur, kencrengan dan gong kecil, sementara seorang anak muda lainnya berlatih gerakan barongsai di atas jejeran tonggak-tonggak besi yang cukup tinggi. Kabarnya pada tahun 2010 mereka berhasil meraih Juara III pada Kejuaraan Barongsai Piala Presiden di Jakarta.
Ruangan utama Vihara Dharma Suci Manggar bisa dibilang cukup luas, berhias jejeran lilin dengan berat ratusan kati dan berukuran raksasa berwarna merah menyala berhias ukiran naga. Ada tambur di sisi sebelah kanan ruangan beserta perlengkapan barongsai yang dibungkus plastik di sebelahnya, serta beberapa buah lampion menggantung di langit-langit.
Pakkung (Dewa Bumi, Hok Tek Ceng Sin, Fu De Zheng Shen) adalah yang menjadi tuan rumah utama di Vihara Dharma Suci Manggar ini, karenanya nama asli tempat ibadah ini adalah Kelenteng Pakkung Miaw. Terdapat sebuah hiolo berwarna kuning keemasan, tepat di depan patung. Sebuah tulisan berhuruf Tionghoa berwarna hitam di atas dasar merah terlihat kontras menghias tubuh hiolo, dan beberapa buah batang hio cukup besar menancap pada pasirnya.
Pakkung dipuja untuk memberi berkah rizki melimpah bagi para pedagang, petani, atau pekerjaan apa pun yang tengah mereka usahakan. Sebagai kaum Cina perantauan, rizki yang lancar adalah keharusan untuk bisa bertahan hidup.
Tiga buah hiolo yang terlihat tua berderet di meja di seberang altar Pakkung atau Hok Tek Ceng Sin. Di atas meja altar ada lagi hiolo lain dari kuningan yang terlihat jauh lebih bersih. Mungkin baru, mungkin juga karena selalu dirawat untuk menyenangkan sang dewa dan pendoa yang menancapkan batangan hio di sana.
Sepasang singa penjaga (Cioksay) tampak diletakkan di sebelah kiri dan kanan gerbang masuk. Arca sepasang naga berebut mustika selain diletakkan di atas gerbang, biasanya juga diletakkan di atas atap utama kelenteng. Lampion adalah benda yang selalu ada di sebuah kelenteng, dengan bentuk yang bermacam-macam.
Kebanyakan lilin yang berukuran besar itu berhias lukisan naga dengan warna dominan hijau, sedangkan warna lilinnya sendiri merah. Di ujung sana adalah rupang atau patung dari Hok Tek Ceng Sin, Dewa Bumi yang berkahnya selalu diharapkan oleh para pedagang dan petani.
Pada dinding terdapat lukisan Dewi Kwan Im dengan bulatan matahari di belakang kepalanya. Bungkusan plastik itu berisi perlengkapan barongsay dengan tambur menggantung di sebelah kanan. Kaleng minyak lampu tampak diletakkan di bawah meja. Keberadaan lilin dan lampu listrik tidak serta merta mematikan peran lampu minyak di sebuah kelenteng.
Dua buah hio yang belum sepenuh terbakar tampak menancap pada pasir sebuah hiolo. Kesempurnaan pembakaran sebuah hio mungkin bisa menjadi petunjuk seberapa besar doa si pembakarnya akan dikabulkan oleh dewa. Tempat lilin di sebelah kiri kanan hiolo tampak sepi. Boleh jadi lilin lama baru saja dibersihkan.
Tulisan hitam dengan latar bentuk wajik atau berlian warna merah pada hiolo seperti ini jarang saya lihat di sebuah kelenteng. Demikian juga dua ornamen di atas pasir hiolo yang berbentuk segitiga dengan bulatan-bulatan pada tepiannya.
Di belakang patung dan di ruang terpisah di kiri kanan patung terlihat ada aksara dalam huruf Tionghoa. Aksara seperti itu di dalam sebuah kelenteng biasanya berisi ajaran kebajikan atau filosofi yang kebenarannya bisa dirasakan oleh siapa pun dan apa pun kepercayaan dan agama yang dianutnya.
Seperti lazimnya kebanyakan altar sembahyang seperti ini, ada sejumlah patung di sana dengan satu diantaranya berukuran besar dan patung lainnya jauh lebih kecil ukurannya. Patung yang kecil bisa merupakan patung yang sama dengan penampilan dan pakaian yang berbeda, atau bisa pula patung dewa lain yang tingkatannya lebih rendah, pengawal misalnya.
Pakkung (Dewa Bumi, Hok Tek Ceng Sin, Fu De Zheng Shen) adalah dewa yang menjadi tuan rumah utama di Vihara Dharma Suci Manggar ini, karena itu nama asli tempat ibadah ini adalah Kelenteng Pakkung Miaw. Terdapat sebuah hiolo berwarna kuning keemasan, tepat diletakkan di depan patung ini.
Patung ini ada di sebuah relung di bawah altar utama Vihara Dharma Suci Manggar, pada lantai ruangan, dan karenanya merupakan patung Dewa Bumi lokal (Phek Kong, Tu Di Gong), yaitu dewa bumi yang menguasai tanah lokal. Setiap tempat memiliki Tu Di Gong berbeda, dan mereka adalah golongan dewa berkedudukan paling rendah dan dikenal sebagai yang paling dekat dengan manusia.
Setiap orang memiliki rasa tidak aman di dalam dirinya. Tidak aman dari kemiskinan dan kekurangan, tidak aman dari penyakit, tidak aman dari kasih sayang, dan tidak aman dari kejahatan. Karenanya setiap rumah, bagi yang mempercayainya, memiliki altar pemujaan bagi dewa Bumi lokal dan dewa pelindung dari semua hal buruk yang bisa menimpa manusia.
Sudut pandang berbeda pa altar Hok Tek Ceng Sin di Vihara Dharma Suci. Kata Dharma atau darma diambil dari bahasa Sanskerta yang artinya adalah kewajiban, aturan dan kebenaran. Setiap kewajiban, aturan dan kebenaran yang hakiki tentulah mendekatkan manusia pada kesucian, sebagaimana saat mereka baru saja lahir kedunia.
Tulisan dengan aksara Tionghoa dan sebuah genta yang telah dicat untuk menyembunyikan usia dan kekotorannya. Akan sangat bermanfaat jika di bawah huruf Tionghoa itu ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Anak-anak muda yang tengah giat berlatih menabuh bebunyian pengiring atraksi barongsay itu. Budaya adalah ruh sebuah suku bangsa, yang harus selalu dijaga kelestarian dan perkembangannya.
Alat tabuh utama yang digunakan oleh anak-anak muda itu sebagai pengiring barongsai adalah sebuah tambur berukuran cukup besar, empat buah simbal, dan sebuah gong kecil. Iramanya dinamis dan sangat khas, yang membuat siapa pun akan mudah mengenali ketika mendengarnya.
Tonggak-tonggak besi dengan landasan pijak kaki berbentuk bulatan di bagian puncaknya menjadi tempat berlatih bagi pemain barongsai untuk menyempurnakan ketepatan langkah, keseimbangan tubuh dan kebolehan lainnya yang bisa memukau penonton. Latihan keras dan teratur membawa sesorang pada kesempurnaan, bahkan bagi orang yang sangat bebal sekalipun.
Ada dua anak perempuan diantara pemain musik pengiring barongsai itu. Sebuah indikasi yang bagus, karena bumi berputar pada setiap hal yang berpasangan untuk saling mengisi atau saling memusnahkan.
Kerja keras, hidup hemat, dan dengan kekuatan kepercayaan pada berkah dewa yang menyertainya terbukti berhasil membuat kaum Tionghoa perantauan bukan saja bertahan hidup, namun banyak yang berhasil menjadi warga kelas menengah dan kelas atas di banyak tempat dimana mereka tinggal.
Sebuah genta tua menggantung di langit-langit Vihara Dharma Suci Manggar, dengan ornamen samar karena telah tertutup cat, dan telah sobek pula di salah satu sisinya.
Tidak jelas berapa umur genta itu, namun pada tahun 2018 ini Vihara Dharma Suci memperingati hari jadinya yang ke-375. Kunjungan ke kelenteng ini agak mengesankan karena sempat melihat anak-anak muda yang berlatih tabuhan pengiring barongsai itu.
Vihara Dharma Suci Manggar
Alamat : Jalan Sudirman, Lipat Kajang, Manggar, Belitung Timur. Lokasi GPS : -2.84773, 108.28896, Waze ( smartphone Android dan iOS ). Jam buka : pagi hingga malam. Harga tiket masuk : gratis. Tempat Wisata di Belitung Timur, Peta Wisata Belitung, Hotel di Belitung Timur, Hotel di Belitung.Diubah: Desember 10, 2024.Label: Bangka Belitung, Belitung Timur, Kelenteng, Wihara, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.